Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kamaruddin

Kisah Pilu Isnaini Kehilangan Putri Bungsu Saat Tsunami Aceh

Info Terkini | Monday, 03 Jan 2022, 02:30 WIB
Isnaini menangis saat bercerita tentang Tsunami Aceh | Foto : Dok. Pri

Banda Aceh - 17 tahun sudah Tsunami Aceh berlalu. Peristiwa bersejarah Minggu pagi, 26 Desember 2004 itu mengubah gembira menjadi lara. Tak ada seorangpun bisa meramal kejadian maha dahsyat itu.

Gempa tektonik berkekuatan 9,1 skala Richter dan tsunami dengan ketinggian ombak mencapai 20 sampai 30 meter, memporak-porandakan hampir seluruh daerah di Provinsi Aceh, terutama Kota Banda Aceh, menjadi kota terparah yang dijarah gelombang tsunami.

Gempa dan Tsunami Aceh kala itu menelan korban jiwa 280 ribu lebih. Jumlah yang tidak sedikit, tsunami telah merenggut segalanya, orangtua yang kehilangan anaknya, anak yang kemudian menjadi yatim piatu. Betapa kebahagiaan sesungguhnya runtuh hanya dalam hitungan jam.

Tsunami Aceh memang menyisakan pilu mendalam, tak terkecuali bagi pasangan suami istri, Isnaini, 66 tahun dan Heri Junaidi, 67 tahun, Warga Desa Blower, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Keduanya merupakan penyintas Tsunami Aceh yang ditemui saat sedang ziarah di kuburan massal Ulee Lheue, Banda Aceh, Minggu, 26 Desember 2021.

Setiba di lokasi, saat hendak memasuki kuburan massal, disambut pintu gerbang menjulang tinggi. Pada dinding pintu gerbang megah itu tertulis dalam bahasa Arab dan Aceh, dikutip dari Al-Anbiya ayat 35, yang berarti “Tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan”.

Sepuluh meter memasuki pintu gerbang, tepatnya di tengah-tengah jalan setapak, terdapat sebuah tenda lengkap dengan kursi yang sudah disusun acak. Peziarah yang datang terlihat khusyuk membaca Al-Qur'an dan berdo'a di hamparan rumput maupun di kursi.

Kuburan massal berada di halaman bekas Rumah Sakit Umum Meuraxa yang rusak parah terkena hempasan gelombang laut. Tidak ada nisan di sana, hanya ada beberapa batu besar sebagai tanda, hal itu tidak terlepas karena korban yang dikebumikan secara bersamaan. Sehingga sangat sulit mengenali korban dan terbatasnya waktu saat itu.

Setelah Isnaini dan Heri selesai membaca Al-Qur'an dan do'a, menghampiri. Isnaini tampak murung, begitu juga Heri. Keduanya seakan sedang memendam luka yang begitu dalam. Benar saja, begitu obrolan dimulai. Isnaini tak sanggup membendung lagi air matanya yang sejak tadi seperti tertahan.

"Enam dari keluarga kami pergi untuk selamanya saat tsunami menerjang Aceh 2004 silam. Satu diantaranya anak bungsu kami bernama Ayu Ariani," pecah tangis Isnaini saat memulai cerita kepada penulis, Minggu, 26 Desember 2021.

Pagi setelah gempa pertama, kata Isnaini, putri bungsunya bersama tujuh saudaranya yang lain pergi menuju ke arah pantai Ulee Lheue Banda Aceh untuk melihat-lihat kondisi di sekitar pantai. Meski sempat melarang, Ayu tetap bersikukuh untuk ikut saudaranya yang lain. Ternyata, kepergian itu merupakan kepergian mereka untuk selamanya.

"Setelah gempa, mereka bertujuh pergi ke Pantai Ulee Lheue untuk liat-liat. Tapi tidak pernah pulang lagi. Mereka pergi naik mobil. Dari tujuh hanya satu yang selamat, yaitu anak dari adik saya. Sedangkan Ayu, jangankan selamat, jenazahnya saja saya tidak temukan," ungkap Isnaini kembali menangis. Isnaini kesulitan bercerita, menghentikan wawancara beberapa saat. Heri menenangkan istrinya.

"Ketujuh anggota keluarga yang ikut bersama-sama ke Pantai Ulee Lheue saat itu yaitu anak kandung saya, cucu, menantu, anak kakak, anak abang dan anak adek. Hanya anak adek yang selamat. Kuasa Allah SWT," ungkap Isnaini mulai tenang.

Peristiwa tsunami itu terjadi tidak lama setelah mereka berangkat, sekitar 15 menit. Teriakan "air laut naik, air laut naik" menggema seluruh Kota Banda Aceh. Orang-orang berlari mencari tempat paling tinggi. Langkah Isnaini begitu berat, selain memikirkan si bungsu. Dia juga memikirkan suami yang berprofesi sebagai tukang becak yang hari itu sedang mangkal di Pasar Aceh.

Bersama cucu yang berada di gendongan dan anak-anak kandung yang lain, Isnaini berlari menuju masjid di Gampong Blower. Perasaan berkecamuk, hati sudah tak karuan, pikiran sudah mati, gerak air begitu cepat menerjang dan meninggi.

Isnaini tidak mampu membayangkan ketika berada di atap masjid, pandangannya lurus ke arah Pantai Ulee Lheue. Begitu dahsyatnya air laut mengamuk, meluapkan segala amarah pada manusia saat itu. Gelombang besar menggulung dan membawa segala yang ada di darat.

Pandangan berbeda, di Gampong Blower, air laut hanya sepinggang orang dewasa. Memang begitu, tsunami Aceh seakan memilah, hanya beberapa daerah saja yang rusak parah. Suara orang minta tolong sepersekian menit terdengar bersamaan dengan suara azan. Kiamat ! kalimat itu tiba-tiba terucap dari mulut Isnaini, yang masih menggendong cucunya yang berusia dua tahun.

Setelah beberapa jam tsunami melanda bumi Serambi Mekkah. Isnaini bersama yang lainnya turun dari atap masjid. Pemandangan tidak sama seperti tadi sebelum dia naik ke atap masjid. Kini, tumpukan mayat ada dimana-mana. "Ada mayat yang tidak ada sehelai kain pun di badannya. Saya teringat anak saya, apa dia seperti itu juga," tutur Isnaini kembali tak bisa membendung air matanya.

Saat turun, lanjutnya, ia langsung bergegas mencari suami dan anak bungsunya. Bersyukur kepada Allah SWT, Isnaini dipertemukan dengan suaminya di perjalanan saat pencarian. Ketika itu, suaminya Heri, sedang dalam perjalanan pulang kerumah dari Pasar Aceh. Kemudian, dibantu anak-anak yang lain, Isnaini mencari anaknya yang bungsu.

Selama tiga hari pasca tsunami, ia mencari anak bungsunya itu kesana kemari, namun tak kunjung ditemukan. Hingga tiba hari dimana petugas sudah menjaga beberapa titik lokasi, sehingga tidak dapat lagi akses untuk mencari. "Muka saya sampai luka karena menangis. Tapi itu sudah kehendak Allah, kita harus ikhlas," tutur Isnaini.

Pernah suatu ketika, mereka hadir dimimpi adik ipar Isnaini. Dalam mimpi, keenam anggota keluarga yang pergi hari itu memberitahukan bahwa mereka dikebumikan di kuburan massal Ulee Lheue Banda Aceh. Makanya, setiap tahun, Isnaini ziarah ke sana. Tapi, dirinya juga pergi ke kuburan massal di Siron, Aceh Besar.

Kenangan yang paling membekas di ingatan Isnaini hingga sekarang, putri bungsunya itu rencana ingin melanjutkan kuliah di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Berbagai persiapan telah dipersiapkan. Rencana yang sudah dirancang jauh-jauh hari itu buyar dalam sehari. Tsunami membawa Allahuyarham Ayu bersama kenangan. "Ternyata, Allah lebih sayang sama Ayu. Kini dia sudah tenang bersama para syuhada yang lain," ucap Isnaini.

Isnaini memiliki empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Ayu adalah anak bungsu, saat itu usianya 18 tahun dan baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Jika seandainya Ayu masih ada, usianya sudah 35 tahun sekarang, mungkin dia sudah menikah dan bekerja seperti halnya kawan dia yang lain.

"Tapi begitulah takdir, tidak bisa kita elak. Dia anaknya sangat gembira, ceria," ujar Isnaini sambil mengusap air mata.

Heri diselamatkan dua anak muda

Suasana depan Masjid Raya Baiturrahman usai Tsunami Aceh | Foto : Dok. Pri

Saat tsunami melanda, Heri berada di pangkalan becak sekitaran Pasar Aceh. Ketika tahu air laut naik, Heri berusaha pulang ke Gampong Blower untuk menyelamatkan keluarganya. Namun, air laut yang bergerak begitu cepat, kemudian semakin tinggi, sehingga mematahkan langkahnya.

"Saya mengapung di air, saya selalu mengucap Allahu Akbar saat mengapung. Saya ketelan air tsunami, bau bangke. Paru-paru saya sempat bermasalah," ucap Heri melanjutkan cerita istrinya Isnaini.

Saat sedang mengapung, Heri ditolong dua anak muda yang sedang berlindung di atas ruko. Allah SWT mengutuskan dua anak muda itu untuk menggapai tangannya. Sampai sekarang masih ada bekas luka di kaki Heri. Dalam air, segala macam benda mengenai kakinya.

"Air laut saat itu tidak bisa saya gambarkan, saya minta jangan sampai kejadian seperti itu terjadi lagi. Air laut cukup tinggi. Kalau saya ketemu orang yang menolong saya, akan saya jadikan saudara. Setelah hari itu, kami tidak pernah bertemu lagi," ucap Heri menutup obrolan hari itu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image