Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Difa Anida Alifia

Tindak Pidana Pelecehan Seksual Verbal

Edukasi | 2023-12-07 00:08:16
Sumber : metrum.co.id

Pelecehan seksual makin sering terjadi kepada perempuan dengan memperlihatkan banyak bentuk, salah satu bentuk pelecehan seksual yang didapatkan oleh perempuan yakni pelecehan seksual secara verbal. Pelecehan seksual secara verbal, seringkali dikenal, sebagai tindakan yang sering terjadi di tempat umum dan berdampak pada hukum dan kesejahteraan psikologis korban. Pelecehan seksual verbal, atau catcalling, mencakup berbagai jenis perilaku yang menciptakan situasi tidak menyenangkan dan menurunkan martabat kemanusiaan seseorang. Hal ini termasuk komentar, ucapan, atau perilaku genit yang ditujukan kepada orang lain, khususnya perempuan, di tempat umum. Jenis penindasan ini dapat terjadi dalam banyak konteks, termasuk di tempat kerja, lingkungan pribadi, online, atau bahkan di tempat umum. Hal ini termasuk komentar kasar, ancaman, ejekan dan kata-kata yang menghina. Pelecehan verbal merupakan masalah besar di masyarakat yang sering diabaikan.

Pelecehan seksual secara verbal tidak hanya menimbulkan dampak fisik, tetapi juga dapat merusak kesejahteraan mental korbannya. Beberapa dampak psikologis yang mungkin dialami oleh korban yaitu rasa tidak aman, stress dan kecemasan, juga rendahnya harga diri.

Sebuah survei yang dilakukan oleh kelompok dukungan bagi penyintas atau korban kekerasan seksual, Lentera Sintas Indonesia, bekerja sama dengan wadah petisi daring Change.org dan media perempuan, menunjukkan bahwa pelecehan seksual secara verbal menjadi jenis kekerasan seksual paling umum terjadi. Survei yang berlangsung sepanjang Juni tersebut berhasil menjaring 25.213 responden baik dari kota maupun kabupaten guna melihat kesadaran dan pengalaman publik tentang kekerasan seksual. Ternyata, sebanyak 58 persen pernah mengalami pelecehan dalam bentuk verbal.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) catcalling dikaitkan dengan perbuatan asusila dan pencabulan. Dan jelas melanggar peraturan perundang-undangan Pasal 8 Jo Pasal 34 dan Pasal 9 Jo Pasal 35 UU No. 44/2008 tentang pornografi, dan pasal 5 UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Namun hal yang sering terjadi di masyarakat ketika korban hendak melaporkan perbuatan yang terjadi pada dirinya, cenderung menyalahi korban. Stigma seperti berpakaian minim, kerap keluar malam, atau bahkan anggapan buruk lainnya terhadap korbanlah yang membuat para korban enggan dan takut untuk melaporkannya. Terlebih dalam praktiknya, kasus ini sangat sulit untuk diajukan ke pengadilan dengan alasan dasar hukum yang lemah atau kurangnya alat bukti. Saat ini masih membutuhkan instrumen perangkat pendukung yang bisa menekankan pelecehan seksual verbal sebagai kejahatan siapa yang pantas menerima hukuman. Mengingat pelecehan verbal ini bisa mengarah pada kejahatan seksual lainnya seperti pemerkosaan atau tindakan seksual lainnya yang mungkin mempunyai efek tambahan pada psikologi korban seperti perdagangan manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image