Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizki Dian Nursita

Merespon Fenomena Hijab-Ban Global

Politik | Tuesday, 31 Oct 2023, 15:30 WIB
Sumber: Pixabay

Fenomena Hijab-Ban di Beberapa Negara di Dunia

Fenomena pelarangan penggunaan hijab tidak hanya terjadi di Prancis. Sejumlah negara telah menerapkan pelarangan penggunaan hijab dalam batasan tertentu dan beberapa di antaranya ada yang telah menarik kebijakan pelarangan penggunaan hijab, seperti yang dilakukan oleh Turkiye dan Uzbekistan (NDTV, 2021). Hingga saat ini, pelarangan penggunaan hijab sayangnya masih terjadi di beberapa negara yang justru memiliki populasi muslim mayoritas, seperti Kazakhstan dan Kirgizstan di Asia, serta Bosnia-Herzegovina di belahan bumi Eropa.

Populasi muslim di Eropa, yang sebelumnya pada tahun 2010 sejumlah 3,8% dari total populasi masyarakat di Eropa, pada tahun 2016 meningkat hingga 4,9% dari total populasi, atau mencapai angka 25,8 juta jiwa. Angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 7,4% hingga 14% persen pada tahun 2050, bergantung pada kebijakan penerimaan imigran yang diberlakukan oleh negara-negara Uni Eropa (Pew Research Center, 2017).

Pertumbuhan tersebut telah menyebabkan penerimaan terhadap penggunaan hijab menjadi lebih baik apabila dibandingkan dengan Eropa sebelum adanya gelombang pengungsi dari Timur Tengah, namun demikian sejumlah praktik pembatasan penggunaan hijab masih terjadi di beberapa negara di Eropa.

Di Austria misalnya, pelarangan penggunaan hijab bagi anak-anak di usia Sekolah Dasar sempat diberlakukan di sejumlah sekolah, sebelum akhirnya larangan tersebut dicabut pada tahun 2020 (Aljazeera, 2020). Pemerintah Federal Jerman pada tahun 2021 juga telah menerapkan aturan khusus yang berlaku bagi pegawai negeri untuk tidak menggunakan atribut agama yang kemudian melanggar netralitas Jerman dalam memberikan layanan administrasi publik terlepas dari kualifikasi yang dimiliki oleh pegawai tersebut (Salihović-Gušić, 2023).

Hal yang serupa juga terjadi di Kanada. Sejak tahun 2019, Pemerintah Kanada telah menerapkan ‘Bill 21’, sebuah undang-undang yang melarang penggunaan simbol agama termasuk hijab bagi karyawan yang memberikan layanan publik yang kemudian menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan masyarakat Kanada pada umumnya, khususnya dari kalangan muslim. Terlebih lagi, setelah kejadian yang menimpa Fatemeh Anvari, seorang guru di salah satu sekolah di Quebec yang dikeluarkan lantaran menggunakan hijab di kelas.

Di wilayah Asia, pelarangan hijab juga terjadi di beberapa negara, seperti di Tiongkok dan India. Sejak tahun 2014, Pemerintah Xinjiang, Tiongkok juga menerapkan pelarangan penggunaan hijab bagi para muslimah. Pemerintah di wilayah Qaramay, Ghulja, dan Turpan telah menetapkan pelarangan hijab dan identitas muslim lainnya seperti cadar, janggut panjang, dan pakaian bercorak bulan sabit di ruang-ruang publik. Pelarangan tersebut kemudian diikuti oleh pelarangan penggunaan cadar. Protes yang dan demonstrasi yang terjadi telah berdampak kepada penahanan dan kekerasan (Grose & Leibold, 2015).

Hal yang serupa juga terjadi di India. Pada awal Januari 2022, sejumlah mahasiswi beragama Islam di perguruan tinggi pra-universitas di Udupi, Negara Bagian Kartakana, India, tidak diperkenankan untuk menggunakan hijab di kampus. Keputusan sekolah tersebut rupanya merujuk kepada pedoman berpakaian yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kartakana untuk memastikan keseragaman dalam berpakaian. Protes dilayangkan oleh enam orang mahasiswi pada tanggal 26 Januari 2022 kepada pihak perguruan tinggi, namun justru berdampak kepada skors keenam mahasiswi tersebut.

Penyebab Hijab Ban

Menurut Zempi dan Chakraborti, setidaknya terdapat tiga aspek berkaitan dengan stigma negatif hijab yang berkembang di Barat, yaitu anggapan berkaitan dengan isu kesetaraan gender, keamanan publik, dan integrasi (Zempi & Chakraborti, 2014). Dengan kata lain, penggunaan hijab seringkali dipandang sebagai bentuk penindasan terhadap wanita. Hijab juga membuat muslimah tampak menonjol dan dianggap mengancam keamanan publik serta adanya anggapan bahwa hijab adalah simbol segregasi dan disintegrasi bagi negara yang menganut sekularisme. Padahal, anggapan tersebut justru kontradiktif dengan realita pelarangan hijab. Sebab sekularisme semestinya menempatkan agama sebagai urusan personal dan penerapan pelarangan hijab justru kerap diikuti dengan tindakan-tindakan memaksa.

Stigma tersebut tidak lain merupakan manifestasi dari Islamophobia. Berdasarkan laporan tahunan Islamophobia yang dirilis oleh Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI pada tahun 2022, ada kecenderungan peningkatan Islamophobia dalam lima tahun terakhir. Walaupun tingkat Islamophobia mengalami penurunan, namun penurunan tersebut tidaklah signifikan pada tahun 2020-2022. Fenomena Islamophobia justru mencapai posisi tertinggi pada Bulan September hingga November 2022. Laporan dari OKI juga menunjukkan bahwa Islamophobia paling banyak terjadi di Eropa, diikuti oleh Asia, dan Amerika Utara (OIC, 2022).

Bagaimana Merespon Fenomena Hijab-Ban?

Fenomena hijab ban sejatinya bukanlah hal yang patut untuk diabaikan, mengingat bahwa menjalankan agama merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Hak untuk menjalankan agama tertuang dalam pasal 18 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah disepakati oleh 173 negara di dunia.

Sayangnya, persoalan pelarangan hijab belum menjadi concern bagi muslim di dunia. Berdasarkan hasil pencarian melalui Google Trends dalam satu tahun terakhir, menunjukkan bahwa, pencarian terhadap konten yang berkaitan dengan ‘hijab-ban’ dalam dua tahun terakhir mayoritas berasal dari Uni Emirat Arab, India, Pakistan, Bangladesh, dan Qatar.

Bahkan, organisasi internasional setingat OKI belum dapat memberikan gagasan yang solutif bagi hijab ban yang terjadi di sejumlah negara.

Lantas, langkah apa yang semestinya perlu diambil untuk merespon fenomena ini? Tentu saja perlawanan dengan melayangkan protes tidaklah cukup untuk memperbaiki stigma yang berkaitan dengan hijab. Namun, dengan mempromosikan gagasan bahwa hijab adalah bagian dari identitas muslim. Misalnya, melalui gerakan International Hijab Solidarity Day atau IHSD yang diprakarsai oleh gerakan muslim dari Prancis, Jerman, Tunisia, dan Turki pada tahun 2004 dan diperingati pada setiap tanggal 4 September.

Selain IHSD, World Hijab Day atau WHD yang dicetus pada tahun 2013 oleh seorang aktivitas asal Amerika; Nazma Khan, diperingati pada setiap tanggal 1 Februari juga menjadi event positif yang dapat mengenalkan hijab di negara-negara dengan muslim minoritas. Diskursus mengenai hijab dan tantangan dalam kebebasan beragama juga penting untuk didiskusikan dalam ruang-ruang publik atau akademik.

Kemudian adalah bagaimana menjadikan hijab sebagai fesyen yang dapat diterima secara umum. Salaam Gateway memperkirakan pada tahun 2021, telah terjadi peningkatan belanja produk fesyen muslim sebesar 5,7% atau sekitar 295 milyar USD dan diperkirakan akan meningkat menjadi 375 milyar USD pada tahun 2025 (Salaam Gateway, 2022). Peningkatan minat terhadap produk fesyen juga dapat dilihat dalam beberapa tahun terakhir dimana sejumlah jenama fesyen mewah dunia juga melihat muslim sebagai pasar yang tidak dapat diabaikan dengan menghadirkan berbagai produk high fashion untuk para konsumen muslim.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image