Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dinda Wahyu

Mahkamah Konstitusi dan Pelanggaran Kode Etik

Politik | Saturday, 02 Dec 2023, 16:12 WIB
Sumber: Hilman Fathurrahman W

Berbicara mengenai Mahkamah Konstitusi, akhir-akhir ini sering menjadi sorotan bagi masyarakat Indonesia yaitu terkait putusan MK mengenai ketentuan usia Capres-Cawapres jelang pemilu 2024. Saat ini telah kita ketahui Anwar Usman atau adik ipar bapak Jokowi yang sekarang telah menjadi mantan ketua MK, memutuskan bahwa batas usia minimal Capres-Cawapres menjadi 40 tahun dengan pengalaman sebagai Kepala Daerah. Disisi lain batas usia minimal Capres-Cawapres sebelum putusan MK dikeluarkan yaitu berusia paling rendah 40 tahun. Namun, hal ini menjadi kontroversial karena putra sulung bapak Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden 2024 mendampingi Prabowo Subianto. Padahal jika berbicara masalah usia, keponakan Anwar Usman ini masih belum mencapai batas usia 40 tahun tetapi ia memang sedang menduduki jabatan sebagai Wali Kota Solo.

Terkait etika, hal ini mencakup sebuah perilaku yang dianggap pantas atau tidak pantas. Etik atau etika selalu berkaitan dengan moral. Sebagaimana menurut Solomon (1987:6), etika meliputi semua tindak tanduk pribadi dan sosial yang dapat diterima, mulai dari tata aturan “sopan santun sehari-hari” hingga pendirian yang menentukan jenis pekerjaan kita, siapa yang menjadi sahabat kita, dan cara kita berhubungan dengan keluarga dan orang lain. Sebaliknya, moralitas lebih khusus, merupakan bagian hukum etika. Moralitas terdiri dari hukum dasar suatu masyarakat yang paling hakiki dan sangat kuat.

Jadi unsur utama yang membentuk etika adalah moral. Aristoteles juga berpendapat bahwa etika dibagi menjadi dua yaitu terminius technikus dan manner and custom. Terminius technikus merupakan etika yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan dengan mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Sedangkan manner and custom merupakan pembahasan etika yang berhubungan atau berkaitan dengan tata cara serta adat kebiasaan yang melekat pada kodrat manusia yang sangat terkait dengan arti baik dan buruk suatu perilaku atau perbuatan manusia.

Adanya putusan MK membuat beberapa hakim konstitusi dilaporkan ke pihak Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik. Laporan tersebut didasarkan pada hasil putusan para hakim konstitusi, pelapor menilai bahwa putusan tersebut tidak sesuai dan menimbulkan konflik. Dalam hal ini MKMK telah memutuskan beberapa hakim konstitusi memang sudah terbukti melanggar kode etik. Anwar Usman menjadi salah satu pihak terlapor yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik sebagaimana yang tertuang dalam Sapta Karsa Hutama atas prinsip kepantasan dan kesopanan.

Hal tersebut membuat MKMK menggelar sidang perdana terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam putusan MK, sidang ini bertujuan untuk mengklarifikasi laporan dugaan pelanggaran kode etik. Setelah terlaksananya sidang tersebut, MKMK memutuskan bahwa Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran dan saling mengingatkan antar hakim konstitusi untuk mencegah praktik yang mempengaruhi sikap mereka dan perkara yang ditangani.

Dapat kita lihat bahwa MKMK sangat berperan penting dalam menangani dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, serta integritas dan independensi lembaga peradilan. Selain itu prosedur hukum dan etika sudah seharusnya diikuti dengan cermat untuk menjamin keadilan dan kepatuhan terhadap standar perilaku yang telah ditetapkan.

Seperti dari contoh lain ketika Guntur Hamzah yang terbukti melanggar kode etik atas perubahan substansi dalam putusan uji materi perkara Undang-Undang Nomor 7 tahun 2020 tentang MK. Yakni putusan tersebut menggunakan frasa “dengan demikian” dan berubah menjadi “ke depan”, Guntur telah mengakui atas perubahan substansi tersebut sebagai usulannya. MKMK telah menyatakan bahwa Guntur memang berhak mengusulkan perubahan substansi, tetapi ia juga mempertimbangkan bahwa saat perkara tersebut dibahas, Guntur masih belum menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu hal tersebut membuat MKMK menyatakan bahwa Guntur Hamzah melakukan pelanggaran kode etik.

Dalam hal ini memang antara Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka memiliki latar belakang sama, yang dimaksud yaitu keterikatan dalam hubungan keluarga. Hal tersebut tentu membuat masyarakat beranggapan bahwa keduannya menggunakan dan memanfaatkan kekuasaan atas tujuan tertentu. Tidak hanya masyarakat saja adanya hal tersebut juga menimbulkan kekhawatiran para Capres-Cawapres lainnya karena merasa adanya ketidak adilan.

Dengan keterikatan dalam hubungan keluarga ini Gibran juga seringkali mendapat kritik atas adanya politik dinasti. Politik dinasti seperti yang terjadi dalam khasus ini memunculkan polemik karena dianggap lebih mengedepankan kepentingan keluarga daripada kepentingan masyarakat. Sebagian besar masyarakat menilai politik dinasti sebagai praktik yang negatif dan ada juga yang berpendapat bahwa politik dinasti itu sah sah saja. Tetapi banyak yang menilai bahwa politik dinasti merupakan praktik yang tidak sehat bagi demokrasi karena akan memperkecil peluang orang-orang potensial non dinasti untuk menduduki kursi pemerintahan.

Namun kini MK akan mengadakan putusan gugatan ulang mengenai ketentuan usia Capres-Cawapres yang akan dilaksanakan pada 29 November 2023. Putusan gugatan ulang ini diajukan oleh Brahma Aryana Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Viktor selaku kuasa hukum Brahma juga menyampaikan, putusan gugatan ulang ini diharapkan dapat mengembalikan legitimasi pemilu usai putusan sebelumnya yang dianggap melanggar kode etik. MK juga memastikan dalam putusan gugatan ulang ini ia tidak akan melibatkan Anwar Usman yang telah terbukti melanggar kode etik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image