Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Albana

Buah Refleksi Filosofi Ki Hajar Dewantara Bukan Tabularasa

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 31 Aug 2023, 11:21 WIB

Hasan Albana CGP9

SDIT Ahmad Yani Malang

source: freepict

Semenjak dari bangku kuliah, pemahaman akan manusia yang dilahirkan dalam keadaan tidak ada bawaan sama sekali dan terlahir kosong jernih putih seperti kertas putih masih terngiang kuat dalam benak saya. Segala sesuatu yang dipelajari manusia adalah hasil dari pada usaha panca indra mendapatkan hal baru. Konsep tabularasa oleh John Locke seorang filsuf Inggris telah lama menjadi kiblat khususnya di dunia Pendidikan. Namun seiring kedinamisan ilmu pengetahuan, ternyata konsep tersebut tidaklah selaras dengan buah pikir mendalam bapak Pendidikan kita di Indonesia Ki Hajar Dewantara.

Dalam filosofinya, beliau menyampaikan bahwa anak atau murid terlahir ‘telah memiliki potensi’, tidak kosongan seperti kertas putih, namun ia telah ada garis garis tipis dan tugas dari pada tri pusat pendidikanlah yang menebalinya. Dominasi pusat Pendidikan Masyarakat yang kurang baik maka akan menghasilkan kertas putih yangkurang baik juga. Dominasi pusat Pendidikan di sekolah dengan guru yang kurang hebat maka maka akan menghasilkan murid yang tidak hebat juga. Kunci utama ada pada guru sejati anak yaitu guru di rumah orang tua dan guru di sekolah untuk menebali kertas putih yang telah membawa potensi kodrat anak.

Dengan mengetahui hal tersebut, sebagai seorang guru saya mencoba merefleksikan diri, apakah yang telah saya lakukan selama ini telah benar benar memahami atau tidak memahami konsep filosofi daripada Ki Hajar Dewantara tersebut. Ternyata, beberapa kali saya salah, beberapa kali saya terjerumus kepada pemahaman sectoral, yang menganggap bahwa anak tidaklah meiliki potensi khusus, anak tidak akan mungkin ditingkatkan kemampuannya selama ia tidak dari keturunan yang hebat.

Anak didik adalah peluang emas untuk mendulang jariyah. Mereka semua memiliki potensi yang luar biasa, dan tugas saya seorang guru adalah menemukan potensi potensi itu dan berpihak kepada mereka menghamba kepada mereka sehingga terbentuklah manusia paripurna seutuhnya jiwa raganya. Upaya yang akan saya lakukan adalah akan selalu meng upgrade diri, pengetahuan, kemampuan, serta potensi saya sendiri sebagai seorang guru untuk dapat lebih menggali lagi potensi murid saya.

Tidak ada murid murid yang salah Ketika melakukan kesalahan, yang ada adalah gurunya yang belum tau cara membuat mereka belajar dengan baik. Tidak ada murid murid yang tidak pandai, yang ada adalah gurunya yang belum pandai mengoptimalkan potensi muridnya. Sehingga hal tersebut menyadarkan saya bahwa ternyata anak anak belum menemukan guru terbaik bagi mereka dan kesadaran diri tersebut membuat saya berubah dan berupaya untuk dapat menjadi guru yang dapat di ‘gugu dan ditiru’, menjadi guru yang diidolakan oleh murid dengan berupaya membranding diri sebagai sosok guru yang dapat menjadi contoh ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso. Filosofi ki Hajar Dewantara tersebut berharap dapat terpatri dalam diri saya sebagai seorang guru

Semoga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image