Faktor-Faktor Penyebab Intoleransi di Indonesia dan Bagaimana Upaya Mengatasinya
Pendidikan dan Literasi | 2023-08-01 16:34:33Negara Indonesia sebagaimana kita ketahui, adalah negara majemuk yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan juga terjadi karena sejumlah faktor, antara lain faktor sosial, faktor ekonomi, faktor identitas, dan faktor keyakinan.
Dengan kondisi perbedaan yang ada tersebut, tentu akan berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak jarang dampak yang ditimbulkan mengarah kepada dampak negatif yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satu dampak negatif dari kemajemukan Indonesia tersebut ialah munculnya sikap intoleransi.
Sikap intoleransi itu sendiri merupakan sikap ketidaksediaan masyarakat untuk menerima adanya perbedaan suku, ras, budaya maupun perbedaan keyakinan juga perbedaan status sosial.
Intoleransi juga berarti tidak mau menghargai dan menghormati yang berbeda sebagai sesuatu yang nyata adanya. Dengan sikap intoleransi inilah akan lahir sikap hidup yang tidak rukun dalam perbedaan, saling menghujat, membenci, mengkafirkan, bahkan hendak membunuh sesamanya karena perbedaan yang ada.
Pada tahun 2012, hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Denny JA dan LSI Community (MI: 2012), menunjukkan bahwa trend intoleransi masyarakat Indonesia terus meningkat. Masyarakat merasa semakin tak nyaman akan keberadaan orang lain yang berbeda identitas (berbeda agama, maupun berbeda aliran dalam satu agama) di sekitarnya.
Sementara itu, mendasarkan pada laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan The Wahid Institute 2013 menyatakan bahwa selama Januari sampai Desember 2013, jumlah pelanggaran atau intoleransi keyakinan beragama berjumlah 245 peristiwa. Terdiri dari 106 peristiwa (43%) yang melibatkan aktor negara dan 139 peristiwa (57%) oleh aktor non-negara. Sementara total jumlah tindakan kekerasan dan intoleransi mencapai 280, dimana 121 tindakan (43%) dilakukan aktor negara dan 159 tindakan (57%) oleh aktor non negara. (The Wahid Institute Januari 2014).
Penyebab-penyebab terjadinya intoleransi pada masyarakat Indonesia, yaitu :
1) Kurangnya atau Rendahnya Penghargaan akan Keberagaman
Keberagaman yang harusnya menjadi modal sosial yang luar biasa bagi bangsa Indonesia, ternyata berbuah kerentanan konflik, anti-dialog, dan penyingkiran. Jika persoalan tersebut tak segera diantisipasi, maka eksistensi NKRI akan menjadi taruhannya.
2) Kuatnya Paham Identitas SARA
Yaitu pemikiran bahwa Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan milik pribadi jauh lebih baik atau lebih unggul dibanding Suku, Agama, Ras dan Antar golongan milik yang lain.
3) Maraknya Ketimpangan Sosial dan Politik
Di Indonesia dengan wilayah yang sangat luas dengan keberagamannya yang sangat besar, masih banyak ditemui kasus ketimpangan sosial dan politik yang dapat memunculkan spekulasi bahwa salah satu suku, agama, ras atau golongan kurang mendapatkan akses memadai.
Kondisi seperti ini membuat mereka kecewa pada negaranya. Ketika kecewa dan mendapatkana siraman kebencian maka yang muncul adalah kebencian pada salah satu suku, agama, ras maupun golongan yang lain yang dianggap memiliki status sosial dan politik lebih baik.
4) Terjadinya Ketimpangan Ekonomi
Ketimpangan ekonomi sering dikatakan oleh para ahli ekonomi politik dan sosiolog menjadi bibit paling subur munculnya intoleransi dan kekerasan.
Hal itu dikarenakan, hidup susah yang diderita, pekerjaan yang sulit didapatkan dan situasi pengangguran yang menunggu di depannya. Jadi, ketika ada sekelompok atau seseorang menyiramkan bibit kebencian, maka dengan segera mereka akan melakukan tindakan intoleransi dan kekerasan tanpa pikir panjang.
Jika persoalan intoleransi tak segera diantisipasi, maka eksistensi NKRI akan menjadi taruhannya. Adapun, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan intoleransi tersebut adalah :
1) Pemahaman yang memandang bahwa perbedaan yang ada pada masyarakat Indonesia adalah suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat ternilai harganya, sehingga perbedaan yang ada haruslah dihargai.
2) Memandang bahwa semua suku, agama, ras, budaya dan golongan adalah sama dan tidak ada yang lebih baik atau unggul dibanding yang lain.
3) Kesadaran dari seluruh rakyat Indonesia untuk hidup bersama saling berdampingan dengan rukun tanpa adanya rasa curiga, iri, dan rasa ketakutan terhadap dominasi suatu pihak karena status sosial dan politik yang berbeda.
Perbedaan yang ada tersebut harusnya menjadi cikal bakal tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan dengan cara saling melengkapi antara status sosial dan politik yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi.
4) Perbedaan status ekonomi juga harus disingkapi dengan positif, yaitu perbedaan yang ada dijadikan alat untuk memupuk persatuan dan kesatuan, rasa saling tolong-menolong dan kerja sama antara pihak dengan status ekonomi tinggi dan status ekonomi rendah.
5) Menumbuhkan rasa cinta tanah air dan semangat rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan mementingkan kepentingan suatu suku, etnis, golongan, kelompok, apalagi individu.
6) Adanya keinginan untuk bersatu dan kesadaran akan perasaan senasib dan seperjuangan dalam aspek sejarah berdirinya Indonesia.
7) Menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai kebangsaan yang sama, yaitu membangun tatanan masyarakat yang sadar akan ideologi dan nilai-nilai bersama dalam Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan).
Pancasila menjadi dasar nilai yang telah disepakati bersama dan menjadi dasar dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Jadi, tindakan toleransi yang dilakukan jelas telah mengkhianati nilai-nilai luhur Pancasila.
8) Adanya konsensus bersama yang disepakati secara bersama-sama oleh seluruh elemen masyarakat mengenai perlakuan yang adil, merata, dan tanpa diskriminatif.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.