Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Erlin Yunisa Anggraini

Budaya Patriarki di Indonesia

Gaya Hidup | 2023-11-21 16:19:17
Gambar dari Pinterest https://pin.it/8cFsBja

Oleh Erlin Yunisa Anggraini

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Bimbingan dan Konseling Islam

Kesetaraan gender saat ini menjadi hal yang digembar gemborkan oleh para perempuan. Para perempuan bersuara agar dipandang sama dengan laki- laki, baik dalam hal pekerjaan maupun hal lainnya. Perempuan pun punya hak yang sama untuk berjuang, kesetaraan gender sangat sulit diwujudkan di Indonesia karena banyak hal yang membelenggu perempuan untuk bersuara maupun untuk bertindak agar tercapai kesetaraan ini. Salah satu budaya yang menyebabkan perempuan tidak dapat berkembangnya kesetaraan gender adalah budaya patriarki yang masih kental di Indonesia. Patriarki sendiri mewujudkan kepercayaan bahwa laki-laki mendominasi perempuan. Patriarki berasal dari kata “ patriarkat” memiliki arti struktur penempatan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dari pada gender lainnya dalam hal ini gender yang dimaksud adalah perempuan. Budaya ini menempatkan perempuan sebagai makhluk yang diposisiskan sebagai nomor dua dimana kedudukan mereka tidak dapat melampaui atau mengungguli para laki-laki. Stigma ini muncul dari masa lampau yang dimana laki-laki ditempatkan sebagi hierarki teraras dan perempuan berada dibawahnya . Di agama Yahudi perempuan dianggap sebagai najis, sumber polusi dan bermutu rendah. Sedangkan, dalam masyarakat Budha pada tahun1500 SM,perempuan dinikahkan sebelum masa pubertas dan mereka tidak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Begitu juga yang terjadi di Indonesia pada masa penjajahan Jepang dan Belanda perempuan dianggap sebagai pemuas nafsu mereka saja, jadi perempuan dianggap sebagai seorang yang hina dan terdapat peraturan yang melarang para perempuan untuk mengenyam pendidikan kecuali para priyayi dan bangsawan.

Budaya ini masih berkembang subur di Indonesia dan masih berlangsung hingga saat ini, Praktik ini dapat di lihat diberbagai bidang seperti ekonomi, sosial dan budaya hingga pendidikan. Praktik budaya ini meneyebabkan berbagai masalah di Indonesia. angka kekerasan pada perempuan setiap tahun meningkat dihimpun dari catatan tahunan Komisi Nasional(Komnas) jumlah kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 adalah sebanyak 431.471 meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 406.178. Kondisi ini didorong oleh kegamangan antara kesetaraan gender yang tidak jelas antara dominan di ranah domestik atau publik. Kondisi ini diperparah dengan persepepsi masyarakat bahwa perempuan hanya bisa mengerjakan urusan domestik rumah tangga seperti melanjutkan keturunan, memasak, mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak dipresepsikan sebagai pekerjaan khusus untuk perempuan. Sedangkan, laki-laki dianggap hanya sebagai tulang punggung keluarga, pencari nafkah, fungsi reproduktif dan bertanggung jawab keberlangsungan rumah tangga.

Hal tersebut menjadi penyebab laki-laki menyandang sebagai bapak dalam keluaraga terkadang merasa sebagai penguasa dalam rumah tangga padahal seharusnya rumah tangga itu diatur oleh dua orang yang menikah bukan salah satunya saja. Contoh budaya ini terdapat didalam setiap lingkungan masyarakat baik lingkungan kerja, pendidikan, rumah tangga, politik bahkan ranah pribadi perempuan itu sendiri. Contohnya dalam ranah rumah tangga seorang istri harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti bersih-bersih rumah, memasak dan mengasuh anak jika tidak mengerjakan itu semua akan dikucilkan oleh masyarakat berbeda dengan laki-laki jika mengerjakan akan di anggap diberbudak atau takut terhadap istri ketimpangan ini membuat perempuan banyak mengalami stress karena tekanan dari masyarakat dan tidak didukung oleh suaminya. Di lingkungan kerja pun perempuan mengalami dibedakan dengan pekerja laki-laki mereka mendapat upah yang lebih sedikit disbanding para laki-laki padahal jam kerja yang sama. Budaya ini juga merambah di ranah pribadi seperti perempuan harus bisa menjaga bentuk badan, wajah sampai baju yang dikenakan. dan perempuan diberikan atau di beri nirma-norma yang berlaku dimasyarakat yang memojokkan perempuan, seperti harus berpakaian tertutup, tidak pulang larut malam karena perempuan yang pulang malam sering dianggap sebagai Perempuan yang tidak baik. Akan tetapi ada satu hal yang sering menjadi masyarakat yaitu perempuan tidak perlu berpendidkan tinggi karena hanya akan jadi ibu rumah tangga saja nantinya. Selain itu contoh dari budaya ini adalah kasus KDRT yang meningkat, pelecehan seksual, pernikahan dini, perceraian yang menyebabkan stigma di masyarakat yang semakin memojokkan para perempuan.

Mengatasi budaya ini tidaklah gampang, tapi kita bisa mewujudkannya dengan melibatkan semua unsur masyarakat sehingga kesetaraan gender dapat dilaksanakan dengan baik. Dimulai dari lingkungan keluarga peran orang tua sangat penting dalam penanaman budaya ini, orang tua dapat dengan tidak lagi membanding-bandingkan anak, menggolongkan pekerjaan rumah bahwa pekerjaan itu tugas perempuan padahal urusan rumah itu merupakan tanggung jawab bersama. Jika di keluarga telah bisa atau mampu menerapkan ini maka di lingkungan masyarakat pun sedikit demi sedikit harusnya bisa tercapai kesetaraan gender ini.

Bahwa budaya patriarki merupakan budaya yang dimana memandang laki-laki lebih unggul dalam segala hal di bandingkan perempuan. Budaya yang menyebabkan perempuan terkekang ini, masih kental dimasyarakat Indonesia. Budaya yang seharusnya sudah lama luntur atau bahkan hilang ini bahkan sekarang semakin menjamur dan bertumbuh subur. Budaya yang menempatkan perempuan sebagai si nomor dua ini menyebabkan perempuan di Indonesia sulit untuk berkembang atau bahkan layu sebelum mulai berjuang. Patriarki menyebabkan banyak dampak seperti maraknya KDRT, pemerkosaan atau pelecehan seksual, pernikahan dini, bahkan perceraian yang dimana korbanya barang tentu para perempuan. Cara yang tepat dan baik untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan kesetaraan gender di lingkungan manapun seperti keluarga, sekolah, kuliah, kerja bahkan masyarakat. Perempuan bisa memiliki hak sama seperti laki-laki dan sesuai dengan porsi masing-masing. Mereka dapat bebas berpendapat, bersosialisasi dianggap sebagai bagian dari Masyarakat juga yang tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image