Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Achmad Zaky

AI: Kecerdasan Buatan Yang Harus Dibatasi Oleh Regulasi

Teknologi | Thursday, 07 Sep 2023, 01:10 WIB
Photo by <a href=Possessed Photography on Unsplash" />
Photo by Possessed Photography on Unsplash

Semakin lantang dan konsisten narasi yang memperingatkan akan bahaya dari teknologi berbasis AI. AI bisa saja menjadi lebih cerdas daripada kita dan memutuskan untuk mengambil alih, dan sekarang kita perlu khawatir tentang bagaimana mencegah hal tersebut terjadi," ujar Geoffrey Hinton, yang dikenal sebagai "Godfather of AI", atas karya-karyanya dibidang machine learning dan neural network algorithms.

Pada tahun 2023, Hinton meninggalkan posisinya di Google agar beliau bisa lebih bebas berbicara tentang bahaya AI, sebagian dari dirinya kini menyesali pekerjaan yang telah ia lakukan. Ilmuwan komputer tersebut tidak sendirian dalam keprihatinannya. Pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk, tahun ini bersama dengan lebih dari 1.000 pemimpin teknologi lainnya, mendesak untuk dihentikannya eksperimen tentang AI, mereka melalui surat terbuka menyebut bahwa teknologi ini dapat menimbulkan risiko yang berbahaya bagi masyarakat dan kemanusiaan. Dengan kemampuan AI untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, terjadi risiko hilangnya banyak pekerjaan. Contohnya adalah pabrik-pabrik mengganti pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, kini dikerjakan oleh robot dengan alibi untuk menghemat biaya produksi.

Teknologi deepfake memungkinkan pembuatan video atau audio palsu yang sangat meyakinkan, teknologi tersebut dapat digunakan untuk menyebarkan informasi palsu atau memfitnah seseorang. Memasuki tahun potilik, teknologi ini bisa saja membuat video palsu seorang tokoh terkenal yang membuat orang tersebut terlihat mengucapkan hal yang sebenarnya tidak pernah ia ucapkan. AI dapat digunakan untuk menganalisis data pribadi dan tentu saja hal tersebut mengancam privasi individu. AI bisa digunakan untuk mengenali atau mengidentifikasi orang melalui image/foto, lalu mengungkap atau menyebarkan identitas seseorang tanpa izin.

Algoritma AI dapat menyebabkan bias dalam pengukuran dan penyajian data, menyebabkan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Kini banyak institusi rekrutmen yang menggunakan AI, hal tersebut bisa secara tidak sengaja memprioritaskan lamaran dari latar belakang tertentu karena sumber data serta pengolahannya yang bias. Akses penggunaan AI yang tidak merata tentunya dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi antara individu dan kelompok masyarakat. Kebutuhan nilai ekonomi untuk mengakses AI, misalnya biaya subcribtion pastinya akan membatasi akses dan kualitas AI bagi personal atau golongan tertentu.

Institusi perdagangan dan lembaga keuangan bila menggunakan algoritma AI dalam pengambilan keputusan terhadap pasar dapat menyebabkan fluktuasi yang tidak stabil. Misalnya otomasi menggunakan AI pada perdagangan saham bisa memicu pembelian atau penjualan secara besar-besaran secara karena interpretasi data yang salah.

Penggunaan AI dalam untuk sektor militer bisa menghadirkan risiko atau keputusan fatal yang otomatis diambil tanpa campur tangan manusia. Misalnya sangat berbahaya jika Drone militer yang diberi wewenang kepada AI untuk menyerang target tanpa persetujuan manusia. Dengan kemajuan dalam bidang mechine learning bisa saja nantinya AI yang dihasilkan suatu masa sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dikendalikan. Misalnya, skenario 'fiksi' terjadi di mana AI memungkinkan untuk mengambil alih kendali atas sistem teknologi secara global.

Risiko-risiko diatas memperjelas betapa pentingnya pengawasan, regulasi, dan etika dalam pengembangan dan penerapan AI. Meskipun AI menawarkan banyak potensi manfaat, kesadaran akan risiko-risiko ini sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi ini berkembang dengan cara yang aman dan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Model-model AI dan deep learning nanti pada suatu waktu bisa jadi menjadi sulit dipahami, bahkan bagi mereka yang bekerja langsung dengan teknologi tersebut. Hal tersebut bisa bersumber dari kurang transparansi tentang bagaimana dan mengapa AI dikembangkan, AI tersebut dikembangkan oleh siapa dan untuk kepentingan apa.

Sampai saat ini kita masih kurang mendapat penjelasan tentang data apa dan algotitma apa yang dibuat oleh pengembang AI, yang mana bisa saja mereka dapat membuat sesuatu yang bias atau tidak aman. Kekhawatiran tersebut harus terjawab sebelum AI diterapkan menjadi praktik umum. Otomatisasi pekerjaan yang didukung oleh AI adalah keprihatinan yang mendesak bagi kemanusian seiring dengan adopsi teknologi tersebut dalam banyak industri seperti pemasaran, manufaktur, dan perawatan kesehatan.

Menurut McKinsey, pada tahun 2030, tugas-tugas yang menyumbang hingga 30 persen dari pekerjaan saat ini nantinya diotomatisasi, di prediksi beberapa kelompok atau golongan pekerja yang bakal rentan berdampak terhadap perubahan tersebut, Goldman Sachs bahkan menyatakan bahwa 300 juta pekerjaan penuh waktu (part-time) dapat hilang akibat otomatisasi AI. Seiring kapabilitas AI yang berkembang semakin cerdas dan berdayaguna untuk mengambil alih tugas-tugas yang sebelumnya dikerjakan oleh manusia, di sisi lain diperkirakan teknologi AI juga diperkirakan akan menciptakan 97 juta pekerjaan baru pada tahun 2025, hal tersebut mengarisbawahi bahya akan banyak karyawan yang tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan mengoperasikan AI akan tersisih, begitu juga dengan perusahaan yang tidak melakukan penyesuaian dan meningkatkan keterampilan tenaga kerjanya akan tertinggal.

Pergantin peran yang dilakukan oleh manusia ke AI juga bakal mengenai kalangan professional yang mempunyai gelar akademik, seperti professional dibidang hukum dan akuntansi, serta bidang kedokteran yang kini telah berdampak signifikan. Bila mengacu pada kompleksitas dalam pembuatan suatu kontrak kerjasama, dimana harus mencakup keseluruhan poin dan dibentuk dengan struktur kesepakatan dengan baik, maka biasanya dalam melakukan pekerjaan tersebut membutuhkan banyak pengacara untuk mengumpulkan dan membaca data serta informasi dari berbagai sumber, manusia dengan keterbatasannya bisa saja melewatkan hal-hal penting dari data atau informasi yang telah iya kumpulkan dan disitulah AI bisa mengambil peran untuk menggantikan para pengacara professional karena AI memiliki kemampuan untuk merangkai dan membuat kontrak secara komprehensif dan hasilnya bisa saja lebih baik dari yang kerjakan oleh pengacara. Begitu juga untuk para professional dibidang akuntansi dan bidang kedokteran.

Manipulasi sosial juga merupakan bahaya dari kecerdasan buatan. Ketakutan ini telah menjadi kenyataan karena pada bidang politik kini para politisi menggunakan platform online dan social media sebagai channel kampanye mereka, baik itu kampanye putih maupun hitam. Fakta tersebut telah terjadi di Filipina Ferdinand Marcos Junior yang menggunakan buzzer TikTok untuk meraih suara dari kelompok anak muda Filipina pada pemilihan umum Filipina tahun 2022 lalu.

TikTok, yang hanya salah satu contoh platform media sosial yang menggunakan algoritma AI, yang mana memiliki pola kerja yang saat ini sudah familiar yaitu secara otomatis menyajikan konten yang berkaitan dengan history kita berselancar di platfrom tersebut, konten atau materi yang sebelumnya kita tonton akan terus-menerus dipaparkan kembali kepada kita.

Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kegagalan dari algoritma AI, dimana bisa saja saat ini dan kedepannya tidak mampu untuk menyaring konten yang berbahaya dan tidak sesuai dengan kaidah bersocial media, tentunya selain perlindungan terhadap prevensi pengguna dan memunculkan kekhawatiran atas kemampuan TikTok untuk melindungi penggunanya dari informasi yang menyesatkan.

Media online dan berita menjadi semakin tidak jelas dengan munculnya gambar dan video yang dihasilkan oleh AI, perubahan suara AI, serta deepfake yang masuk ke dalam lingkup sosial dan politik. Teknologi ini memberi kemudahan untuk setiap pengguna membuat foto, video, klip audio yang ‘realistis’, atau mengganti gambar salah satu orang dengan gambar orang lain pada gambar atau video yang sudah ada. Akibatnya, pelaku kejahatan dapat memiliki cara lain untuk menyebarkan informasi yang salah atau bahkan propaganda sehingga manusia mungkin nantinya tidak bisa membedakan antara berita kredibel dan berita yang manipulatif.

Selain ancaman yang telah dipaparkan diatas, AI juga bisa berdampak negatif terhadap privasi dan keamanan. Contoh nyata dari hal tersebut adalah penggunaan teknologi pengenalan wajah yang saat ini telah banyak diadopsi oleh berbagai pihak. Di negara Tiongkok, teknologi tersebut telah digunakan di kantor, sekolah, dan tempat umum lainnya. Tujuan dari penerapan teknologi tersebut oleh pemerintah Tiongkok bertujuan untuk melacak pergerakan seseorang, mengumpulkan data untuk memantau aktivitas, termasuk mencari tahu pandangan politik seseorang.

Selain di Tiongkok, pihak kepolisian di Amerika Serikat juga menerapkan algoritma AI untuk memprediksi di mana kejahatan akan terjadi. Tujuan teknologi AI tersebut terlihat baik, tetapi pada pelaksanaannya timbul permasalahan dimana algoritma-algoritma yang dibangun menimbulkan tingkat penangkapan yang tidak proporsional dan berdampak pada komunitas ‘kulit hitam’. Tentunya yang menjadi konsen dari dampak penerapan teknologi AI tersebut adalah apakah negara yang katanya demokrasi seperti Amerika Serikat dapat menaham seseorang berdasarkan algoritma AI, yang mana tentunya bisa mengolah dan menghasilkan data yang salah atau bias. Sebagai negara demokrasi, yang nilai-nilainya diterapkan pada banyak negara di dunia ini, sudah sewajarnya bila harus dibuat batasan untuk penerapan teknologi AI pada lingkup-lingkup yang dapat berdampak langsung terhadap kehidupan sosial dan hak azazi manusia (HAM).

Sistem AI seringkali mengumpulkan data pribadi untuk menyesuaikan pengalaman pengguna atau membantu melatih model-model AI yang kita gunakan, terutama jika alat AI tersebut gratis. Yang menjadi pertanyaan adalah kemana data kita yang dikumpulkan tersebut dibawa dan disimpan, diolah untuk apa, dan akan digunakan untuk kepentingan apa. Wajar bila menganggap keamanan data atau informasi yang kita berikan kepada sistem AI.

Tahun ini sempat terjadi insiden bug pada ChatGPT, yang memungkinkan pengguna lain melihat judul-judul dari riwayat obrolan kita dengan chatbot. Di setiap negara meskipun ada undang-undang yang ada untuk melindungi informasi pribadi, hal tersebut belumlah cukup, misalnya dalam beberapa kasus di Amerika Serikat dimana negara adidaya itu sendiri sampai saat ini belum ada undang-undang federal yang secara eksplisit melindungi warganya untuk perlindungan privasi data saat berhubungan dengan AI. Dikutip dari New York Times, profesor ilmu komputer dari Universitas Princeton, Olga Russakovsky, mengatakan bahwa bias AI bisa jauh melampaui isu gender dan ras. Pada AI sangat memungkinkan untuk terjadinya bias data dan bias algoritma, yang mana kedua bias tersebut bisa saling memperkuat bias-bias lain yang ditimbulkan, karena AI sendiri sejatinya AI dikembangkan oleh manusia dan manusia pada dasarnya memiliki bias.

Berbicara mengenali profil dari orang-orang dibelakang teknologi AI, Russakovsky menyatakan bahwa peneliti dan pengembang umumnya adalah pria dan berasal dari demografi ras tertentu, mereka tumbuh di daerah sosio-ekonomi yang tinggi dan homogen, serta mereka sebagian besar adalah orang-orang tanpa disabilitas/kekurangan. Ragam AI yang adalah sekarang tercipta dari pengalaman terbatas dari profil para pencipta AI tadi, dimana pastinya memiliki keterbatasan dan bias serta dapat menimbukan risiko merugikan bagi popolasi manusia lainnya. Saat ini penerapan teknologi berbasis AI untuk pelaksanaan sistem rekruitmen juga bisa bermasalah.

Ide bahwa AI dapat mengukur karakteristik seorang kandidat melalui analisis wajah dan suara masih dipengaruhi oleh bias rasial, screening profil dan curriculum vitae yang dilakukan oleh AI juga dapat dipertanyakan keakuratannya. Kegagalan seseorang dalam mengakses peluang kerja merupakan dampak lain yang sebelumnya telah dibahas, yaitu hilangnya pekerjaan yang ditangai oleh manusia yang kini dan kedepannya bisa ditangani oleh AI, kedua hal tersebut pastinya dapat membuat jurang yang lebih dalam hal ketidaksetaraan sosial ekonomi yang dipicu oleh kehilangan pekerjaan dan kehilangan analisa ilmiah manusia dalam proses mencari kerja karena penerapan teknologi berbasis AI.

Selain para teknolog, jurnalis, dan tokoh politik, kini pemimpin agama ikut juga memperingatkan tentang potensi jebakan sosio-ekonomi dari teknologi berbasis AI. Dalam pertemuan Vatikan pada tahun 2019 yang berjudul "Kebaikan Bersama di Era Digital," Paus Fransiskus memperingatkan tentang kemampuan AI untuk mengedarkan opini yang tendensius serta informasi atau data palsu yang berbahaya, melalui forum tersebut juga disampaikan penekanan terkait konsekuensi yang luas jika teknologi tersebut terus berkembang tanpa pengawasan atau pembatasan yang tepat. Lonjakan besar pada penggunaan AI generatif seperti ChatGPT dan Bard menimbulkan kekhawatiran lainnya, dimana banyak pengguna telah menggunakan teknologi berbasis AI tersebut untuk menghindari tugas menulis, hal demikian akan berdampak pada sisi kreativitas manusia dan secara keseluruhan mengancam integritas untuk bidang akademis.

Ketergantungan berlebihan pada teknologi AI bisa berakibat pada hilangnya pengaruh manusia dan fungsi manusia di dalam masyarakat. Penggunaan AI dalam bidang kesehatan misalnya, bisa mengakibatkan berkurangnya empati dan penalaran manusia. Dan penerapan AI generatif dalam usaha kreatif bisa mereduksi kreativitas manusia dan ekspresi emosional secara atau antar personal. Interaksi yang terlalu sering dengan sistem AI bahkan bisa menyebabkan berkurangnya komunikasi dengan dilingkungan kerja atau pertemanan, hal tersebut dapat menggerus keterampilan sosial kita.

Jadi meskipun AI dapat sangat membantu dalam mengotomatisasi tugas-tugas sehari-hari, tetapi disisi lain dapat juga menghambat kecerdasan, kemampuan, dan kebutuhan manusia secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari keseluruhan ancaman yang telah diuraikan pada tulisan ini, tentu saja, saat terdapat banyak potensi bermanfaat dari teknologi berbasi AI.

Dengan pemahaman yang matang tentang risiko dan keuntungannya, kita dapat mengambil langkah-langkah yang bijak untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan manfaat teknologi berbasis AI bagi masyarakat dan dunia secara keseluruhan. Untuk memanfaatkan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya teknologi berbasis AI, tentunya dibutuhkan regulasi yang mengatur untuk meminimalisir bahkan menghilangkan risiko dari ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh AI.

Kesimpulan: Apa itu AI? AI (kecerdasan buatan) menggambarkan kemampuan mesin untuk melakukan tugas dan meniru kecerdasan pada tingkat yang serupa dengan manusia. Apakah AI berbahaya? AI memiliki potensi untuk menjadi berbahaya, namun bahaya ini dapat diredam dengan mengimplementasikan regulasi hukum, dan dengan mengarahkan perkembangan AI dengan pemikiran berpusat pada kepentingan sosial dan kemanusiaan didunia ini secara menyeluruh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image