Cegah Kekerasan Seksual tak Bisa Hanya Parsial
Gaya Hidup | 2023-09-13 00:59:13Sungguh tega nian. Itulah salah satu komentar yang dilayangkan untuk menanggapi kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi. Baik itu dilakukan oleh orang di lingkungan sekolah, rumah atau bahkan anggota keluarga sendiri.
Menjamurnya Kekerasan Seksual
Diberitakan melalui situs antaranews.com (24/8/2023) seorang ayah berinisial AM (40) di Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), ditangkap polisi, karena nekat memerkosa dua orang anak kandungnya sendiri. Aksi bejat ini sudah dilakukan berkali-kali sejak istrinya berangkat menjadi TKW di Arab Saudi.
Di Polewali Mandar Sulawesi Barat, seorang pria berinisial SN (45), ditangkap karena memperkosa anak kandungnya yang berusia 14 tahun. Pelaku 4 kali memperkosa korban saat merantau di Kalimantan Timur (Kaltim). (detik.com, 7/9/2023)
Masih di Sulawesi Barat, di Kabupaten Mamasa, Pria berinisial M (55) tega memperkosa anak kandungnya yang berusia 22 tahun hingga hamil 6 bulan. Pelaku memperkosa korban yang merupakan penyandang disabilitas sebanyak 10 kali. (detik.com, 7/9/2023)
Di Tangerang, seorang pria berinisial SH (54) ditangkap atas kasus pemerkosaan. SH tega memperkosa anak kandungnya hingga 100 kali sejak tahun 2014. (detik.com, 30/8/2023)
Masih banyak lagi kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini. Tak hanya terjadi di kota besar tapi tersebar hingga ke pelosok daerah. Sungguh pilu dan miris melihatnya.
Mulai dari Keluarga
Pemerintah pun ikut miris terhadap kasus kekerasan seksual yang semakin banyak terjadi. Sehingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga, Indra Gunawan mengungkapkan keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi dalam mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.
Dilansir dari situs kemenpppa (25/8/2023), Indra menyatakan bahwa peran keluarga dalam pencegahan dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga terutama anak-anak serta membangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga.
Senada dengan Indra, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Ratri Kartikaningtyas menyatakan bahwa keluarga bisa berperan dalam pencegahan kekerasan seksual. Diantaranya dengan keterampilan pengelolaan stress, relasi yang hangat dan sehat suami istri, edukasi sex pada anak sesuai usia, komunikasi terbuka dan ruang aman untuk bicara, koreksi persepsi orang dewasa tentang kekerasan seksual, dan jejaring dengan lembaga terkait penanganan kasus anak.
Bukan hanya pencegahan saja yang mulai dari keluarga, faktanya kasus kekerasan seksual juga sering terjadi di dalam keluarga. Pelakunya adalah anggota keluarga yang dekat dengan korban. Bisa jadi ayahnya, kakeknya, pamannya, atau kakaknya. Posisi korban yang masih kecil, lemah, juga takut dimanfaatkan oleh para pelaku dalam melakukan tindakan keji mereka.
Ini pula yang jadi sebab banyak korban kekerasan seksual tidak segera melaporkan kejadian yang mereka alami. Korban diteror dengan ketakutan dan ancaman oleh pelaku. Apalagi jika pelaku terlihat baik di mata orang lain.
Sekularisme Akar Masalahnya
Diakui atau tidak, menjamurnya berbagai kasus kejahatan berbanding lurus dengan semakin jauhnya manusia dari agama. Merasa agama itu kuno, agama itu menjajah kebebasan, membuat kesulitan dalam kehidupan. Sehingga berbondong-bondonglah manusia meninggalkan petunjuk hidupnya.
Konsep hidup serba bebas dan serba boleh yang kini jadi panutan. Merasa modern dan keren jika mengadopsi pemikiran ini. Hasilnya, semua aturan ditabrak asal hati senang, keinginan bisa didapatkan. Termasuk dalam menyalurkan nafsu syahwatnya.
Bukan rasa sayang pada buah hati yang hadir pada ayah. Tapi justru melihat anaknya sendiri sebagai perempuan yang bisa dijadikan objek pemuasan nafsu syahwatnya. Na'udzubillah.
Tak Bisa Partial
Memang benar keluarga memiliki peran penting dalam pencegahan kekerasan seksual. Tapi, tak bisa hanya mengandalkan keluarga saja. Saat ini kebanyakan anggota keluarga yang tak paham akan fungsi dan tugasnya. Masyarakat masa kini juga tipe yang sibuk dengan dunianya sendiri, cuek, tidak berempati pada sesama.
Jadi, bagaimana mungkin mengandalkan keluarga sementara di dalam keluarga pula bisa jadi bahaya itu datan gtg?
Butuh peran individu yang senantiasa memotivasi diri untuk beramal sholeh. Butuh juga keluarga yang paham akan fungsi dan amanahnya. Ditambah masyarakat yang hadir untuk saling menjaga agar tetap berada dalam kebaikan. Terakhir, dan tentu saja, negara sebagai institusi tertinggi harus mengawasi konten media yang beredar di tengah masyarakat. Juga menyediakan sanksi tegas untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Islam Solusinya
Manusia dilahirkan sang Pencipta sebagai makhluk lemah dan terbatas. Bahkan, kita sendri tak tahu apa yang terbaik bagi kita. Maka, sudah sewajarnya bagi kita untuk mengamalkan petunjuk yang sudah datang pada kita. Yakni islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna.
Islam menawarkan solusi komprehensif bagi permasalahan kekerasan seksual ini. Pertama, pemupukan keimanan dan ketakwaan pada diri individu. Pemupukan keimanan dan ketakwaan ini dilakukan sejak buaian oleh ibunda tersayang hingga dewasa.
Kedua, masyarakat yang peduli terhadap sesama dan memiliki pemikiran, perasaan dan aturan yang sama yakni islam kaffah. Ketiga, negara sebagai pemegang kebijakan tertinggi berperan pada untuk memberikan sanksi tegas seperti yang sudah diputuskan dalam Al quran dan sunnah.
Apalagi islam memiliki sifat jawabir dan zawajir, pencegah yang menimbulkan efek jera dan juga kuratif. Yang jika dengan penuh keikhlasan menjalankan hukum yang sudah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, maka dosanya tak akan lagi ditanya di akhirat sana.
Dalam Islam, ada aurat wanita yang harus dijaga. Oleh karena itu, ada aturan dalam berpakaian. Ada adab juga kepada lawan jenis, anak-anak, orangtua, dan lainnya.
Inilah komprehensifnya islam mengatur, memberikan solusi. Tinggal pilihan kembali pada kita. Akankah kita tetap berkubang dalam sistem sekularisme ini atau keluar dengan mengusung islam sebagai sistem kehidupan?
Wallahua'lam bish shawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.