Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Industri Komunikasi Politik Pemilu 2024

Politik | Monday, 04 Sep 2023, 10:18 WIB

Politisi harus mampu mengomunikasikan narasi-narasi positif karena hakikatnya apa yang disampaikan ke publik mencerminkan cara pandang politisi.

Tidak bisa dimungkiri jika suasana politik kian panas jelang Pemilu 2024. Persoalan utama tertelak pada rentetan peristiwa koalisi partai politik dalam menentukan pasangan bakal capres/cawapres. Riuh rendah itu semakin sulit dikendalikan ketika masing-masing pendukung parpol memainkan narasi yang memicu adrenalin.

Narasi "pengkhianatan" dan frase "bajingan tolol" sejatinya bukan komunikasi politik yang sejalan dengan semangat demokrasi Indonesia. Tatanan demokrasi politik Pancasila yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan saling menghormati dan menghargai. Kata-kata menghina yang bertebaran di sosial media sesungguhnya mencoreng semangat demokrasi Indonesia.

Penyelenggaraan Pemilu adalah sebagai pesta kedaulatan rakyat, dengan makna pesta yang sebenarnya. Keceriaan dan kegembiraan harus menyertai penyelenggaraan pesta. Dalam penegakan prinsip demokrasi di Indonesia, yang terpenting adalah sikap menerima dan menghargai perbedaan. Dengan begitu, politik akan mampu menyatukan perbedaan-perbedaan politik menjadi modal dan kekayaan bersama.

Politisi harus mampu mengomunikasikan narasi-narasi positif karena hakikatnya apa yang disampaikan ke publik mencerminkan cara pandang politisi. Roelofs dan Barn Lund mengungkapkan bagaimana politisi berkomunikasi sebagai cerminan aktivitas politisi dalam bekerja. Jika baik dalam berkomunikasi, maka baik pula dalam bekerja. Inilah yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat Indonesia, politisi yang baik berbicara dan bekerja.

Narasi Politik Oposisi vs Pendukung

Narasi politik dibangun oleh kedua belah pihak yang berseteru, baik dari sisi oposisi atau pendukung parpol penguasa. Media sosial menjadi medan perang untuk saling berebut pengaruh dan opini publik. Kedua belah pihak melakukan operasi pembangunan citra (image building operation). Mereka adalah komunikator politik yang terlibat dalam proses penyampaian pesan, bisa dalam bentuk individu atau kelompok. Yang pasti, mereka adalah jaringan rapi dalam sebuah manajemen yang baik.

Bagaimana pola komunikasi politik di media sosial? Prosesnya berlangsung timbal balik. Ada invidu utama yang melempar wacana, lalu direspon secara beramai-ramai melalui like, share atau comment. Masifnya akun sosmed dalam waktu yang singkat tentunya menimbulkan tanda tanya. Bagaimana mereka bisa melakukan hal itu? Namun, yang pasti hal ini membuktikan adanya sebuah "industri" melibatkan unsur-unsur yang saling berkaitan sehingga melahirkan sebuah narasi besar.

Narasi besar ini kemudian "di-boosting" dengan kehadiran media-media massa arus utama. Media tentunya membutuhkan narasi yang bombatis untuk kepentingan meningkatkan pembaca dan rating. Agen-agen komunikasi politik ini berkelindan dengan media massa nasional. Ibaratnya, botol ketemu tutup, pas dan saling melengkapi.

Dalam teori komunikasi politik ada dua paradigma, yakni linear (satu arah) dan konvergensi (dua arah). Konvergensi ini dimainkan di media sosial sedangkan yang linear dimainkan di media massa online. Walau hakikatnya, baik media sosial dan media arus utama, bisa menjadi searah atau dua arah. Bagi agen-agen komunikasi politik, yang penting adalah tersebarnya narasi sehingga bisa memengaruhi publik. Mereka tidak peduli apakah narasi itu mengadu domba dan fitnah atau tidak.

Bicara industri tentunya bicara tentang dana besar. Tapi tulisan ini tidak menyinggung ke sana, karena tentu sulit menebak isi dapur masing-masing industri. Makna industri di sini adalah jaringan yang saling terhubung. Akun-akun anonim di media sosial adalah jaringan yang dipelihara dan saling terkoneksi. Para agen tentu diguyur uang yang sangat besar, apalagi Pemilu 2024 kian dekat. Guyuran pun ibarat banjir bah yang menghanyutkan siapa pun yang ada di depannya.

Mencerdaskan Rakyat, Menyelamatkan Negara

Komunikasi politik harus dibangun mengedepankan kepentingan rakyat dan menyelamatkan negara. Narasi-narasi adu domba dan fitnah harus segera diakhiri. Dalam bukunya How Democracy Dies, Steven Levitsky mengutarakan, politikus memiliki dua wajah dalam kehidupan alam demokrasi. Dia bisa memperkuat demokrasi atau sebaliknya, membunuh demokrasi. Perilaku mereka bisa berubah 180 derajat karena perilaku, perkataan dan komitmen yang tidak pasti.

Ada empat kriteria politisi yang dianggap akan membunuh demokrasi. (1) menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan; (2) menyangkal legitimasi lawan; (3) menoleransi atau menyerukan kekerasan; (4) menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil, termasuk memberangus media.

Levitsky menyebutkan satu saja dari empat kriteria itu, maka politisi tersebut dianggap mengkhawatirkan bagi kehidupan demokrasi. Jika itu terjadi, maka pemilu bukan lagi pesta demokrasi, karena dengan seribu akal bulus politisi, pemilu bisa berubah menjadi penyelengaraan pembajakan yang korup dan penuh intrik.

Pemilu tidak lahir tanpa tujuan, melainkan untuk memilih yang terbaik untuk memimpin Indonesia. Kita tentu berharap semua pihak bisa menghargai semua proses politik, baik dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ini semata-mata demi mewujudkan kedaulatan rakyat dan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image