Gitu Aja kok Marah
Agama | 2023-09-12 14:39:03
Dunia anak-anak sangat unik, tatkala diberikan ilmu pengetahuan berupa hadits seperti laa taghdzob walakal Jannah, janganlah marah untukmu surga. Tidaklah berhenti sampai disitu, tidak cukup dihafal tanpa dikritisi, anak jaman sekarang memang terkenal kritis, kemampuan ini memang sedang dibangun oleh pemerintah melalui kementerian pendidikannya.
Bentuk kekritisan mereka sebagai contoh: ‘masa’ sesimpel itu, Islam mengajarkan mendapatkan surga hanya tidak marah, tanpa perjuangan mengangkat senjata dan lain-lain?’. Mereka memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik dan sarat akan curiosity atau penasaran. Pernah suatu kali, seorang guru memelototi muridnya tatkala kedapatan sedang naik tangga yang bisa jadi membahayakannya . Si murid nyeletuk, gitu aja kok marah. Meskipun hanya melotot, guru sudah dianggap marah oleh muridnya. Wilayah ini membuat guru geleng-geleng kepala, kenapa? Karena dengan melotot saja sudah dianggap marah oleh murid jaman sekarang. Bagaimana lagi jaman jam tahun 90-an, dimana guru menjewer, mencubit, bahkan menendang muridnya bilamana kedapatan berbuat sesuatu yang dianggap kurang pas oleh gurunya. Undang-undang hak asasi manusia membuat model marahnya guru menjadi berbeda. Hanya melotot sudah menjadi marah tingkat dewa bagi siswa jaman sekarang.
Lalu dari sudut pandang Islam, bagaimanakah hal yang dikatakan marah yang seharusnya, terlebih kepada murid yang telah mendapatkan perlindungan anak pasal 54 undang-undang 34 tahun 2014.
Kita coba kupas dunia keguruan dengan fenomena kemarahannya yang perlu diulik kembali. Terdapat empat level marah اَلْغَضَبُ yang dipakai oleh seorang guru kepada muridnya di sekolah.
Pertama adalah
Kurhun, adalah marah yang paling elegan, bentuk ketidak sukaan terhadap sesuatu. Cara ini dilakukan dengan menegur, mengungkap kesalahan orang lain dengan ekspresi yang nyaman. Sambil senyum ia melarang anaknya yang main Handphone di waktu prime time (18.00 – 21.00). Ee.eee.eee cukup ya, jam berapa sekarang?, Tv dan HP nya dimatikan ya. (sambil tersenyum). Marah level ini biasanya dilakukan oleh guru TK atau SD atau orangtua yang sudah sering ikut seminar parenting sehingga tau ilmunya dan dilakukan dengan penuh senyum. Meskipun lisannya berucap marah tetapi hatinya tenang dan terkendali
Kedua adalah sukhtun, marah jenis ini dengan energi dalam diri tetapi masih ditahan lewat gigi geraham. Ngedumel ditahan, sebagai contoh sambil suara ditahan ia mengatakan pak guru ndak sepakat dengan apa yang kamu lakukan nak !. Atau dengan kata lain ia sedang ‘geregetan’. Dan marah jenis atau level ini masih dibolehkan karena gejolak marah masih bisa ditahan dengan ekspresi wajah yang juga dapat dikendalikan.
Ketiga adalah ghodbun. Cirinya adalah suara naik disertai kekerasan fisik dan merusak, bahkan tidak terkendali hingga memukul dan menendang. Wilayah marah jenis ini tentu dilarang dalam hadits laa taghdzob walakal Jannah, kenapa ganjarannya kok surga? Tentu dapat dimaklumi karena sangat berat mengendalikan diri ketika sudah sampai pada level marah ini.
Dan yang ke empat adalah la’natun yaitu akumulasi marah level 1 hingga 3 disertai dengan sumpah serapah, doa-doa buruk bahkan bagi guru, muridnya sendiri yang sedang tidak ada ditempatnya tetap masih ngedumel dan menyumpah serapahinya
Lalu, bagaimana kalau sudah terlanjur marah level tiga dan empat? Karena marah adalah manusiawi, mengupayakan untuk tidak sampai marah level ini adalah tantangan bagi siapapun itu, terdapat sebuah ayat Al-Quran yang menghibur kala orang sudah sampai level 3 atau 4 marah yaitu mengimbanginya dengan perbuatan yang baik, sehingga marah level 3 dan 4 yang termasuk level buruk bagi seseorang akan dapat dihapuskan dosa-dosa yang ditimbulkan dari marah tersebut
إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔات) ١١٤ (
‘sesungguhnya perbuatan perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan (QS. Hud: 114)
Semoga kita semuanya dimudahkan untuk dapat mengendalikan diri dalam keadaan apapun kalaupun terpaksa maka marahnya maksimal sampai level 2 saja
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
