Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fitto Dwianto

Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas 2045 Dalam Bayang-Bayang AI

Teknologi | 2023-08-31 23:59:55

Dunia telah banyak mengalami banyak perubahan, baik yang membutuhkan resistansi kecil hingga besar untuk menghadapinya, yang mana di dalamnya terkandung segala transformasinya. Belakangan ini, mengemuka fenomena munculnya teknologi artificial intelligence atau AI yang menandai semakin berkembangnya iptek. Akan tetapi, meskipun penciptaannya diklaim untuk memudahkan tugas manusia, tidak dapat dimungkiri juga ada bahaya yang mengintai jika tidak ada upaya preventif yang serius. Merujuk pada Suhanda (2015), suatu keadaan di mana proses bekerjanya sistem dalam komputer dapat menggantikan peran kecerdasan manusia. Belakangan ini, kita disibukkan dengan fenomena semakin berkembangnya AI. Pada tahap ini, kita telah menginjakkan kaki pada era revolusi 4.0 di mana kita disuguhkan kemudahan serta efektivitas yang fenomenal dalam melakukan suatu aktivitas ataupun pekerjaan. Terdapat tiga pengklasifian dalam kecerdasan buatan, yakni Artificial Narrow Intelligence, Aritificial General Intelligence, dan Artificial Super Intelligence (Pabubung, 2023). Sejauh ini, kita masih sering berkutat pada dua hal pertama. Kemampuan alih bahasa merupakan contoh yang biasa dikerjakan oleh tingkat pertama, sedangkan pada tingkat kedua, penulis mengambil self-driving sebagai komparasinya.

Sebagaimana pada kasus-kasus revolusi sebelumnya, AI juga tidak lepas dari segala dinamika. (Mungkin) sama seperti yang dikhawatirkan khalayak ramai, penulis menaruh perhatian khusus pada kasus ketika di masa mendatang beberapa pekerjaan akan tergantikan oleh kehadiran AI. Mengacu data yang dikeluarkan oleh BPS Februari lalu, tidak kurang dari 7,99 juta jumlah pengangguran mendiami bangsa kita. Ini bukan angka yang sedikit dan bisa ditolerir begitu saja dengan tidak segera melakukan akselerasi solutif ditambah melihat semakin tidak menentunya konstelasi keadaan perekonomian global. Apalagi, di era multipolar sekarang ini, kita tidak hanya dihadapkan pada kompleksitas dalam negeri saja, tetapi juga dalam skala global. Ketegangan geopolitik yang diperagakan oleh AS-Tiongkok, perang Ukraina-Rusia yang tak kunjung usai, serta permasalahan global warming—belakangan terminologinya berubah menjadi global boiling—berimplikasi pada dinamika global yang juga semakin kompleks. Mari kita coba renungkan terlebih dahulu, dengan terang kita bisa melihat bahwa belakangan pekerjaan buruh tani semakin tersisihkan oleh kehadiran mesin, ambil saja mesin penanam padi. Pada ranah tersebut saja telah mengeksklusi banyak pekerja, coba imajinasikan jika AI telah menggantikan peran pada pelbagai sektor, mau bertambah berapa juta lagi jumlah pengangguran di negeri ini. Apalagi, naasnya, mayoritas pekerjaan yang terdampak oleh kehadiran AI ini ialah pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan khusus dan cenderung menyasar pada pekerja dari kalangan menengah ke bawah.

Celah dari AI selanjutnya ialah perihal keamanan data yang biasanya kita berikan secara sukarela. Allen (2015) menuturkan telah banyak kasus terkait masalah pelanggaran privasi yang menyangkut penyalahgunaan data. Tempo lalu, masyarakat kita sempat dikejutkan dengan banyaknya pemberitaan mengenai kebocoran data di beberapa sektor, mulai dari IndiHome, paspor, PeduliLindungi, dsb. Dari maraknya kasus kebocoran data tersebut, dapat kita tarik benang merahnya bahwasanya negara belum sepenuhnya berdaulat pada dunia siber. Kita masih lemah perihal mengawasi dan menindak kasus kejahatan siber sehingga menjadikan negara kita masih sangat rentan akan ancaman siber. Selain itu, dikhawatirkan penipuan berbasis AI akan marak terjadi, katakanlah teknik Deepfake sebagai medianya, jika masyarakat belum tercerahkan secara digital. Terlebih posisi literasi digital masyarakat kita tidaklah terlalu menggembirakan dengan hanya hanya berpredikat sedang. Dengan melihat segala pertalian ini, kita yang tidak lebih pintar sekaligus malah menjadi objek yang dikuasai oleh teknologi dibanding alih-alih mengendalikannya menjadi kerisauan tersendiri bagi penulis. Akan menjadi ironi juga bilamana SDM kita—terutama usia produktif dengan proporsi 69,3%—kurang cakap digital pada era yang digadang-gadang sebagai era gelombang kedua bonus demografi ini, terlebih juga kita dihadapkan pada visi Indonesia Emas 2045 (Jati, 2015). Jangan sampai kesempatan emas ini terbuang percuma atau malah justru menjadi boomerang bagi bangsa kita sendiri. Maka dari itu, berdaya serta berdaulat—mencakup penguasaan yang berhulu dari pendidikan serta sosialisasi, regulasi, serta sarana prasana pendukung—di bidang teknologi informasi adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Meskipun penulis tidak memungkiri akan adanya kontribusi dari AI bagi kemajuan pelbagai sektor, sekali lagi, berangkat dari realitas yang ada dalam negeri kita, perlu adanya adanya upaya yang lebih sporadis lagi dalam mengejar ketertinggalan teknologi bangsa kita terhadap bangsa lain. Tentunya, neokolonialisme gaya baru, seperti negara berkembang seperti kita terus-terusan digempur dan hanya menjadi pasar bagi negara maju, tidak kita harapkan. Akan lebih membanggakan dan adekuat dengan cita-cita luhur bangsa ini, jika kita ikut berperan menjadi pemain global alih-alih hanya menjadi penonton melihat kemajuan yang dialami bangsa lain. Sebelum mencapai tahapan itu, langkah konkret nan konsekuen menjadi harga mati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image