Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nilna Farhati

Analisis Harmoni di Era 1960 dalam Cerpen Air

Sastra | 2023-10-29 23:04:48
Gambar 1. Buku cerpen Harmoni

Dalam kumpulan cerita pendeknya yang pertama, yang berjudul Harmoni, sastrawan Ras Siregar menciptakan karya pertamanya yang disebut "Air". Melalui tulisannya ini, Bung Ras menghadirkan berbagai isu yang beragam, dan ia menyadari bahwa tanpa gambaran yang tajam dan tepat dalam mengembangkan karakter-karakternya, upayanya untuk menggambarkan permasalahan-permasalahan tersebut akan sia-sia. Oleh karena itu, dalam cerita pendek "Air" ini, Bung Ras dengan cermat menciptakan suasana kehidupan di kota Harmoni agar terasa sangat nyata bagi pembaca. Bung Ras mencapai hal ini dengan merinci profil karakter-karakternya dengan sangat teliti. Pendekatan ini mencakup aspek fisik mereka, latar belakang sosial, dan juga aspek-aspek psikologis. Dengan cara ini, dimensi-dimensi ini membantu menjelaskan secara lebih mendalam realitas kehidupan di Harmoni yang ingin diungkapkan oleh Bung Ras.

cerita pendek ini, Bung Ras menitikberatkan perhatiannya pada fenomena sosial yang ingin dia ungkapkan, termasuk permasalahan air bersih yang terjadi di kawasan elit, khususnya di Harmoni. Agar pembaca dapat lebih memahami bahwa Harmoni adalah kawasan elit yang tetap terlibat dalam isu air bersih, penulis mencoba menjelaskan profil karakter dengan memasukkan aspek-aspek sosial.

Dimensi sosiologis ini tergambar pada kutipan cerita pendek (Siregar, 1987: 28) berikut ini

Beberapa tahun yang lalu, aku pernah tinggal di daerah Kemayoran. Airnya setetes-setetes. Kalau aku mandi lebih dari lima gayung, induk semangku akan bermuka masam. Lantas, ketika aku pindah ke Petojo, airnya mengucur sebesar kencing monyet. Tapi tetap, jika aku mandi lebih dari lima gayung, induk semangku akan mengomel panjang. Katanya air mahal! Ketika aku tinggal di Grogol hanya mandi dengan air sumur. Coklatnya memang tidak secoklat Kali Ciliwung. Gerutuan tetap saja sama. Air mahal! Maksudnya tentu air minum! Lebih dari itu, mereka merasa iri dengan orang yang sudah hidup dengan air ledeng. Kecuali daerah elite Menteng dan Kebayoran Baru, semua orang menggerutu tentang air.

Dari cuplikan tersebut, Bung Ras berusaha menguraikan peran dan kegiatan sosial tokoh dengan memperhatikan dimensi sosiologis. Selain sekadar menggambarkan, kutipan tersebut juga dengan jelas mengungkapkan kenyataan bahwa meskipun sudah sekitar 20 tahun sejak Indonesia merdeka, masih ada banyak orang di Jakarta yang tidak memiliki akses ke air ledeng. Ini adalah gambaran yang sangat akurat tentang situasi pada saat itu.

Meskipun masyarakat tersebut awalnya melakukan protes dan perlawanan, mereka akhirnya harus menerima kenyataan dan beradaptasi. Hal ini membuka jendela lebih lebar terhadap masalah air bersih pada era 1960-an.

Temperamen yang tinggi memberikan gambaran tentang tekanan yang dirasakan oleh masyarakat akibat masalah air bersih. Bung Ras menggambarkan situasi ini secara implisit, artinya ia menyampaikan pesannya secara tidak langsung tanpa mengurangi nilai estetika cerita pendeknya. Selain dari ketegangan yang timbul dari permasalahan air bersih, Bung Ras juga mengungkapkan realitas lainnya, yaitu adanya kesenjangan sosial pada masa itu

Secara lebih terperinci, kesenjangan sosial yang dimaksud di sini, dari segi dimensi sosiologis, mencakup status sosial, seperti perbedaan antara mereka yang kaya dan yang miskin, dan juga melibatkan kehidupan sosial dengan interaksi antarindividu. Di sisi dimensi psikologis, Bung Ras secara tidak langsung menggambarkan bagaimana kesenjangan sosial mempengaruhi mentalitas, norma, nilai-nilai, serta temperamen tokoh-tokohnya. Dengan menggabungkan kedua dimensi ini, pembaca dapat dengan jelas melihat dan merasakan kesenjangan sosial sebagai suatu realitas yang kuat. Ini adalah gambaran yang sangat baik tentang dinamika dunia sosial.

Selain memanfaatkan dimensi sosiologis dan psikologis, Bung Ras juga tidak lupa untuk menyertakan dimensi fisiologis dalam penciptaan profil karakter. Ini terlihat dari cara dia menggambarkan wajah dan jenis kelamin tokoh-tokoh tersebut. Penggunaan dimensi fisiologis ini juga diterapkan dalam kutipan lainnya (Siregar, 1987: 36) yang menyatakan, "Dari wajah mereka, aku dapat menyimpulkan bahwa mereka telah kehilangan segalanya." Dengan demikian, Bung Ras dengan efektif mengkomunikasikan realitas yang ingin dia ungkapkan, dan pembaca pun lebih mudah memahaminya.

Selain menyoroti isu air bersih dan kesenjangan sosial, Bung Ras dalam cerita pendek ini juga mencoba menggambarkan kondisi kehidupan keluarga pada era 1960-an, khususnya di kawasan Harmoni. Untuk menyampaikan maksud penulisannya dengan baik, ia kembali menggunakan dimensi sosiologis dalam pengembangan karakter-karakternya.

Kekhawatiran ini muncul karena biaya sewa rumah naik, dan hal ini menjadi tidak sesuai dengan pendapatan yang ia terima. "Sewanya 250 perak per bulan, setara dengan honorarium sebuah cerita pendek," seperti yang ditulis oleh Bung Ras dalam cerita pendeknya (Siregar, 1987: 30).

Jika melihat situasinya dari sudut pandang realitas, akan lebih masuk akal jika tokoh 'Aku' menemui temannya di perusahaan air minum lebih awal, bukan menunggu selama dua bulan seperti yang diceritakan oleh Bung Ras (Siregar, 1987: 37). Kejanggalan ini akhirnya mengakhiri cerita pendek ini dengan cara yang kurang memikat dan mungkin bisa mengecewakan pembaca karena alur cerita yang diperkenalkan oleh penulis.

Secara keseluruhan, penulisan dan penyampaian konflik dalam cerita pendek "Air" karya Ras Siregar dinilai cukup baik dan sesuai dengan realitas. Hanya saja, terdapat sedikit kejanggalan pada bagian akhir cerita yang bisa mengecewakan pembaca. Melalui cerita pendek ini, Bung Ras mengangkat berbagai isu sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada era 1960-an, termasuk masalah air bersih, kesenjangan sosial, dan kehidupan keluarga. Ketiga fokus fenomena ini mencerminkan kendala dalam proses perencanaan pembangunan sosial pada tahun 1960-an, khususnya pada era Orde Lama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image