Status Harta Waris Bagi Anak dari Pernikahan Beda Agama
Agama | 2023-11-20 20:57:51Indonesia sebagai negara berbasis multi-kultural, menimbulkan banyak dampak interaksi sosial, salah satunya adalah pernikahan beda agama. Salah satu dampak ini yang kemudian hari mengantarkan pola pikir yang tabu pada masyarakat Indonesia. Contoh kasus yang terjadi pada tahun 2019, seorang laki-laki penganut agama Katolik bernama Onadio Leonardo yang menikahi Beby Presilia seorang perempuan muslim Indonesia menggiring pernyataan pro-kontra masyarakat tanah air. Alasan mengapa pernikahan kedua pasangan tersebut dibolehkan adalah Gereja Katolik menerima pernikahan beda agama tersebut.
Di Indonesia, para ahli hukum klasik dan kontemporer mengharamkan pernikahan beda agama dan statusnya tidak sah. Al-Muraghi juga menegaskan bahwa di kalangan Arab dan non-Arab sekalipun melarang hal tersebut. Keputusan MUI No.4/2005 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 dan 44(C) menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah. Berbeda dengan pendapat Prof. Quraisy Shihab yang memaparkan bahwa status pernikahan beda agama adalah sah jika salah satu pasangan merupakan ahli kitab.
Pengakuan negara terhadap enam agama di Indonesia saat ini menimbulkan banyak kontroversi dan konsekuensi di kalangan masyarakat Indonesia. Diantaranya ialah melahirkan persoalan dalam rumah tangga, yaitu status harta waris pada ahli waris yang berbeda keyakinan. Indonesia perlu menyusun kembali hukum Islam sesuai keadaan masyarakat saat ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Putusan Mahkamah Agung No.368K/A6/1995 memutuskan bahwa anak non-muslim memperoleh bagian harta peninggalan orang tuanya yang muslim atas dasar wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat yang didapat ahli waris yang terhalang dari salah satu unsur agama. Intinya, ahli waris yang non-muslim tetap bisa mendapatkan harta warisan walaupun agama antara anak dan orang tua itu berlainan. Bagiannya maksimal 1/3 sesuai hadis Rasulullah Saw. Konsep wasiat ini adalah solusi atas problematika akibat pernikahan beda agama guna menghindari perselisihan antar keluarga, serta memberikan keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat.
Pernikahan beda agama sejak dulu hingga saat ini masih terlibat kontroversi. Padahal hukum Islam dan hukum Indonesia sudah melarang pernikahan beda agama. Tetapi, dalam praktek-nya warga Indonesia masih saja melakukan hal itu alih-alih melangsungkan pernikahan di luar negeri atau di Gereja Katolik tempat dimana pernikahan ini tidak dilarang.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) No.368K/AG/1995 dan putusan Mahkamah Agung RI No.51K/A6/1999 yang menyatakan bahwa anak non-muslim memperoleh bagian harta peninggalan orang tuanya yang muslim atas dasar wasiat wajibah. Bertentangan dengan hukum waris Islam, seorang muslim tidak dapat mewarisi orang non-muslim, begitupun sebaliknya. Rasululullah Saw bersabda:
“Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula mewarisi harta orang muslim” (HR. Bukhari dan Muslim). Berbeda dengan pendapat seorang cendikiawan Muslim asal Mesir, yakni Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan perihal hak waris, orang Islam boleh menerima warisan dari orang non-Islam.
Empat ulama madzhab pun bersepakat perihal 3 penyebab yang menghalangi pembagian harta waris, yaitu: beda keyakinan, pembunuhan, dan perbudakan. Perbedaan agama dalam kasus pembagian waris ini perlu ditinjau kembali, karena salah satu tujuan pembagian harta waris ialah mendekatkan kerabat yang jauh, dan menolongnya dari kesulitan. Inti dari putusan Mahkamah Agung ialah ahli waris muslim atau non-muslim masih bisa mendapatkan harta waris dari kedua orang tuanya yang beda keyakinan. Aturan tersebut dibuat demi menghindari konflik antar keluarga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.