Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image zahrotul mujahidah

Pengalaman Mengajari Siswa dalam Menulis

Eduaksi | Friday, 17 Nov 2023, 23:00 WIB
Para siswa menyempurnakan mading yang dibuat secara berkelompok. Dokumen pribadi.

Menjadi guru selama delapan belas tahun satu bulan terhitung sejak saya masih menjadi Guru Tetap Yayasan, sudah pasti merasakan suka duka dalam pembelajaran. Namun itu tak menyurutkan saya untuk membimbing siswa dalam proses pembelajaran.

Bulan Juli tahun dua ribu lima saya mengabdi atau menjadi guru Wiyata bakti atau Guru Tidak Tetap Yayasan (GTTY). Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana besaran gaji guru non-PNS. Jelas tak sebanding dengan pengeluaran harian, mingguan atau bulanan.

Saya pribadi sadar kalau kesuksesan itu butuh proses. Meski saudara-saudara sudah menjadi PNS, saya tak berkecil hati. Saya syukuri semua yang saya jalani.

Ketika pertama kali menjadi guru, saya mengajar di SD mulai dari mengajar mata pelajaran IPS saat beban jam mengajar masih delapan belas jam pelajaran. Sampai akhirnya saya mengajar siswa kelas III selama beberapa tahun sebagai guru kelas, lanjut mengajar kelas IV dan sempat mengikuti siswa sampai kelas V. Mengajar di kelas berapapun, para siswa saya latih untuk menulis. Dan hasilnya pun menyesuaikan dengan perkembangan usia mereka.

Bagaimana cara saya mengajarkan siswa untuk menulis? Langkah pertama, saya harus bisa menulis. Setidaknya tulisan itu bisa menjadi contoh bagi siswa yang masih kebingungan dalam menuangkan ide atau gagasan ke dalam bentuk tulisan.

Jadi mau tidak mau saya harus belajar menulis dengan contoh sederhana sesuai tema, sesuai perkembangan usia siswa. Jadi para siswa bisa paham dan bisa mulai menulis idenya dalam bentuk puisi, cerita pengalaman dan sebagainya.

Langkah kedua, saya tentukan tema atau topik yang dekat dengan dunia anak seperti guru, ibu, binatang kesayangan, bunga dan sebagainya. Mulailah para siswa menulis di buku masing-masing dengan bimbingan saya.

Saya mengelilingi kelas dan membaca atau memberikan petunjuk untuk menuliskan gagasan kepada siswa satu persatu. Tulisan siswa yang sudah selesai, saya koreksi ketepatan paragraf maupun tulisan yang kurang lengkap hurufnya. Setelah saya koreksi dengan coretan pulpen baik dengan lingkaran, anak panah dan petunjuk lisan, maka siswa mengubah lagi tulisan atau merevisinya.

Dalam mengoreksi, saya berusaha mempertahankan keaslian tulisan siswa. Bagaimanapun tulisan siswa akan sangat berbeda dengan tulisan guru. Jadi, saya tidak memoles sampai karya siswa menjadi super bagus untuk ukuran siswa SD.

Tulisan-tulisan yang sudah saya koreksi dan sudah ditulis ulang oleh siswa, selanjutnya dipindahkan ke kertas-kertas. Saya utamakan ke kertas bergaris karena siswa SD masih perlu garis pertolongan untuk menulis yang rapi.

Tulisan yang sudah dipindahkan itu kemudian digambari para siswa sesuai kreatifitas masing-masing dan ditempelkan ke majalah dinding. Paling tidak dalam satu kelas dibagi menjadi tiga majalah dinding. Tidak untuk dilombakan, tetapi lebih diarahkan agar siswa bisa belajar bekerja sama dengan temannya demi menghasilkan majalah dinding yang rapi.

Dalam penempelan tak jarang saya bantu mengarahkan, judul majalah dinding, tata letak dan sebagainya. Barulah nanti majalah dinding dipajang di dinding kelas.

Langkah-langkah ini sudah sering saya laksanakan. Dari tahun pertama hingga masa pra pandemi, siswa saya ajak begitu. Namun setelah masa pandemi berakhir, terlebih satu tahun terakhir, siswa tetap saya ajak menulis dan saya beri langkah-langkah yang sama dengan siswa-siswa sebelumnya. Hanya saja dalam penyajiannya saya ubah sedikit. Beberapa tulisan memang terpajang di dinding kelas, namun pada akhirnya saya berinisiatif untuk membukukan karya-karya siswa.

Alasannya saya ingin karya itu abadi. Setidaknya saya dan sekolah tetap memiliki arsip tulisan para siswa dari tahun ke tahun karena di setiap akhir tahun ajaran, portofolio siswa saya bagikan, termasuk tulisan-tulisan mereka.

Alasan kedua, tulisan itu bisa menjadi contoh bagi adik-adik kelas para siswa. Setidaknya adik kelas mereka memiliki gambaran yang berbeda dengan ide yang telah dituliskannya.

Alasan ketiga, ini merupakan salah satu perwujudan dari P5 meski sekolah masih menyelenggarakan pembelajaran dengan kurikulum Mandiri Belajar, belum Kurikulum Merdeka sepenuhnya. Jadi, dalam pembentukan profil pelajar Pancasila tak harus dengan hura-hura mengingat kondisi perekonomian orang tua siswa.

Alasan keempat, buku kumpulan itu bisa membuat siswa berbesar hati dan bangga dan lebih memacu mereka untuk mengembangkan kemampuan menulisnya di masa depan.

Dengan pertimbangan itu, saya yang berinisiatif membukukan karya siswa mau tak mau mengeluarkan uang untuk biaya cetak buku.

Oh iya, semula saya ingin buku karya siswa ini ber-ISBN. Sampul buku saya konsep menggunakan gambar atau lukisan karya salah satu siswa. Namun, saat pengajuan untuk usul ISBN, oleh penerbit diberi usul agar formatnya diperbaiki karena terbaca kalau konsep awal buku baik judul maupun urutan adalah kumpulan tugas.

Saya iyakan saja usul penerbit dan oleh penerbit diminta untuk membuat surat pernyataan keaslian tulisan buku dengan materai sepuluh ribu. Saya buat surat pernyataan dengan nama saya dan kawan-kawan. Memang saya cantumkan empat atau lima tulisan saya dalam draft buku.

Bagaimana hasil usaha ini? Ternyata ISBN tetap tak mungkin didapat dari kumpulan tulisan siswa dan nama saya. Ya sudah, tak apa. Saya tak begitu kecewa. Hal terpenting, saya tetap komitmen untuk mewujudkan proyek kecil-kecilan yaitu membukukan karya siswa.

Maju terus pantang mundur. Alhasil, setelah menunggu beberapa minggu, buku kumpulan tulisan siswa sudah sampai tangan saya. Dan yang menggembirakan, buku itu bisa dipajang dalam Gelar Karya Tutup Tahun bulan Juli 2023.

Memang karya seperti itu tidak begitu menarik bagi para pengunjung karena mereka lebih menyukai pentas budaya Jawa ketimbang membaca tulisan. Saya maklumi itu.

Hanya beberapa orang tua siswa yang menyambut baik buku itu. Bahkan dengan bangganya mereka menceritakan kepada pengunjung Gelar Karya bahwa anak-anak mereka bisa menulis.

Paling tidak, para siswa memiliki bekal menulis untuk belajar di tingkat berikutnya. Bahkan mungkin saja di antara mereka nantinya ada yang menjadi penulis.

Siswa-siswa sendiri saat proses menulis masih ada beberapa yang malas atau kesulitan menuangkan ide mereka. Jika seperti itu, saya berikan kesempatan untuk bercerita lisan dan saya tuliskan dalam bentuk tulisan.

Prinsip saya, model belajar para siswa belajar tak sama. Ada yang belajar dengan cara visual, audio maupun audio-visual. Jadi, saya mengikuti saja model belajar mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image