Tafsir AI Diantara Ancaman dan Tantangan Kecerdasan Kita
Teknologi | 2023-08-31 08:39:15“If a machine, a terminator, can learn the value of human life, maybe we can, too.” Sarah Connor (Terminator 2 : Judgment Day).
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang semakin masif belakangan ini membuat saya teringat kembali pada film Terminator garapan sutradara kondang James Cameron dan dibintangi oleh aktor Arnold Schwarzenegger pada tahun 80-an dan 90-an.
Satu hal yang paling melekat dalam ingatan saya tentang film ini adalah perihal sosok musuh “tidak biasa” dalam wujud skynet, yakni sebuah kecerdasan buatan (AI) yang dikisahkan hendak memusnahkan ras manusia.
Padahal, skynet awalnya adalah teknologi cerdas yang diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi manusia. Namun, karena beberapa alasan skynet justru tidak mampu lagi dikendalikan hingga berbalik menjadi ancaman pemusnah peradaban.
Kini, beberapa dekade berselang pasca perilisan film tersebut kita sama-sama menyaksikan betapa teknologi AI ini telah semakin menyata. Beragam aplikasi AI lahir, mulai dari ChatGPT, copy.ai, DALL-E, hingga Bard AI seakan menjadi manifestasi skynet di dunia nyata.
Terlepas dari pro kontra yang menggelayuti teknologi AI, beberapa negara sepertinya justru menyambut baik kehadiran AI untuk kehidupan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPMG dan Universitas Queensland, mayoritas warga China (86%), India (70%), dan Singapura (60%) sangat mendukung penggunaan kecerdasan buatan[1].
Bahkan di Indonesia sendiri jumlah pengguna aplikasi AI menurut survei Populix sebagaimana dilansir oleh katadata sudah mencapai 45%[2]. Sebuah pertanda bahwa peran AI makin diperhitungkan dalam menopang gaya hidup era digital.
Biarpun hampir separuh masyarakat kita dekat dengan AI, tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran teknologi tersebut juga membawa potensi ancaman dan atau tantangan yang perlu diperhatikan. Khususnya dampaknya terhadap kualitas kecerdasan kita.
IQ Orang Indonesia dan IQ AI
Merupakan sebuah ironi tatkala teknologi kecerdasan buatan sedang naik daun justru skor kecerdasan rata-rata orang Indonesia cenderung rendah. World Population Review mencatat bahwasanya IQ rata-rata orang Indonesia hanya sebesar 78,49[3].
Sebagai perbandingan, jika menilik pengukuran IQ terhadap salah satu aplikasi AI (ChatGPT) menggunakan WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) seperti dipublikasikan oleh scientificamerica.com, skor IQ yang dimiliki oleh ChatGPT adalah 155[4].
Dengan gap yang mencapai hampir dua kali lipatnya maka tidak aneh apabila sebagian orang cenderung bergantung pada kemampuan AI dalam menuntaskan pekerjaan ataupun persoalan.
Seperti yang sempat disinggung beberapa waktu lalu oleh Presiden Jokowi terkait fenomena penggunaan ChatGPT untuk membuat skripsi di kalangan mahasiswa.
Padahal, menyusun skripsi dengan kemampuan sendiri sangatlah penting dalam membantu perkembangan kecerdasan mahasiswa terkait analisis, penyusunan argumen, serta mengasah kreativitas. Jadi, tidak semata syarat untuk lulus kuliah.
Sehingga, ketika proses tersebut dilimpahkan pada AI maka seseorang akan kehilangan kesempatannya dalam mengasah kecerdasan yang ia miliki.
Ketergantungan terhadap teknologi AI yang sampai menihilkan kecerdasan diri sendiri untuk mencipta sesuatu atau merumuskan sebuah solusi persoalan hanya akan membuat kita kehilangan kepercayaan diri serta hasrat memberdayakan potensi kecerdasan yang kita punya.
Disamping itu, ketergantungan berlebih terhadap AI akan menjadikan otak kita cenderung pasif yang mana hal ini berisiko menurunkan keterampilan kognitif kita (Katz et.al, 2012). Sebaliknya, otak yang terstimulasi (aktif) akan lebih mudah berkembang (Hertzog et. Al, 2009).
Kolaborasi AI
Ada perbedaan besar antara diberitahu rasa gula itu manis dibandingkan mengecap gula secara langsung dan merasakan sendiri makna “manis” itu seperti apa. Kata orang bijak, pengalaman adalah guru terbaik. Dan pengalaman itu pula yang membedakan kemampuan kita sebagai manusia dibandingkan AI.
Bisa dibilang, kemampuan AI memahami sesuatu cenderung satu dimensi saja. Hanya menyangkut intelektualitas. Sementara aspek pengalaman membuat kita bisa memberikan makna terhadap sesuatu lebih dari satu dimensi., yakni secara pemahaman intelektual, emosional, atau bahkan spiritual.
AI cenderung lebih unggul dari sisi intelektualitas. Sehingga kolaborasi kita dengan AI akan menjadi tantangan tersendiri untuk dilakukan. Apabila berhasil melakukannya maka hal-hal positif akan lahir darinya.
Misalnya penerapan teknologi AI pada bedah tulang belakang yang dinilai mampu merevolusi diagnosis, prosedur, akurasi, keamanan, dan hasil penanganan bedah tulang belakang, serta perawatan pasca operasi yang lebih baik (Suryaningrat, 2023).
Dan menariknya, ketika otak kita terlibat langsung dalam sebuah penciptaan karya. Biasanya sisi-sisi lain dari otak akan tersentuh dan terpancing dan mendorong lahirnya karya-karya baru. Hal ini dikenal sebagai “Flynn Effect”.
So, dengan demikain akankah AI ditafsirkan sebagai ancaman atau tantangan bagi kecerdasan manusia? Semua kembali pada pilihan kita untuk bergantung sepenuhnya atau menjadikan AI sebagai partner kerjasama.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.