Gempuran Teknologi AI dalam Industri Pers Bak Pedang Bermata Dua
Lomba | 2023-08-28 17:46:33
Kehidupan manusia bersifat dinamis. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan dan tuntutan manusia semakin kompleks sehingga perubahan menjadi suatu hal yang tidak bisa dibantah atau dihindari. Ditambah lagi, di era teknologi seperti saat ini apa pun dapat berubah dengan cepat. Untuk itu, manusia harus mampu berinovasi dan beradaptasi dengan keadaan, sebab siapa pun tidak dapat bertahan di posisi kecuali mereka rajin berinovasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Salah satu inovasi yang saat ini sedang ramai mendapat sorotan dan menjadi perbincangan hangat yaitu hadirnya terobosan dalam dunia kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI merupakan salah satu bagian ilmu komputer yang merancang supaya mesin (komputer) mampu melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan oleh manusia. Pada mulanya, komputer diciptakan hanya sebagai alat hitung saja. Namun seiring dengan perkembangan zaman, peran komputer pun semakin mendominasi kehidupan umat manusia. Kini komputer tidak hanya hanya digunakan sebagai alat hitung saja, akan tetapi lebih dari itu, komputer diharapkan supaya dapat diberdayakan untuk mengerjakan segala sesuatu yang bisa dikerjakan oleh manusia (Jaya, 2018). AI mengacu pada kemampuan mesin untuk mengimitasi kecerdasan manusia, diantaranya kemampuan untuk belajar, memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan berinteraksi dengan lingkungan mereka.
AI telah berpotensi besar dalam memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pers ataupun jurnalistik, yang mana dalam beberapa tahun terakhir AI telah berhasil mengubah lanskap pers atau jurnalistik dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam hal ini, Indonesia memandang eksistensi AI sebagai peluang besar bagi pengembangan industri pers di Indonesia, hal ini didukung oleh pernyataan dari Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria, bahwa beliau berharap supaya kedepannya industri jurnalisme berani bersikap inklusif dan mengadopsi teknologi AI, sebab AI dirasa mampu untuk meningkatkan efisiensi pelaku industri dan juga meningkatkan nilai jurnalisme.
"Khusus pada kegiatan jurnalisme, dalam beberapa tahun ke depan publik akan menikmati karya media hasil dari AI atau campuran AI," ujarnya dalam Indonesia Digital Conference Artificial Intelligence untuk Transformasi Industri Tantangan Etik, Inovasi, Produktivitas, dan Daya Saing di Berbagai Sektor di Bandung. (Kominfo, 22/08/2023).
Kemudian, baru-baru ini pemanfaatan AI dalam dunia industri pers di Indonesia semakin terlihat secara signifikan pasca hadirnya Nadira, Sasya, dan Bhoomi dalam layar kaca. Tepat pada Hari Kartini yakni pada tanggal 21 April 2023 kemarin, salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia, tvOne, memperkenalkan tiga presenter berbasis kecerdasan buatan atau AI yang direncanakan akan menyiarkan berita di media sosial Instagram dan Tiktok. Ketiga presenter tersebut merupakan sosok perempuan cantik yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda, Nadira mengenakan hijab dan memiliki warna kulit kecoklatan, Sasya dengan rambut terurai sebahu dan memiliki warna kulit yang lebih terang, serta Bhoomi dengan ciri khas rambutnya yang keriting berwarna hitam legam dan kulit berwarna kecoklatan. Melalui terobosan ini, tvOne menjadi stasiun televisi pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi AI – empat tahun setelah presenter AI pertama kali dipertunjukkan ke dunia oleh media China – dan sukses menarik perhatian publik. Inovasi ini mendapatkan respon positif dari masyarakat terutama bagi kaum muda yang merasa terhibur, juga banyak yang menilai bahwa penggunaan avatar dalam industri pers ini mampu mencerminkan kemajuan dan menjadi potensi bisnis bagi industri pers.
Berbagai manfaat dan keuntungan pun dirasakan berkat diterapkannya teknologi AI dalam industri pers. Salah satu contohnya yaitu nilai manfaat dalam terobosan presenter AI tvOne, antara lain yaitu proses informasi dapat dilakukan secara lebih cepat, efisien, dan berita dapat disajikan secara lebih menarik; teknologi presenter AI juga dapat memperluas jangkauan siaran berita sampai ke daerah yang sulit dijangkau manusia, jadi kendala jangkauan jarak tidak lagi menjadi hambatan dalam kegiatan penyiaran berita; efisiensi biaya produksi dan meningkatkan produktivitas. Adapun dalam jurnalisme, teknologi AI mampu menghasilkan konten secara otomatis. Dengan memanfaatkan algoritma dan mesin pembelajaran, AI mampu menghasilkan artikel berita secara cepat dan efisien. Selain itu, AI juga dapat dimanfaatkan untuk memprediksi tren berita dan pola perilaku pengguna sehingga dapat membantu kerja jurnalis dalam mengembangkan konten yang relevan dan menarik.
Meski begitu, eksistensi AI dalam industri pers dan jurnalisme bagai pedang bermata dua. Sebab selain memberikan nilai manfaat, AI juga menjadi sebuah tantangan sekaligus menghadirkan ancaman. Dalam hal ini, dikutip dari Kompas, Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers Asmono Wikan mengungkapkan bahwa teknologi selalu mendatangkan sisi positif dan negatif. Terlepas dari kemudahan yang disuguhkan, produksi konten jurnalistik harus tetap taat pada kaidah jurnalistik. Perlu dipahami bahwa dalam aspek jurnalistik teknologi AI masih terdapat banyak keterbatasan, seperti dalam akurasi dan verifikasi sehingga berpotensi melanggar kode etik jurnalistik. Seperti yang kita tahu bahwa dalam jurnalistik terdapat kode etik atau sekumpulan prinsip moral yang harus dipatuhi oleh seluruh wartawan atau jurnalis. Dalam hal ini, etika jurnalistik dalam pemberitaan tidak dapat digantikan oleh AI, yakni rasa tanggung jawab sosial, menghormati privasi individu, penyampaian konten tidak bias dan adil. Sebab, aktivitas jurnalistik tidak hanya sekedar mencari informasi untuk dipublikasikan dalam bentuk konten berita, tetapi kerja jurnalistik juga mengandung tanggung jawab besar secara moral. Hal inilah yang tidak dimiliki dan menjadi kelemahan teknologi AI.
Kemudian, salah satu teknologi AI yang kerap digunakan dalam membantu kerja-kerja jurnalistik yaitu ChatGPT, merupakan sebuah teknologi yang dibangun dan dikembangkan oleh OpenAI. Teknologi ini mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan cepat dan membuat konten dari data yang dihimpunnya. Hadirnya teknologi ini semakin mempermudah kerja-kerja jurnalistik dalam pengumpulan data dan membuka peluang bagi industri jurnalistik untuk memproduksi berita secara otomatis dan lebih efektif. Eits, akan tetapi teknologi ini tidak menjamin kualitas berita yang disajikan menjadi lebih baik. Memang benar bahwa AI menjanjikan kecepatan, akan tetapi perihal validasi dan kredibilitas informasi belum tentu terjamin. Di sisi lain, teknologi ini juga memicu terjadinya masalah etis seperti hak cipta dan plagiasi. Terkait hal ini, dikutip dari Kompas, Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI), Agus Sudibyo, menerangkan bahwa teknologi AI seperti ChatGPT tidak selalu bisa memberikan jawaban yang presisi. “Teknologi ini memang membantu. Namun, cukup banyak jawabannya yang spekulatif. Padahal, jurnalisme harus memberikan informarsi faktual. Jadi, tidak semua bisa diserahkan pada mesin,” ujarnya. (Kompas, 08/03/2023).
Hadirnya teknologi AI dalam industri pers dan jurnalistik kerap disebut ancaman bagi manusia karena dikhawatirkan dapat menggantikan posisi atau pekerjaan manusia. Padahal, penerapan teknologi AI dalam industri pers dan jurnalistik bukan suatu hal yang baru. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa untuk presenter AI sendiri sudah ada pertama kali di dunia sejak 2018 yang dibuka oleh negara China. Menanggapi perihal ramainya pembahasan mengenai presenter AI, jurnalis Aiman Witjaksono berpendapat bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara presenter virtual dengan presenter manusia (jurnalis), ia menyebutkan bahwa presenter virtual lebih pada ‘pembaca’ berita, berbeda dengan presenter manusia sebagai ‘pembawa’ berita. Aiman juga menyatakan bahwa bagaimanapun, soal rasa dan nurani, jurnalis tidak akan pernah tergantikan. Sementara presenter berita KompasTV Frisca Clarissa juga berpendapat bahwa kehadiran AI bisa mewarnai televisi dan kerja-kerja jurnalistik, tetapi tidak bisa menggantikan peran manusia, termasuk presenter berita. Adapun dikutip dari laman Universitas Padjajaran, Dosen Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang juga peneliti jurnalisme digital Dandi Supriadi, M.A. (SUT), PhD, mengatakan, teknologi dibuat untuk mengurangi ketidakpastian pekerjaan yang dilakukan manusia. Akan tetapi teknologi hanyalah alat. Jangan sampai manusia mengandalkan alat untuk menggantikan kemanusiaannya. Secanggih apa pun teknologi, banyak hal-hal yang hanya bisa dinilai oleh hati nurani manusia”.
Dengan demikian, kelebihan pada teknologi AI tak terlepas dari adanya kelemahan dan ancaman. Hal tersebut wajar terjadi, bahkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan saja tetap memiliki kekurangan, terlebih bagi teknologi AI yang merupakan kecerdasan buatan manusia. Mengingat adanya beberapa keterbatasan dalam AI, manusia jangan menyerahkan sepenuhnya pekerjaan jurnalistik pada AI karena hal ini juga dapat menjadi bumerang. Maka, dalam penggunaan AI perlu menerapkan limitasi tertentu, seperti dalam pengumpulan data awal dan merangkum wawancara, sementara hal-hal substansial lainnya diolah oleh jurnalis. Dalam hal ini, pada November 2022 salah satu perusahaan pers asal Amerika, CNET, melakukan uji coba dengan menerbitkan artikel finansial yang dituliskan AI. Namun setelah dua bulan, perusahaan tersebut menghentikan campur tangan AI dalam pembuatan artikel karena redaksi CNET merasa masih banyak kekurangan dari penggunaan AI sehingga memerlukan koreksi substansial.
Artinya, AI dapat dimanfaatkan sebagai alat atau tools dalam jurnalisme, akan tetapi jurnalis tetap menjadi pemegang konten. Alih-alih dipandang sebagai suatu ancaman, manusia harus mampu mengubah ancaman menjadi sebuah peluang untuk menghasilkan performa yang maksimal dan menjadikan teknologi AI sebagai tools untuk memaksimalkan kinerja manusia dalam kerja-kerja jurnalistik. Dalam hal ini, perlu sinergi antara manusia dengan teknologi AI dalam menciptakan konten berita yang menarik, up to date, faktual, dan tetap tunduk pada kaidah dan kode etik jurnalistik.
Referensi:
Jaya, Hendra. (2018). Kecerdasan Buatan. Makassar: Fakultas MIPA Universitas Negeri Makassar.
Kominfo, (2023). “Tingkatkan Nilai Jurnalisme dan Media, Wamenkominfo Dorong Adopsi AI”. https://www.kominfo.go.id/content/detail/50956/siaran-pers-no-219hmkominfo082023-tentang-tingkatkan-nilai-jurnalisme-dan-media-wamenkominfo-dorong-adopsi-ai/0/siaran_pers. Diakses pada 26 Agustus 2023.
Kompas, (2023). “Jurnalisme dalam Bayang-bayang Kecerdasan Buatan”. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/05/jurnalisme-dalam-bayang-bayang-kecerdasan-buatan. Diakses pada 26 Agustus 2023.
Universitas Padjajaran, (2023). “Teknologi AI dalam Industri Pers, Akankah Menggantikan Peran Pekerja Media?”. https://www.unpad.ac.id/2023/04/teknologi-ai-dalam-industri-pers-akankah-menggantikan-peran-pekerja-media/. Diakses pada 27 Agustus 2023.
Voaindonesia, (2023). “Presenter Berita Virtual AI Hadir di Tanah Air, Masyarakat Siap?”. https://www.voaindonesia.com/a/presenter-berita-virtual-ai-hadir-di-tanah-air-masyarakat-siap-/7079939.html. Diakses pada 26 Agustus 2023.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
