Kisah Simpatisan (Buzzer Politik) Gagal Karir
Politik | 2023-11-01 19:55:24Susianah Affandy
Kornas Peta Indonesia dan Wakil Ketua Umum DPP Pencinta Tanah Air Indonesia
Pemilu 2019 menyisakan banya kisah pilu para simpatisan, khususnya buzzer politik. Kisah pilu yang banyak dialami para buzzer adalah mereka sebagian besar ditolak atau gagal dalam seleksi sebagai penyelenggara Pemilu maupun pengawas Pemilu baik tingkat Kab/Kota maupun tingkat Propinsi.
Usut punya usut, ternyata salah satu persyaratan administrasi pendaftaran sebagai calon pejabat baik pusat maupun daerah adalah menyertakan alamat akun media sosial, baik facebook, Instagram, twitter dan youtube. Meski tidak tertera spesifik terdapat tahapan penelusuran rekam jejak media sosial, namun kenyataannya hal tersebut menjadi bagian dalam seleksi.
Simpatisan Rasa Buzzer
Anak muda inisial HLS (35 tahun), ia merupakan aktifis organisasi kepemudaan tingkat nasional. Ia memiliki rekam jejak sebagai pemimpin organisasi sejak duduk di bangku SMP. Performanya yang santun dan tenang membuat kepemimpinannya disukai oleh anggota di bawahnya. Nyaris kepemimpinan tanpa konflik, sebagaimana wajahnya yang tenang. Jabatan sebagai Wakil Presiden Mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri membuktikan bahwa ia sosok pemimpin muda yang mendapat dukungan mayoritas karena jabatan BEM dipilih langsung oleh mahasiswa.
Lulus kuliah, ia bekerja sebagai advokad dan juga aktifis. Kala itu tahun 2016, bersama rekan-rekannya sesama advokat dan aktifis, ia terlibat dalam kegiatan dukung-mendukung pasangan Calon Gubernur. Sayangnya ia menempatkan diri sebagai bagian dari buzzer. Bedanya, ia bukan buzzer bayaran sebagaimana pada umumnya. Penulis menduga, idealisme yang membuatnya merasa harus turut serta memperjuangkan calon Gubernur yang didukungnya.
Dorongan yang kuat agar calon yang didukung menang membuatnya berperilaku layaknya para buzzer bayaran di media sosial. Ia tampil secara aktif dan penuh agresif dalam debat kusir di media sosial. Sayangnya, debat kusir yang sebagian besar dilakukan oleh akun robot di media sosial ini menyulut dan membuatnya terpancing sehingga ikut-ikutan menyerang, mengumpat dan sebagainya. Padahal ia menggunakan akun dan identitas asli sedangkan lawan debatnya sebagian besar adalah akun robot.
Menyerang di Group Pertemanan
Debat kusir saling serang dengan kalimat kurang sopan tak hanya dilakukan di platform facebook dan twitter, anak muda ini juga terlibat dalam aksi saling serang dengan simpatisan pasangan Cagub di group pertemanan whatsapp.
Sebagaimana kita ketahui, WhatsApps merupakan aplikasi messenger dengan menjalankan fungsi yang mirip Blackberry Messenger yakni memfasilitasi pengguna dapat mengirim dan menerima pesan tak hanya sms, namun juga pesan suara, gambar bahkan video tanpa menggunakan pulsa, hanya membutuhkan koneksi internet (nesabamedia.com). Kemudahan penggunaan membuat aplikasi whatsapps sangat diminati oleh hampir semua kalangan, khususnya anak muda. Karena selain mudah, mereka bisa menjalin komunikasi dimanapun berada selama ada wifi.
Perbedaan whatsapp dengan media sosial seperti facebook terletak pada sifat dan fungsinya. WhatsApps diminati hampir semua kalangan karena fokus pada perpesanan dan panggilan suara/video sedangkan facebook memiliki fitur yang lebih banyak seperti umpan berita, pasar, dan permainan (teksbook.com). Aplikasi WhatsApps Group biasanya antar anggota saling kenal, minimal mereka memiliki hubungan tertentu seperti jaringan alumni, keluarga, kantor dan organisasi.
Berdebat kusir, saling serang dan menyudutkan Cagub di aplikasi pertemanan dalam pandangan penulis adalah tindakan konyol. Anggota WA Group seperti keluarga besar, harusnya kita bersikap saling menghormati dan menghargai. Alih-alih berlaku sopan, pemuda yang tampangnya kalem ini terjebak pada perdebatan dengan sesama teman dan bahkan di sana juga ada senior dari almamater dan organisasinya.
Sulit Karir
Wal hasil, pasca Pilgub ia kesulitan dalam mengembangkan karir. Ia gagal dalam seleksi sebagai penyelenggara Pemilu tingkat Kota Madya. Ia mendapat informasi dari rekan dan seniornya, bahwa rekam jejak digital di mana saat ia memposisikan diri sebagai buzzer Pilgub masuk dalam penilaian panitia seleksi. Selain dianggap tidak sopan dalam bermedia sosial, ia juga dinilai telah berpihak pada kepentingan politik tertentu. Padahal syarat menjadi penyelenggara Pemilu adalah harus independent dan tidak terjebak pada konflik kepentingan.
Apa yang bisa dipelajari dari kisah di atas? Percakapan kita di media sosial dan dunia maya dipantau oleh banyak orang. Bahkan algoritma google juga mencatat serta merekamnya dengan rapi. Jika kita tidak bijak dalam bermedia sosial, maka hal tersebut akan merugikan kita sendiri, khususnya terhadap karir saat ini dan masa depan.
Jika kita bukan buzzer bayaran, sebaiknya tidak terjebak pada aksi dukung mendukung politik yang menjadikan kita terlibat dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Para buzzer memang telah memilih dunianya sendiri. Jika buzzer menggunakan akun kloningan dan akun robot, lalu bagaimana mungkin kita yang “nyata, bukan robot” juga tidak punya kepentingan politik memasang badan untuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Wallahu ‘alam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.