Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fira Admojo

Mewaspadai Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam Industri Politik

Lomba | 2023-08-29 17:51:51

Menjelang tahun politik ranah digital tentunya akan dijejali dengan hiruk-pikuk opini dan iklan-iklan politik. Salah satunya pasti melibatkan media sosial berbasis AI. Salah satu dampak peran algoritma AI dalam industri politik adalah menyebarnya manipulasi opini publik dan polarisasi yang kuat. Pemanfaatan AI yang tak kasat mata ini perlu diwaspadai oleh segenap masyarakat, terutama generasi muda yang banyak menggali informasi dari platform digital, termasuk media sosial. Sebuah riset menunjukkan pengguna internet di Indonesia pada awal 2022 sudah mencapai 210 juta jiwa atau setara 77,02% dari total populasi penduduk, yang mayoritasnya mengakses internet untuk membuka media sosial. Terlebih, milenial dan generasi Z (dikenal sebagai Gen-Z) diprediksi akan menguasai 40% sampai 50% total pemilih 2024 nanti. Inilah mengapa media sosial menjadi ladang garapan kampanye masif politisi dalam meraih dukungan mayoritas, terutama kalangan generasi muda. Sayangnya, masih rendahnya literasi digital dan kesadaran politik para pengguna media sosial, mudah menjadikan mereka sebagai sasaran empuk penyebaran misinformasi dan disinformasi publik.

Ilustrasi pemanfaatan AI untuk kepentingan pemilu

Dampak AI untuk Kepentingn Politik pada Media Sosial

Media sosial sendiri sejatinya adalah sebuah platform yang didesain untuk mengeksploitasi user atau pengguna, dimana data user akan digunakan oleh pemilik platform untuk mengeruk keuntungan. Misalnya untuk menarik iklan atau siapapun yang berkepentingan terhadap data pengguna atau user. AI pada platform akan mengenali identitas user, pola perilaku, preferensi dari setiap aktivitasnya dalam media digital. Perilaku posting, scrolling, like, share, komentar bahkan view dapat terbaca sebagai data user. Data tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk kepentingn politik yang dapat berdampak pada:

1) Polarisasi, yaitu pola medsos yang mengelompokkan opini dan jejaring yang setipe (eco chambering) sehingga semakin menguatkan dua kutub, misal konten kontroversi yang bisa memicu pro dan kontra, atau konten kampanye yang memicu perseteruan kubu masing-masing calon yang biasanya dimanfaatkan polanya oleh para buzzer politik

2) Penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan politik. Sekali lagi, media sosial adalah bisnis data, maka data pribadi user menjadi milik platform. Seperti kasus Cambridge analytica yang menggunakan data user facebook untuk kepentingan pemilihan presiden AS Donald Trump pada tahun 2016 lalu

3) Penyebaran disinformasi untuk kepentingan kampanye dan mengacaukan opini publik. Ini misalnya terjadi pada kasus pemilihan presiden Filipina Bongbong Marcos Jr tahun 2022 maupun Narendra Modi tahun 2019. Bongbong memanfaatkan kampanye disinformasi yang menyasar kalangan muda yang minim literasi politik terutama melalui tiktok, sedangkan Modi memanfaatkan disinformasi untuk membenturkan kubu muslim dan hindu demi meraih dukungan kalangan hindu terutama melalui Facebook, Twitter dan WA.

Kultur Manipulasi Opini Publik

"Manipulasi opini publik di media sosial masih menjadi ancaman untuk demokrasi, seiring dengan makin maraknya penggunaan propaganda terkomputasi dalam hidup sehari-hari" Philip Howard, Direktur Oxford Internet Institute di Universitas Oxford.

Industri politik banyak bergerak untuk menyebarkan manipulasi opini yang meracuni publik dengan informasi hoaks atau disinformasi, terutama melalui platform media sosial berbasis AI. The European Commission mendefinisikan disinformasi sebagai segala bentuk kebohongan, ketidak akuratan, atau informasi menyesatkan yang didesain dan disebarkan secara intens untuk menimbulkan kekacauan atau demi mengejar keuntungan. Ada dua motif, pertama motif komersial, yaitu untuk menarik pembaca atau pembeli dengan klaim yang sensasional. Kedua motif politik, untuk membentuk opini publik sesuai kepentingan. Sebuah jasa pembuatan berita bohong (fake news), yang menjalankan jejaring situs dan mengawal kontributor di seluruh dunia, mampu menghasilkan hingga $30,000 per bulan, membuktikan betapa menguntungkannya bisnis ini.

Manipulasi opini melibatkan strategi, bot politik, dan teknik propaganda komputasi yang memanfaatkan AI di media sosial. Sejak 2018 ada lebih dari 65 perusahaan yang menawarkan jasa propaganda komputasional, dengan total hampir US $60 juta dibelanjakan untuk kepentingan tersebut sejak tahun 2009.

Manipulasi opini publik jelas sangat merugikan masyarakat. Pertama melahirkan para pemimpin yang tidak amanah, karena mereka besar bukan karena kapabilitas namun karena citra politik yang didengungkan oleh media sosial. Kedua rentan melahirkan kebijakan yang mengedepankan kepentingan segelintir orang, terutama tim pemenangan dan pemodal yang tengah membantu dalam pencalonannya. Ketiga menumbuhsuburkan bisnis kebohongan atas nama kepentingan politik, yang jelas dilegitimasi oleh politisi dan negara. Kelima semakin menjauhkan masyarakat dari edukasi politik, karena informasi kebohongan yang terus diproduksi oleh industri. Hal tersebut semakin memudahkan eksistensi penguasa dalam menerapkan kebijakan suka-suka karena hilangnya kepekaan masyarakat dengan kondisi yang ada. Jelas, kesemuanya berujung pada eksistensi negara yang tidak sehat karena dikendalikan oleh para politisi haus kekuasaan dan pembohong. Maka masyarakat mesti mewaspadai segenap propaganda politik di media sosial.

Peran Media Sosial Berbasis AI yang Mendukung Tersebarnya Manipulasi Opini

Ketika perangkat digunakan sebagai senjata, tidak saja untuk kampanye kotor bahkan digunakan sebagai instrumen polarisasi sosial maka kerusakan akan terjadi dibalik sebuah aktivitas kampanyeGilles Verniers, Profesor Ilmu Politik, Universitas Ashoka India

Peneliti utama riset Universitas Oxford “Industrialized Disinformation 2020: Global Inventory of Organized Social Media Manipulation”, Samantha Bradshaw, menambahkan bahwa perangkat teknologi jejaring sosial dengan sistem algoritma berbasis AI, otomatisasi, dan potensi memiliki data dalam jumlah besar, akan mampu mengubah skala, rentang dan presisi dari penyebaran informasi di era digital. Isu settingan akhirnya mudah dan cepat disebarkan serta mampu mentarget populasi dengan lebih tepat sasaran.

Ada lima platform utama media sosial yang aktif digunakan untuk manipulasi opini, yakni Facebook, Twitter, WhatsApp, Youtube, Instagram dan terakhir TikTok. Hal ini diduga akan semakin masif karena perangkat media sosial akrab digunakan sebagai sumber informasi publik, terutama kalangan generasi muda. Media sosial akhirnya memberikan daya dukung luar biasa bagi politisi untuk melakukan kampanye politiknya, terutama menyasar pemilih aktif terbesar yaitu kalangan Gen-Z. Kita belajar bagaimana peran besar itu termanfaatkan dengan luar biasa dalam pemilu Presiden AS. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS tahun 2016 tak lepas dari peran industri politik yang dijalankan oleh para kapital. Hasil investigasi Robert Mueller yang bertajuk "Report On The Investigation Into Russian Interference In The 2016 Presidential Election", menguak campur tangan Rusia dalam pilpres AS yang melibatkan perangkat teknologi.

Mindy Finn pendiri organisasi Empowered Woman yang sebelumnya terlibat dalam kampanye dan tim penasehat komunikasi sejumlah politisi Amerika mengatakan ada tiga hal yang dianggap penting mengenai peran media sosial dalam pemilu di Amerika. Ketiga hal itu adalah peningkatan penggunaan media sosial dari perspektif pemilih, bagaimana kandidat dan kampanye menggunakan media sosial dan bagaimana dampaknya dalam proses pemilu dengan cara-cara yang dramatis (atau manipulatif).

Manipulasi opini publik melalui media sosial tidak hanya berkaitan dengan pemilu, namun juga pada kepentingan politik yang lebih luas. Pada tahun 2018 misalnya, United Nations Human Rights Council melaporkan Facebook bertanggungjawab karena menjadi faktor penentu pemberangusan etnis Rohingya di Myanmar, melalui serangkaian manipulasi informasi tentang etnis Rohingnya yang akhirnya memicu kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Bagaimana pula partai hindu India BJP dibawah kepemimpinan Narendra Modi berhasil menghasut sentimen anti muslim melalui platform media sosial seperti Twitter dan Whatsapp yang akhirnya mempengaruhi dukungan kalangan Hindu terhadap kebijakan anti-muslim di India, termaksud intimidasi dan diskriminasi umat islam di Kashmir.

Bangkitnya supremasi kulit putih di AS juga didukung oleh retorika presiden Trump dengan diksi “mengembalikan kejayaan AS” melalui propaganda terkomputasi berbasis AI di media sosial. Kampanye negatif white supremacy terus berkembang yang menyebabkan warga negara AS pendukung supremasi kulit putih menganggap bahwa kedatangan kaum imigran sebagai “white oppression” atau penindasan terhadap kaum kulit putih.

Pemanfaatan media sosial berbasis AI, akhirnya mudah digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan segelintir orang tanpa memiliki tanggungjawab moral akan dampak dibaliknya. Tentu saja, karena disetting untuk sekedar menumpuk pundi-pundi keuntungan, menebarkan propaganda sesuai kepentingan dan membius pengguna untuk mengikuti tujuan platform tersebut diciptakan. Masyarakat akhirnya tidak bisa mengandalkan perlindungan dan jaminan negara ketika negara dengan kebijakannya tidak berpihak pada kepentingan publik, namun pada kepentingan kekuasaan dan oligarki politik.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana memanfaatkan AI untuk mendukung kampanye politik yang mencerdaskan, pelibatan publik dalam pengawalan kebijakan, dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan an sich. Disamping mengupayakan untuk meningkatkan kesadaran politik yang benar dan literasi digital yang memadai di tengah generasi muda, yang saat ini mendominasi penggunaan media sosial. Sudah seharusnya insan media, jurnalis, para influencer, dan mereka yang memiliki jaringan massa potensial di media sosial berada di garda terdepan untuk memberikan edukasi politik dan digital dengan standar dan sudut pandang yang benar.

Referensi

Surokim. 2017. Riset Opini Publik dalam Industri Politik di Indonesia: Kelembagaan, Publikasi, Peluang, dan Tantangan. Universitas Trunojoyo Madura.

Chandrika Aldira Rachman. 2021. Peranan Cambridge Analytica Terhadap Kampanye Pemenangan Donald Trump Pada Pemilu Tahun 2016. Skripsi (S1), FISIP UNPAS.

R. M. H. Jr & R. A. Devine, “Corporate spending in state politics and elections can affect everything from your wallet to your health,” The Conversation. http://theconversation.com/corporate-spending-in-state-politics-and-elections-can-affect-everything-from-your-wallet-to-your-health-192704.

Eileen Culloty & Jane Suiter. 2021. Disinformation and Manipulation in Digital Media Information Pathologies. Newgen Publishing UK. 100 p

https://news.detik.com/kolom/d-4591766/peran-media-sosial-berkaca-pada-pemilu-india

Taufik & Sundari Ayu P. 2021. American First: Kebijakan Donald Trump Dalam Pembatasan Kaum Imigran ke Amerika Serikat. Intermestic: Journal of International Studies. Vol. 6 (1): 221-241

https://dunia.tempo.co/read/1590279/menang-pilpres-filipina-marcos-jr-raih-pemilih-muda-lewat-tiktok-dan-facebook

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image