Rela Jual Ginjal Karena Himpitan Ekonomi, Dimana Peran Negara?
Info Terkini | 2023-07-28 13:47:12Hanim, Koordinator Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) modus Penjualan Ginjal, menceritakan awal mula sindikat perdagangan organ tubuh manusia. Semuanya berawal ketika dia menjual ginjalnya sendiri. Saat itu, dia kesulitan keuangan karena orang tuanya juga terlilit hutang dan tidak punya tempat tinggal.
“Awalnya 2018 karena faktor ekonomi, orang tua saya tidak punya rumah kemudian saya usaha mentok juga, akhirnya saya cari-cari grup-grup donor ginjal," ujar Hanim di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (21/7). (Republika.co.id, 20/07/2023).
Dalam pencariannya, Hanim menemukan postingan dan permintaan donor ginjal di media sosial. Ia lalu menghubungi orang yang mengunggah postingan tersebut dan mengirimkan syaratnya. Lalu ada yang menelepon agen tersebut dan memintanya menunggu di rumah kontrakan dekat Bojong Gede, Depok.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya ginjalnya akan diambil di sebuah rumah sakit di Jakarta. Namun, upaya pengambilan ginjal di rumah sakit dalam negeri gagal karena banyaknya tahapan atau persyaratan yang harus dipenuhi. Dari persetujuan keluarga dan kesehatannya dipastikan baik.
Setahun kemudian, tepatnya Juli 2019, Hanim bersama dua orang lainnya, salah satunya perempuan, dikirim ke Kamboja oleh seorang calo. Di negara bagian Angkor Wat, dia bertemu Nona Huang yang berhubungan dengan rumah sakit setempat.
Hanim kemudian menjalani pemeriksaan medis dengan temannya tersebut, yang kemudian dia dan seorang wanita lolos sementara temannya gagal.
Setelah operasi pengangkatan ginjal selesai, Hanim menghabiskan sekitar 10 hari untuk pemulihan di rumah sakit. Dia kemudian dikirim kembali ke Indonesia, di mana dia beristirahat selama sekitar dua bulan. Hanim mengaku hanya menerima Rp.120 juta setelah satu ginjalnya diangkat.
Selain itu, Hanim menerima tawaran untuk menjadi koordinator Grup Penjualan Ginjal. Tugasnya adalah menjaga konsumsi calon donor atau korban dari Indonesia.
Dia kemudian pergi ke Kamboja bersama empat orang yang ingin menjual ginjalnya. Keempatnya kemudian diberikan pemeriksaan kesehatan, namun karena dua di antaranya adalah pasien atau penerima ginjal, maka kedua korban dipulangkan ke Indonesia.
Sebanyak 122 orang menjadi korban dalam kasus ini, dan ginjal korban dijual seharga 200 juta. Ginjal korban diangkat di rumah sakit militer Preah Ket Mealea di ibu kota Kamboja, Phnom Penh. Rumah sakit militer yang dikendalikan oleh pemerintah Kamboja.
Penyidik telah menangkap dan mengidentifikasi sebanyak 12 tersangka dalam kasus TPPO penjualan organ ginjal. Dua di antaranya adalah anggota Korps Bhayangkara berinisial Aipda M, dan oknum petugas imigrasi berinisial AH. Aipda M diduga menerima hingga 612 milyar rupiah dari sindikat tersebut untuk membantu tersangka menghindari pihak berwenang, sementara AH menerima 3.5 juta rupiah untuk setiap orang yang berangkat ke Kamboja.
Sementara itu, Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi mengatakan, dari 12 tersangka tersebut, mereka bertindak sebagai koordinator Indonesia dan Kamboja. Ada juga peran penghubung. Untuk tersangka Polri, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 221(1)-1 KUHP.
Pegawai imigrasi kemudian dikenakan Pasal 8 UU No 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Sedangkan 10 tersangka lainnya dijerat pasal 2(1) dan (2) UU No 21 Tahun 2007 dan/atau Pasal 4 tentang perdagangan manusia.
Fenomena perdagangan ginjal bukanlah hal baru. Di awal tahun 2023, kasus tersebut sudah mulai tercium. Saat itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan telah memutus akses tujuh laman dan lima grup media sosial terkait penjualan organ. Pemblokiran ini dilakukan berdasarkan Pasal 40 (2a) dan (2b) UU 19/2016 tentang ITE. Dasar hukum lainnya adalah Pasal 192 dan Pasal 64(3) UU 36/2009 tentang Kesehatan, yang mengatur tentang tindak pidana penjualan organ tubuh manusia.
Namun ironisnya, lembaga yang seharusnya melindungi masyarakat malah terlibat melancarkan sindikat. Jaringannya juga internasional. Bagaimana nasib rakyat tidak teriris-iris?
Dalam sistem sekuler, apa pun bisa terjadi. Hal-hal ilegal diperbolehkan. Ada juga tempat untuk kejahatan. Fenomena perdagangan ginjal adalah kecacatan logika, terutama dengan dalih bahwa korban bertindak secara sukarela, seolah-olah agen tersebut pantas mendapatkan pujian karena mereka menjadi fasilitator.
Tanpa kemudahan yang diberikan oleh sistem sekuler berdasarkan prinsip ketidakjujuran ini, bagaimana perdagangan organ dapat dilakukan dengan lancar? Narasi perdagangan gelap hingga istilah “sindikat” sebenarnya tidak menghentikan arus jual beli ginjal karena melibatkan jaringan internasional. Ini tentu bukan jaringan yang biasa-biasa saja. Dan, alasan korban/pendonor ginjal adalah tekanan finansial.
Siapa yang mau memikul kebutuhan ekonominya di saat segala sesuatu harus memiliki nilai material nominal dan mereka yang berkuasa lebih suka sibuk memberi makan para oligarki?
Jika menggunakan sudut pandang Islam, keadaannya sangat berbeda, bahkan menyakiti orang lain secara lisan pun dianggap perbuatan yang memalukan, apalagi merugikan tubuh orang lain dan menjual organ tubuhnya.
Padahal, kedzaliman dilarang dalam Islam. Pertumpahan darah yang tidak dibenarkan juga dilarang, apalagi penjualan organ tubuh. Manusia tidak berhak memiliki organ tubuhnya sendiri karena organ tubuh tersebut adalah milik Allah. Dalam Islam, hukum jual beli organ adalah ilegal. Wallahu’alam bisawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.