Generasi Baru: Konfrontasi
Politik | 2023-09-19 18:29:02Seorang penulis, saat ini tidak dapat melayani orang –orang yang membuat sejarah, ia harus melayani orang – orang yang menjadi sasaran dari sejarah itu. – Albert Camus
Generasi baru adalah generasi muda yang menolak apatis, mereka adalah generasi yang aktif menentukan masa depan negeri ini. Mereka menolak diam saat menyaksikan pelbagai macam ketidakadilan dan penyingkiran warga dari ruang hidupnya terjadi di pelbagai tempat. Dalam senyap mereka mengembangkan potensi diri sembari mempersiapkan gugatan dan gerakan. Dengan sikap tegas mereka menyatakan kepada para penguasa bahwa Indonesia saat ini bukanlah yang kami impikan! Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan Indonesia yang diimpikan oleh generasi baru. Sekaligus ingin memperlihatkan perbedaannya dengan Indonesia yang saat ini dikuasai oleh penguasa juncto pengusaha. Saat ini generasi baru sedang resah melihat kerusakan lingkungan yang berimplikasi kepada menyempitnya ruang hidup warga. Ruang hidup tersebut dirampas oleh para penguasa juncto pengusaha yang bercokol di dalam negara. Atas nama “pembangunan” warga disingkirkan, mereka hanya dianggap sebagai properti oleh negara yang sewaktu – waktu bisa disogok dengan uang atau disingkirkan jika dianggap mengganggu. Menyempitnya ruang hidup warga disebabkan oleh negara yang berhasrat untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi melalui industri – industri ekstraktif.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa pada tahun 2017 terdapat 659 konflik agraria. Jumlah ini mengalami peningkatan 78,67 persen dari tahun 2015 ke 2016. Pada tahun 2018 jumlah konflik agraria mengalami penurunan sebanyak 410 kasus. Tahun 2019 jumlah konflik agraria mengalami penurunan yang cukup pesat yaitu 279 kasus. Tahun 2021 jumlah konflik agraria mengalami penurunan kembali yaitu 207 kasus. Lalu, pada tahun 2022 jumlah konflik agraria kembali mengalami peningkatan kembali sebanyak 212 konflik(https://www.kpa.or.id/assets/img/dokumen/20230214101749_5681eb1b826c1cc04ee03011239a186c.pdf). Disisi lain, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Zenzi Suhadi berpandangan pemerintah masih bekerja dengan cara lama. Yakni mengandalkan pembangunan dan investasi. Padahal, cara itu terbukti gagal sejak diterapkan era pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan mendiang Soeharto. Selain itu Walhi mencatat periode 2015-2021 peristiwa bencana ekologis cenderung meningkat. Tahun 2015 sebanyak 1.694 kejadian, tahun 2016 (2.306), tahun 2017 (2.866), tahun 2018 (3.397), tahun 2019 (3.814), tahun 2020 (4.650), tahun 2021 (5.402), dan tahun 2022 turun menjadi 3.531 kejadian. Sektor yang paling bertanggung-jawab atas meningkatnya tren bencana lingkungan hidup adalah industri ekstraktif (https://www.hukumonline.com/berita/a/walhi--tren-bencana-ekologis-terus-meningkat-lt63d9e210f3cad/ ).
Jika uraian dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) ini dikaitkan dengan Indonesia maka kita akan melihat bahwa sampai hari ini para stake-holder yang mengelola negeri ini masih buta huruf terhadap etika lingkungan . Fluktuasi angka dalam data tentang konflik agraria dan kerusakan alam akan terus bertumbuh, seiring dengan kerakusan para penguasa juncto pengusaha untuk memaksimalkan kapital. Kendati demikian, hal – hal itu tidak dipedulikan oleh para pengusaha juncto penguasa, sebab mereka berpandangan bahwa “pembangunan” yang mereka lakukan semata – mata untuk membuat Indonesia menjadi negara besar. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah bukti dari rasa cinta terhadap negara ini. Atas nama pembangunan, mereka berkilah, jika publik melontarkan protes tentang kerusakan lingkungan hidup, kriminalisasi, atau kekerasan terhadap warga. Tidak jarang ketika mereka tidak senang dengan protes tersebut mereka melakukan kriminalisasi atau kekerasan terhadap warga yang melontarkan kritik. Namun, kendati mereka melakukan tindakan yang jauh dari prinsip keadilan, tetap saja mereka tidak merasa melakukan tindakan yang salah. Dengan lantang mereka berseru bahwa kami telah berkorban jiwa - raga ini untuk kemajuan negara! Bagi mereka kemajuan negara adalah tentang mengeksploitasi ruang hidup dan melakukan akumulasi kapital. Tentu, nalar yang seperti ini, wajar bagi seorang pengusaha. Tetapi akan menjadi tidak wajar jika nalar yang sama juga digunakan oleh penguasa yang mengatur jalannya sebuah negara. Sebab, jika pengusaha melakukan eksploitasi demi kapital, maka para penguasa (pemangku kebijakan) negara harus memastikan bahwa eksploitasi dan akumulasi tersebut dilakukan dengan prinsip dan menghasilkan keadilan. Perlu dicatat bahwa relasi seperti ini hanya bisa terbangun jika ada pemisahan yang tegas antara para pengusaha dan penguasa. Namun, jika yang terjadi adalah hal yang sebaliknya: penguasa juga merangkap sebagai pengusaha maka penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan akan merajalela.
Berbeda dengan para begundal yang hanya melakukan “pembangunan” guna mencapai kebesaran negara tanpa pernah mempertimbangkan prinsip keadilan. Generasi baru justru menginginkan hal yang sebaliknya yaitu kebesaran negara dan kecintaan mereka terhadap negara berbasis kepada keadilan. Maksudnya, mereka menolak kebesaran negara dan kecintaan mereka terhadap negara berasal dari praktik ketidakadilan yang membuat darah dan air mata warga tertumpah. Mereka menolak negara yang merampas ruang hidup (lebensraum) warga. Generasi baru juga menolak mencintai negara yang diliputi manipulasi kebenaran. Seolah – olah kebenaran hanya yang bersumber dari negara. Bagi mereka kebenaran bukan sesuatu hal yang bisa di-final-kan oleh satu entitas bernama negara, kebenaran bagi mereka adalah pencarian dialektis yang tidak pernah usai, kebenaran selalu mempunyai beragam bentuk. Mereka juga adalah generasi yang gandrung akan kebebasan, mereka menolak tunduk kepada negara yang gemar memaksakan kehendak. Selain itu mereka juga adalah generasi yang memegang teguh prinsip kesetaraan. Keteguhan dalam memegang prinsip kesetaraan ini terlihat dalam keberanian mereka untuk melontarkan kritik kepada para stake-holder.Ini juga yang menjadi pertanda bahwa mereka menolak feodalisme dan sikap inferior. Bagi mereka negara dan para stake-holder hanya alat untuk menyelenggarakan keadilan sehingga kebahagiaan bersama bisa terwujud. Terakhir, generasi baru adalah generasi yang menjunjung tinggi persaudaraan.Ini tercermin dalam pelbagai macam tindakan “solidaritas” yang mereka lakukan untuk merespon pelbagai macam problematika sosial – politik yang terjadi. Mereka tidak lagi terpaku pada sikap egoisme individu atau kelompok tetapi mereka mengajak semua orang untuk terlibat dan bertindak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.