Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Azwar

Ke Mana Ayah Pergi? Merenungi Peran Asasi Ayah yang Terdegradasi

Khazanah | Wednesday, 30 Aug 2023, 16:47 WIB
Peran Ayah Peradaban

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Begitulah ayat mulia dari firman Allah di dalam surah Luqmān: 13. Ayat mulia ini mengabadikan petuah indah dari orang tua kepada anaknya. Namun tunggu dulu, petuah itu bukan petuah dari Ibu, tetapi dari ayah, seorang lelaki. Petuah indah itu adalah nasihat seorang ayah yang sedang menjalani tanggung jawab kelelakiannya sebagai seorang muslim dalam mendidik anaknya. Petuah itu mengalun dari hati seorang lelaki sejati bernama Luqmān al-Ḥakīm, yang sadar akan titah syariah bahwa kelelakiannya sebagai ayah bukan hanya untuk membuahi dan mencari nafkah, melainkan juga sebagai pendidik anak, pendidikan generasi.

Dalam sejumlah referensi Islam, ditemukan bahwa tokoh parenthood yang dominan adalah laki-laki. Dalam Al-Qur’an, Allah telah mengabarkan kisah-kisah tentang mendidik anak. Ada kisah Luqmān al-Ḥakīm yang mendidik anak dan keluarganya, ada kisah Ibrāhīm dengan putra kesayangannya, ada pula kisah ‘Imrān, Zakaria dan Ya’qūb yang berperan mendidik anak-anaknya. Semua kisah ini dilakukan oleh seorang ayah, seorang lelaki.

Lalu, ke mana ‘ayah-ayah’ itu kini? Ke mana ayah-ayah Luqmān, Ibrāhīm, Imrān, Zakaria dan Ya’qūb itu kini? Ke mana kaum lelaki dan sang ayah ketika narkoba mengepung anak-anaknya, ketika putranya tertangkap dalam huru-hara tawuran, atau ketika putrinya positif hamil di luar nikah? Yang tampak hanyalah para ibu yang tergopoh, tunggang-langgang mengemasi beribu masalah dengan kedua tangan halusnya, sementara sang suami duduk manis di beranda rumah, menikmati layanan sepulang kerja. Yang kelihatan, para ibu yang terpaksa memikul rasa pilu, tergopoh menjalani takdir sebagai seorang ‘istri modern’ masa kini, ketika sosok ‘ayah-ayah’ itu ‘hilang’ entah ke mana. Yang tersisa, tinggallah para suami yang telah mendegradasi perannya sebatas sebagai pencari nafkah keluarga belaka, sedangkan peran lainnya telah didelegasikan kepada sang istri. Kiprah di dunia publik kerap terasa lebih seksi dan bergengsi, hingga mereduksi peran besarnya yang asasi.

Perlu dipahami bahwa penanggung jawab utama pendidikan anak di dalam keluarga adalah ayah, bukan bunda. Bunda adalah pelaksana pendidikan. Seorang anak lahir karena adanya kromosom ayah dan kromosom ibu. Pada setiap anak tersimpan sifat maskulin dan feminin, apapun jenis kelaminnya. Sangat logis jika ayah, bukan hanya ibu, turut bertanggung jawab dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Jika ibu mendidik nilai-nilai cinta, ketulusan, kasih sayang, kebersamaan, tenggang rasa dan keikhlasan, lalu siapa yang akan membentuk nilai-nilai ketegasan, keberanian, keberbedaan, profesionalisme dan perjuangan?

Jawabannya tentu saja ayah. Perannya dalam pendidikan anak bukanlah peran tambahan. Waktu dan tenaga yang harus digunakannya untuk mendidik anak bukanlah waktu dan tenaga sisa seusai lelah mencari nafkah.

Allah telah menjadikan sosok Luqmān al-Ḥakīm, seorang ayah, menjadi figur pendidikan anak dalam Al-Qur'an. Mengapa ayah dan bukan ibu? Karena puncak dari seluruh ikhtiar pendidikan adalah pembentukan hikmah, kebijaksanaan. Itulah yang menjadi karunia Allah kepada Luqmān. Itu pula yang menjadi kekuatan ayah Luqmān dan seharusnya oleh seluruh ayah beriman di muka bumi ini. Allah Ta’ālā berfirman (artinya), “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqmān.” (Q.S. Luqmān: 12)

Allah juga telah menjadikan Nabi Ibrāhīm sebagai contoh sosok ayah teladan dalam mendidik keluarga. Dinamika ujian dan ketaatan Nabi Ibrāhīm, Hajar dan Isma’īl memberikan banyak teladan kepada kita tentang tangguhnya keluarga mereka. Berkaitan dengan itu, mungkin kita bertanya-tanya, apa kiranya yang menjadikan mereka sedemikian taat dan tangguh? Ternyata, kuncinya adalah pada visi dan misi keluarga.

Visi keluarga yang dimilikinya dapat disebut sebagai keluarga tauhid pemakmur bumi. Hal ini tercerminkan pada kemakmuran kota Makkah setelah peristiwa air zam-zam. Keluarga Ibrahim juga memiliki karakteristik-karakteristik yang mendukung visinya tersebut. Pertama, hanif atau lurus, Nabi Ibrahim dan keluarganya bertauhid kepada Allah, muka dan hatinya dihadapkan kepada Allah. Seberat apapun perintah yang diterima, diupayakan seoptimal mungkin untuk dilaksanakan demi berpegang pada agama Allah (lihat Q.S. al-Rūm: 30-31). Kedua, pioneer (pelopor). Hal ini tercerminkan saat Nabi Ibrahim menjadi pioneer hijrah ketika meninggalkan keluarganya di padang tandus. Beliau juga adalah pioneer ayah yang tega kepada anaknya. Tega bukan berarti benci, karena tega adalah penuh dengan kasih sayang tetapi tetap konsisten menegakkan hukum Allah. Sosok ayah yang tega (akan) menyembelih anaknya, semata-mata untuk menegakkan perintah Allah. Ketiga, berdaya juang. Bagaimana Hajar yang menunjukkan kesungguhan dengan melakukan yang terbaik kepada Allah saat ia rela bolak-balik dari Ṣafa ke Marwah selama 7 kali hanya untuk mencari air untuk anaknya, meskipun kemudian air keluar di dekat kaki anaknya.

Keempat, berkorban. Ibrahim dan keluarga dalam ketaatannya kepada Allah berupaya untuk menyingkirkan kepentingan pribadi dan keluarga. Saat Nabi Ibrahim diperintahkan untuk meninggalkan istri dan anaknya di padang tandus, juga saat Nabi Ibrahim diminta untuk menyembelih anaknya. Kelima, optimis dan sabar. Terhadap setiap ujian dan ketentuan Allah, Nabi Ibrahim dan keluarganya senantiasa optimis dan sabar. Tercermin dari sikap Hajar yang merelakan untuk ditinggal suaminya di padang tandus hanya berdua bersama anaknya yang masih bayi dan Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembeli anaknya yang kelahirannya sangat didambakan setelah sekian lama tidak memiliki anak.

Sebagai keluarga tauhid pemakmur bumi, keluarga Nabi Ibrahim memiliki misi, yaitu: membacakan ayat-ayat Allah kepada manusia, menyucikan manusia, dan mengajarkan manusia kepada Al-Qur'an dan hikmah. Menentukan visi dan misi keluarga haruslah melibatkan Allah, yaitu dengan melibatkan apa yang sebenarnya Allah tugaskan kepada kita sebagai manusia, mendekatkan diri kepada Allah agar selalu dikoreksi oleh-Nya, menghubungkan rumusan visi misi keluarga dengan tujuan penciptaan manusia. Menentukan visi misi keluarga, tentu bukanlah semudah menentukan menu yang akan dimasak, namun merupakan sebuah proses panjang, perlu didiskusikan dan dibicarakan bersama, yang mungkin akan memakan waktu yang lama dan tidak langsung sekali jadi.

Tanggung jawab orang tua, utamanya ayah, bukan sekadar menyekolahkan anak di sekolah mahal dan bagus, melainkan tanggung jawab meng-akil-balig-kan anak. Tugas pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan tetap di rumah, di tangan ayah, juga ibu. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan anak. Ayah dan ibu secara bersama-sama harus mengantar anak-anaknya menuju kedewasaan, akil-balig. ‘Āqil artinya dewasa mental, sementara bālig adalah dewasa fisik. Ayahlah yang mengantarkan anak pada kedewasaan mentalnya (‘āqil). Ayah harus mengajarkannya berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan berkreasi. Kompetensi ayahlah yang membuat anaknya menjadi pribadi yang berani, tegas, bertanggung jawab dan berdaya juang. Bahkan, kalau perlu, ayahlah yang mendidik anaknya, laki-laki atau perempuan, untuk tampil beda, melawan, bertarung dan berperang, menghadapi tantangan kehidupan, begitu pula rasa tanggung jawab, profesionalisme dan bertindak strategis.

Kesibukan mencari nafkah seringkali menjadi kambing hitam yang sangat ampuh bagi seorang ayah untuk lepas tangan dari pendidikan anak dan menyerahkan tanggung jawab ini seutuhnya kepada ibu. Sesibuk apakah ayah dibandingkan ibu? Padahal sejatinya, ayah memiliki banyak peran yang tidak dapat digantikan oleh sosok ibu.

Ayah adalah Man of Vision and Mission. Ayahlah yang seharusnya menentukan visi dan misi pendidikan, bagaimana strateginya, masterplan-nya, dan lain-lain. Ayahlah yang menjadi penanggung jawab pendidikan anak. Ayah seharusnya mengajarkan bunda bagaimana cara mendidik anak. Ayahlah yang seharusnya menjadi konsultan pendidikan. Bunda mungkin saja memiliki kepintaran, namun seringkali tertutup oleh rutinitas sehari-hari, sehingga bunda perlu konsultan dalam menghadapi tingkah laku anak, yaitu sang ayah. Sosok ayahlah yang seharusnya menjadi pembangun sistem berpikir. Kemampuan berpikir logika anak sangat dipengaruhi oleh peran ayah yang memang diciptakan memiliki kemampuan logika yang baik. Ayahlah yang berperan sebagai supplier maskulinitas, antara lain dengan keberanian, nyali, suka tantangan, tangguh, dll. Ayah sebagai sosok maskulin adalah sosok raja tega yang dibutuhkan agar anak belajar menjadi dewasa, tangguh, dan matang.

Karenanya, mindset bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab ibu, harus disingkirkan jauh-jauh. Seorang ayah harus mendominasi dalam hal mendidik anak dalam keluarga. Semakin baik peran para ayah dalam mendidik anak di keluarga, diharapkan semakin mampu mendorong terciptanya peradaban baru dengan generasi yang saleh, baik secara individu maupun sosial. Bukan sosok ibu saja yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat, namun sosok ayahlah yang lebih utama mempertanggungjawabkan anak-anaknya. Menyedihkan, bila kelak ada seorang ayah yang ahli ibadah, namun harus terseret ke neraka lantaran protes anak-anaknya yang tidak pernah diajarkan bagaimana menjadi anak saleh dan salehah.

Semoga kita, sang ayah, mampu menjadi sosok Luqmān al-Ḥakīm yang mendidik anak dan keluarganya dengan penuh kebijaksanaan, sosok Ibrāhīm sang pemakmur bumi, sosok ‘Imrān, Zakaria dan Ya’qūb yang mendidik keluarga peradaban, dan sosok-sosok teladan lainnya.

Bahan Bacaan:

Rusfi, A., dkk. (2018). Menjadi Ayah Pendidik Peradaban. Balikpapan: Penerbit Hijau Borneoku.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image