Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nazelia Putri

Analisis Terjemahan Ayat Al-Qur'an, Hadist dan Kaidah Fiqih

Agama | Sunday, 02 Jan 2022, 13:06 WIB

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Apa kabar sobat republika??

Saya harap kalian dalam keadaan baik-baik saja yaa, tidak kurang dalam hal apapun.

Dalam artikel ini saya akan membahas mengenai beberapa analisis terjemahan Arab – Indonesia yang terdiri dari : 1 Ayat Al-Qur’an (QS Ar Rad ayat 11), 1 Hadist mengenai anjuran sholat sunnah ba’diyah jum’at dan yang terakhir 2 kaidah fiqih mengenai jual beli ASI.

Kemajuan suatu bangsa dapat dicapai melalui kegiatan penerjemahan. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dengan implementasi lembaga penerjemahan yang kemudian menjadi lembaga pendidikan. Di Indonesia, kegiatan penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia difokuskan pada teks-teks agama, mulai dari Al-Qur'an, Hadits, dan interpretasi hingga buku-buku tentang dakwah, moral, dan buku pemikiran Islam. Kursus penerjemahan perlu diajarkan di universitas-universitas Islam di Indonesia. Belajar menerjemahkan di Indonesia bertujuan untuk membekali siswa dengan pengetahuan teori penerjemahan dan untuk memberikan siswa pengalaman dalam menerjemahkan berbagai jenis teks, seperti teks agama, ilmiah, sastra, ekonomi, dan budaya dengan berbagai tingkat kesulitan.

1. QS Ar-Rad ayat 11

Sumber :

https://m.republika.co.id/berita/r1e13s320/sebab-turunnya-azab-dan-cara-menghilangkannya

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ

11. Sesungguhnya Allah tidak akan (tidak) mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila (jika) Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Analisis :

Analisis dari surat Ar-Rad ayat 11 diatas yaitu : Pertama, telah disebutkan di dalam terjemahan surat Ar-Rad yaitu kalimat بِقَوْمٍ itu memiliki arti “suatu kaum” dan terdapat huruf ب jika diartikan sendiri di dalam makna bahasa arab yaitu memiliki arti “dengan” kemudian jika diartikan kata demi kata maka seharusnya kalimat بِقَوْمٍ memiliki arti “dengan kaum” karena penerjemah ingin mencapai keselarasan makna maka kalimat tersebut diartikan menjadi “suatu kaum”. Kedua, kalimat مِن di dalam terjemahan surat Ar-Rad diartikan menjadi “bagi” dan “selain” jika di perhatikan lebih lanjut maka kalimat من tersebut di dalam arti sesungguhnya dalam bahasa arab diartikan sebagai “dari”, bisa diartikan menjadi kata “bagi” dan “ selain” karena seorang penerjemah harus menjelaskan arti suatu kalimat diluar bahasa sumbernya atau mencari kalimat yang harus sesuai dengan artinya. Ketiga, kalimat إذا di dalam terjemahan yaitu menjadi “sesungguhnya” tetapi jika di dalam bahasa arab aslinya kalimat إذا ini memiliki makna yang tersendiri yaitu “jika” maka perubahan makna kata ini diperuntukkan agar terjemah dari suatu kalimat bisa memiliki keselarasan makna atau agar suatu kalimat memiliki makna yang sesuai. Keempat, terdapat kata لا dimana di dalam terjemahan ayat Al-Qur’an itu memiliki makna “tidak akan”. Di dalam terjemahan ayat tersebut memiliki arti yang tidak tepat dikarenakan arti kalimat لا yang sesungguhnya adalah “tidak”. Karena arti “tidak akan” dan “tidak” memiliki makna yang berbeda.

2. Hadist tentang anjuran solat sunnah ba’diyah jum’at

Sumber :

https://m.republika.co.id/berita/r10nc0320/anjuran-sholat-sunnah-badiyah-jumat-dalam-hadits-rasulullah

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَبَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ لَا يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW biasa melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah Isya. Dan beliau tidak mengerjakan sholat setelah pelaksanaan sholat Jumat hingga beliau pulang, lalu sholat dua rakaat.

Analisis :

Analisis dari hadist dari Abdullah bin Umar tentang anjuran solat sunnah ba’diyah jum’at yaitu : Pertama, telah disebutkan di dalam teks terjemahan hadist diatas terdapat kalimat كان yang memiliki arti “biasanya”. Yang mana kalimat كان ini biasanya di dalam konteks penerjemahan bahasa arab bisa tidak diartikan atau diartikan sebagai “ada” namun agar mencapai keselarasan makna maka penerjamah mengartikannya menjadi “biasanya”. Kedua, kalimat أَنَّ di dalam terjemahan yaitu memiliki arti “bahwa” jika di dalam konteks bahasa arab, maka kalimat tersebut memiliki arti “sesungguhnya” yakni perubahan terjemah dalam hadist ini agar hadist ini memiliki arti yang sesuai dengan bahasa sumbernya. Ketiga, huruf ها setelah kata بعد ini memiliki arti kata “Nya” kenapa hanya ditulis ها untuk mengartikan kalimat “Nya”? Karena kalimat tersebut akan merujuk kepada kalimat sholat zuhur, itu biasa disebut isim dhomir di dalam bahasa arab. Lalu kenapa tidak ditulis menjadi صلاة الظهر saja? Karena penulisan ها ini dikarenakan sudah menjadi ketentuannya di dalam materi bahasa arab dan juga berfungsi untuk menggantikan atau mewakili penyebutan sesuatu atau seseorang maupun sekelompok.

3. Kaidah Fiqih

Sumber :

https://m.republika.co.id/berita/qy4vh7320/jual-beli-air-susu-ibu-menurut-pandangan-ulamanbspnbsp

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Yang artinya “Menolak kemudharatan lebih utama dari pada (dibandingkan) menarik kemaslahatan,”

الضرر لا يزال بالضرر

Yang artinya “Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudhratan lain.”

Analisis :

Kalimat “مُقَدَّمٌ” jika dilihat dalam terjemahannya diartikan sebagai “lebih utama”. Tetapi jika dilihat di dalam kamus Al-Ma’ani memiliki arti “paling depan”. Menurut analisis saya penggunaan arti kalimat “lebih utama” jika masuk ke dalam arti kaidah fikih tersebut menjadi lebih baik dibandingkan menggunakan “paling depan” karena penggunaan arti tersebut sudah sangat sesuai dengan arti yang sesungguhnya jika diartikan dari bahasa arab menjadi indonesia. Analisis dari kaidah fikih diatas mengenai jual beli ASI. Prof Huzaemah Tahido Yanggo dalam buku Problematika Fikih Kontemporer menjelaskan, jual beli ASI manusia di dalam fikih Islam merupakan cabang hukum yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Setidaknya terdapat dua pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.

Pertama, kalangan ulama yang tidak memperbolehkannya. Ini merupakan pendapat ulama Mazhab Hanafi kecuali Abu Yusuf, salah satu pendapat yang lemah pada Mazhab Syafii dan merupakan pendapat sebagian ulama Mazhab Hanbali.

Kedua, pendapat yang mengatakan dibolehkan jual beli ASI yang merupakan pendapat Abu Yusuf (pada susu seorang budak), Madzhab Maliki, Syafii, Khiraqi dari Mazhab Hanbali, Ibnu Hamid dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm.

Menurut Ibnu Rusyd, sebagaimana dikutip Prof Huzaemah, sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah. Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam Syafii membolehkannya, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.

Alasan mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum, maka diperbolehkan menjualnya sebagaimana susu sapi dan sejenisnya.

Sedangkan Imam Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia disamakan seperti daging manusia. Karena daging manusia tidak boleh memakannya, maka tidak diperbolehkan juga untuk menjualnya. Sedangkan ASI itu dihalalkan bagi bayi karena darurat baginya.

Pembolehan penjualan ASI itu dapat menimbulkan rusaknya pernikahan yang disebabkan kawinnya orang sesusuan dan hal tersebut tidak dapat diketahui jika antara lelaki dan perempuan meminum ASI yang dijual bank ASI tersebut. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menjual ASI tersebut dapat membawa manfaat bagi manusia, yaitu tercukupinya gizi bagi bayi karena kita melihat bahwa banyak bayi yang tidak memperoleh ASI yang cukup.

Namun demikian pendapat ini ditolak karena kemudharatan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya, yakni terjadinya percampuran nasab.

Padahal Islam menganjurkan kepada manusia untuk selalu menjaga nasabnya. Hal ini sebagaimana dalam kaidah fikih disebutkan, دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Dar’ul mafasid awlaa min jalbil-mashalih.”

Yang artinya, “Menolak kemudharatan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan,”. Dan dalam kaidah fikih lain disebutkan, الضرر لا يزال بالضرر “Ad-dhararu laa yuzalu bi ad-dharari.” Yang artinya, “Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudhratan lain.”

Hal ini jelas karena hanya akan menambah masalah. Ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudharatan, maka memberi bayi dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudharatan pula. Namun demikian, sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI seperti Syekh Yusuf Qaradhawi dengan tiga alasan.

Pertama, bahwa kata radha (menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna puting payudara dan meminum ASI-nya. Oleh karena itu, meminum ASI bukan melalui isapan pada payudara tidak disebut sebagai menyusui, maka efek dari penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apapun di dalam hukum nasab nantinya.

Kedua, yang menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat keibuan. Yang ditegaskan Al-Quran itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tetapi karena mengisap payudara dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncul lah persaudaraan sesusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain mengikutinya.

Ketiga, alasan yang dikemukakan beberapa mazhab. Di mana mereka memberi ketentuan lima kali penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dengan ibu susu memiliki ikatan yang diharamkan nikah. Mereka mengatakan bahwa jika si bayi menyusu kurang dari lima kali susuan, maka tidaklah membawa pengaruh di dalam hubungan kandungan darah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image