Pembunuhan Wartawan

Opini  
Rompi Pers berdarah, milik wartawan yang menjadi korban pemboman Zionis. (Instagram)

Dalam unggahan di akun pribadinya, salah satu wartawan Palestina yang kerap mengabarkan kondisi terkini di Gaza, Plestia, menulis pesan mengharukan.

Ia berpesan, “Dulu, saya selalu memakai rompi Press dan helm saya. Tapi, akhir-akhir ini saya merasa tidak aman di Gaza, bahkan saat tidur saya merasa tidak aman. Saya berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Saya berharap kita tidak lagi kehilangan jurnalis,” tulisnya via @byplestia.

Postingan itu disertai gambar rompi Press berwarna biru muda.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Genosida di Gaza, tak hanya membunuh orang dewasa. Tapi juga paramedis, jurnalis, semua yang tak bersenjata, bahkan anak dan bayi-bayi tak berdosa. Genosida di Gaza mencatatkan sejarah kelam bagi dunia Barat.

Genosida di Gaza, membuka topeng kemunafikan Barat. Begitu sindir Jubir Brigade Al Qassam, Abu Ubaidah. Meski staf PBB, dokter sampai jurnalis pelbagai media tewas, tapi sampai detik ini tak ada sanksi apapun untuk Israel.

Organisasi nonprofit Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York, Amerika Serikat menyebut bertambahnya kematian jumlah jurnalis dan pekerja media yang telah dikonfirmasi tewas di Gaza, menjadi 48 orang sejak 7 Oktober lalu.

Namun, hanya selang hari, jumlah itu bertambah lagi menjadi 60 orang. Hal itu terungkap lewat laporan saluran berita Aljazirah yang berbasis di Qatar, pada Minggu (19/11/2023).

Kementerian Luar Negeri Palestina menyampaikan lewat media sosial bahwa dua jurnalis Palestina, Sari Mansour dan Hassouneh Salim, telah dimakamkan pada Minggu. Mereka terbunuh dalam serangan udara Israel di kamp pengungsi Bureij yang terletak di bagian tengah Jalur Gaza, sehari sebelumnya.

Dinukil dari Anadolu Agency pada Selasa (21/11/2023), kantor berita resmi Palestina Wafa melaporkan, serangan udara Israel terhadap sebuah rumah di Kota Gaza menyebabkan beberapa warga Palestina gugur, termasuk jurnalis perempuan Alaa' Taher al-Hasanat. Artinya, jumlah jurnalis tewas bertambah lagi, lebih dari 60 jiwa.

Pembunuhan terhadap wartawan di Gaza, seakan menjadi hal biasa. Padahal dalam hukum internasional, wartawan perang yang meliput di area konflik, berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh disakiti. Apalagi dibunuh. Tapi di Gaza, seakan itu semua tak berlaku.

Bukan saja jurnalis yang dibunuh, tapi juga keluarga mereka. Beberapa kali dikabarkan, rumah-rumah jurnalis menjadi sasaran pemboman Zionis Israel. Para penjajah itu seakan ingin menutupi kekejian mereka dengan membunuh semua jurnalis yang meliput kondisi realtime di Gaza.

Kalau dulu, kita hanya mendapat informasi dari media-media Barat, kini di Gaza berbeda. Para wartawan Palestina di sana, kerap menyiarkan siaran langsung melalui akun pribadinya. Ada pula yang membuat channel Telegram, mengabarkan waktu ke waktu apa yang baru saja terjadi di sana. Publik mendapat kabar terhangat tanpa sensor, langsung dari Gaza.

Yang tentu saja, hal itu membuat Zionis Israel kesal. Kebiadaban mereka begitu telanjang di depan mata dunia. Bahkan dampak liputan dan unggahan-unggahan wartawan di Gaza, memantik aksi damai nyaris di seluruh dunia. Beberapa membawa poster berisi foto-foto wartawan Gaza, dan mengapresiasi mereka. Media pro Israel, menjadi bullyan karena kerap kali hanya menyiarakan narasi sesuai keinginan Zionis.

Tapi, apa yang dilakukan wartawan di Gaza berbayar mahal. Mereka tak hanya kehilangan nyawa. Tapi juga nyawa keluarganya. Entah sampai kapan pembunuhan wartawan di sana terus terjadi. Entah siapa yang akan melindungi mereka. Entah kapan pula Zionis Israel mendapat sanksi atas segala kebiadabannya.

Dulu, dunia sempat dikejutkan atas kabar kematian Caruana Galizia, jurnalis investigatif yang berpulang setelah mobilnya diledakan dalam satu insiden pada Oktober 2017. Ia dikenal kerap membongkar skandal politik dan kejahatan finansial yang dilakukan elit dan politisi.

Termasuk mengungkap kasus Panama Papers.

Usai insiden berdarah itu, Perdana Menteri Malta Joseph Muscat mengundurkan diri. Tewasnya Caruana, menambah daftar panjang pembunuhan terhadap jurnalis yang kritis. Meski kasusnya sudah lama, tetapi bukan berarti pembunuhan terhadap wartawan tidak ada.

Di Denmark, bahkan seorang jurnalis ditemukan dalam kondisi tubuh dimutilasi. Kim Wall tewas setelah menghilang. Jasadnya ditemukan tanpa kaki, tangan dan kepala.

Galizia dan Wall, keduanya jurnalis wanita.

Pembunuhan terhadap Caruana dan Wall, masih kalah mengerikan dibanding yang dialami jurnalis investigatif di Meksiko. Pada Maret 2017, di bulan itu pula empat jurnalis dibunuh. Sepanjang rentang 2000-2016, sedikitnya 99 jurnalis Meksiko tewas dibunuh.

Bahkan, pembunuhan yang marak itu sampai menyebabkan surat kabar Norte, tutup. Media yang telah berdiri selama 27 tahun itu terpaksa ditutup lantatan awak medianya banyak yang dibunuh.

Pembunuhan terakhir sebelum media itu ditutup, menimpa jurnalis Norte, bernama: Miroslava Breach. Ia tewas setelah ditembak delapan peluru saat berkendara. Usai tewas, ditemukan surat dalam kendaraan Breach.

Pesannya: karena bicara terlalu lantang.

Sejak tahun 2000 sampai 2021, tercatat sedikitnya 150 kasus pembunuhan wartawan terjadi di Meksiko. Catatan hitam itu menunjukkan aksi pembunuhan wartawan terus berlanjut. Meksiko bisa dibilang menjadi negara terbesar dalam kasus pembunuhan terhadap jurnalis.

Para wartawan di sana kerap menjadi sasaran aksi kekerasan kartel narkoba Meksiko, yang berusaha mengintimidasi dan memanipulasi liputan soal aktivitas dan saingan mereka. Bahkan impunitas dalam pembunuhan itu mencakup lebih 90% kasus.

Bagaimana di Indonesia?

Dalam catatan Aliansi Jurnalis Indonesia, di rentang Januari-Desember 2021, jumlah kekerasan terhadap wartawan di Indonesia sebesar 43 kasus. Jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya di periode sama, yang mencapai 88 kasus.

Penurunan kasus sebesar 48,8% ini patut disyukuri. Namun bukan berarti dibiarkan.

Terlebih kasus pembunuhan Indonesia bisa dianggap cukup besar. Dari rentang 1996-2019, sedikitnya 13 wartawan dari pelbagai media di Tanah Air, tewas dibunuh.

Dalam catatan Wikipedia, para korban itu adalah Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin wartawan Harian Bernas, dibunuh pada 16 Agustus 1996. Pembunuhan diduga lantaran menulis dugaan kasus korupsi di Bantul. Pada 25 Juli 1997, giliran Naimullah wartawan Harian Sinar Pagi, yang dibunuh. Dibunuh, diduga terkait investigasi pembalakan liar di Kalimantan, yang melibatkan oknum kepolisian.

Pembunuhan itu terjadi karena pelaku tidak terima dengan berita investigasi para korban. Mulai soalan korupsi, pembalakan liar, narkoba, sengketa lahan, sampai persaingan politik pejabat.

Sudah saatnya pihak terkait memberi jaminan atas keselamatan insan Pers, di seluruh dunia. Tak hanya di Gaza, tapi juga di Indonesia. Pembunuhan wartawan yang dulu sangat tabu, kini ibarat teori jendela kaca pecah. Hal-hal tabu, yang dibiasakan, seakan menjadi sesuatu yang biasa.

Sungguh, jika tak dihentikan, ini sangat mengerikan. Sebuah praktik pembungkaman kebenaran dengan menghilangkan nyawa manusia.

Shalaallahu alaa Muhammad.

(Rudi Agung)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Sekitarkaltim.ID -

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image