Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abigail Laodikia

Consent dalam Kekerasan Seksual

Eduaksi | 2022-01-03 20:38:13

Upaya menerapkan pendidikan seks di Indonesia lagi-lagi terbentur tembok tinggi. Pada 13 September 2020 lalu, Anggota Baleg DPR RI Almuzzammil Yusuf mengatakan bahwa materi orientasi mahasiswa baru Universitas Indonesia yang mencakup soal consent dalam berhubungan seksual merupakan tindakan yang mempromosikan seks bebas, dan tidak sesuai dengan “keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia” serta “nilai keagamaan”. Bahkan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) pun menilai bahwa pendidikan soal consent “bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan” dan bukan pendekatan yang pas dalam mengentaskan “masalah kejahatan seksual”.

Consent dalam konteks seksual adalah sebuah ungkapan menyetujui atau tidak menyetujui untuk berhubungan seksual. Menurut Psikolog Klinis Dewasa Tiara Puspita, consent adalah persetujuan afirmatif yang diberikan secara sadar, sukarela, dan tidak dalam hasutan atau ancaman untuk terlibat dalam aktivitas seksual atau nonseksual. Mengingat setiap orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai hubungan seksual, maka ungkapan ini menjadi sangat penting.

Di Indonesia, banyak orang yang masih belum memahami perihal persetujuan atau consent dalam suatu relasi. Padahal, konsep ini merupakan sebuah elemen penting yang menentukan apakah suatu hal dapat disebut sebagai kekerasan seksual atau tidak. Misalnya korban berpakaian dengan cara tertentu, apakah hal ini berarti ia mengizinkan seseorang untuk ‘bertindak’? Selain itu, jika korban mengizinkan suatu hal, apakah hal ini dapat diartikan sebagai undangan melakukan lebih? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merujuk kepada permasalahan persetujuan, yang nampaknya masih kurang dipahami atau dipedulikan di Indonesia.

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau aturan lainnya seperti Permendikbud PPKS No. 30 Tahun 2021 mengatur kekerasan seksual bukan perbuatan seksual, sehingga jika “tanpa persetujuan seseorang atau korban” dihapuskan atau dikeluarkan itu artinya aturan-aturan tersebut tidak lagi mengatur kekerasan seksual. Hal tersebut bertentangan dengan maksud dan tujuan dibuatnya peraturan tersebut.

Persetujuan menjadi tidak sah, bila dicapai dengan memanfaatkan relasi kuasa dan/atau kerentanan korban. Isu consent dalam pengaturan kekerasan seksual adalah isu yang universal. Isu consent bukan berasal atau milik negara-negara barat. Oleh karena itu, berbicara mengenai kekerasan seksual adalah berbicara isu kemanusiaan yang melampaui batas-batas wilayah negara dan bangsa.

Kekerasan seksual tergolong sebagai sebuah kejahatan kesusilaan, dan di Indonesia istilah ini sebenarnya tidak ada di dalam hukum. Jenis kekerasan seksual yang diakui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya perbuatan cabul dan pemerkosaan. Lebih lanjut, dalam hukum kita sekarang, dikatakan bahwa pemerkosaan hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki kepada seorang perempuan, bahkan hanya terbatas pada penetrasi alat kelamin

Permasalahan seperti inilah yang mendorong munculnya inisiatif membuat Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dalam RUU ini, kekerasan seksual didefinisikan secara lebih luas demi menjamin perlindungan bagi korban.

Dalam RUU PKS, dikatakan bahwa kekerasan seksual merupakan perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi yang dilakukan secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Hal tersebut menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender yang berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya atau politik.

Pada akhirnya, definisi yang terdapat dalam RUU PKS lebih baik karena mereka menyoroti bagaimana perkara consent atau persetujuan yang merupakan elemen utama dalam menentukan adanya kekerasan seksual. Dengan demikian, setelah Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 disahkan, RUU PKS pun menjadi penting untuk disahkan mengingat urgensi saat ini di mana para korban kekerasan seksual dan kasus kekerasan seksual terus terjadi, bahkan banyak kasus yang tidak terselesaikan karena keterbatasan payung hukum yang ada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image