Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Menuju Demokrasi Subtansi

Politik | Friday, 30 Jun 2023, 10:14 WIB
Ilustrasi aktifis pro demokrasi, sumber : https://geotimes.id

Demokrasi berasal dari bahasa latin demos artinya rakyat dan kratos artinya kekuasaan, jadi demokrasi adalah sistem politik yang bertumpu kepada daulat rakyat bukan daulat pemimpin (Budiardjo, 2011).

Terdapat beberapa nilai demokrasi harus dipatuhi bagi negara yang mengklaim demokrasi sebagai sistem politiknya. Pertama, menjamin kebebasan (liberty). Kedua, adanya persamaan (equality). Ketiga, tegaknya kedaulatan rakyat. Keempat, adanya toleransi (Rauf, 2021).

Menjamin kebebasan artinya setiap orang dapat menyuarakan pendapatnya diruang publik secara bebas dan terbuka, tidak khawatir atau takut menyampaikan pikiran baik lisan atau tulisan. Kemudian aspek persamaan dalam demokrasi dimaknai, bahwa rakyat bukan entitas sama, tetapi memiliki kemampuan serta potensi berbeda-beda. Karena memiliki karakteristik berbeda-beda maka sistem demokrasi harus betul-betul menjamin rakyat mendapatkan perlakuan setara ketika menyalurkan minat, bakat, kemampuan, dan mengembangkan potensinya.

Kedaulatan rakyat maksudnya rakyat selain memiliki kekuasaan menentukan arah kebijakan pemerintah, juga melakukan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. Kehadiran rakyat yang berdaulat akan menjamin proses serta implementasi kebijakan yang tidak merugikan rakyat. Kemudian toleransi memiliki makna sesama warga negara harus saling menghormati, meski memiliki perbedaan dan keragaman, sikap menghormati harus diwujudkan dalam bentuk kolaborasi tanpa terkendala oleh segregasi sosial.

Gelombang Demokrasi Ketiga

Menurut Samuel P Huntington dalam buku Gelombang Demokratisasi Ketiga (1995), bahwa pasca hancurnya sistem komunisme di Eropa Timur diawal 1990-an, menunjukan semakin bertambahnya negara-negara di dunia yang menganut paham demokrasi, mereka berlomba-lomba menjadikan sistem politik yang bertumpu kepada kebebasan serta kesetaraan manusia ini sebagai fondasi utama dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demokrasi suka tidak suka telah menjadi tren global, hampir semua negara kontemporer ramai-ramai mengklaim dan mencitrakan diri memiliki sistem politik yang demokratis, mereka semaksimal mungkin mendekatkan tradisi dan budaya politiknya dengan karakteristik sistem demokrasi, baik sedikit atau banyak, serta berusaha dengan keras menepis tuduhan sebagai negara authoritarian totalitarian. Stigma negara non-demokrasi akhir-akhir dihindari meskipun terkadang dalam praksisnya kehidupan berdemokrasi tidak 100% seutuhnya bisa berjalan secara ideal di suatu negara.

Labelisasi sebagai negara tidak menerapkan demokrasi akan berdampak penguncilan dari pergaulan politik global, tidak akan banyak negara lain menjalian kontak dan kerjasama, mengingat isu demokrasi dan hak asasi manusia merupakan isu sensitif. Maka tidak aneh bila kita menyaksikan aksi unjuk rasa masyarakat disebuah negara, menuntut pemerintahnya menghentikan kerja sama dengan negara-negara tertentu yang dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada warga negaranya.

Indeka Demokrasi Indonesia

The Economist Intelligent Unit (EIU) salah satu lembaga bereputasi internasional pada tahun 2020 mengeluarkan skor indeks demokrasi negara-negara di dunia, metode pengukuran menggunakan kuesioner yamg melibatkan para ahli mengenai persepsi demokrasi di suatu negara.

Terdapat lima indikator yang diukur, yaitu (1) pemilu dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan sipil.

Rilis EIU menyebutkan bahwa skor indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan, tercatat pemilu dan pluralisme mendapatkan skor 7,92 poin. Keberfungsian pemerintah memperoleh angka 7,50 poin. Partisipasi politik mendapatkan skor 6,11 poin, sedangkan budaya politik memperoleh angka 4,38 poin, dan kebebasan sipil mendapatkan 5,59 poin. Diantara lima indikator tersebut hanya keberfungsian pemerintahan angkanya relatif baik dibandingkan periode tahun sebelumnya (Harian Kompas, 5 Februari 2021).

Hasil rilis dari EIU menjelaskan skor Indonesia tertinggal dibanding dua negara tetangga, yaitu Malaysia dan Timor Leste. Malaysia berada di peringkat 39, sedangkan Timor Leste di peringkat 44. Secara keseluruhan skor Indonesia mencapai 6,30 poin dengan menempati urutan 64 dari 167 negara. Hasil skor indeks demokrasi EIU menunjukan praksis demokrasi di Indonesia masih tergolong demokrasi prosedural belum menjadi demokrasi subtansi.

Demokrasi Prosedural VS Demokrasi Subtansi

Demokrasi prosedural memiliki karakteristik sangat khas, memiliki perangkat-perangkat keras demokrasi, diantaranya (1) pasca jatuhnya rezim non demokrasi para aktor lama sudah tergantikan aktor baru, (2) berbagai aturan lama rezim sebelumnya (orde baru) yang membelenggu kebebasan telah dihilangkan diganti berbagai aturan memperkuat sistem demokrasi, (3) munculnya berbagai institusi politik dan lembaga negara yang baru, seperti memperkuat fungsi legislatif, kebebasan mendirikan partai politik, desentralisasi kekuasaan ke daerah-daerah, mendirikan lembaga anti korupsi, dan berbagai lembaga lainnya, (4) juga hadirnya pemilu yang berjalan teratur dan berkala.

Meski memiliki perangkat-perangkat keras, praksis berdemokrasi di Indonesia berbanding terbalik, tidak diikuti kualitas kehidupan politik lebih baik, artinya kehadiran institusi, peraturan, dan lembaga baru tersebut belum bisa diikuti oleh berubahnya cara berpikir, perilaku, tabiat dan kebudayaan seharusnya lebih demokratis. Justru terjadi semakin kuatnya oligarki politik dari pusat sampai daerah, praktek korupsi dan kolusi, menguatnya politik identitas di tengah-tengah masyarakat, maraknya politik uang ketika pemilu, dan ketakutan rakyat menyampaikan pendapatnya di ruang publik.

Demokrasi bersifat prosedural sudah saatnya menjadi demokrasi subtansi, demokrasi yang tidak saja menjalankan prosedur demokrasi secara berkala, tetapi diikuti berubahnya pola pikir dan perilaku elit. Sudah saatnya elit menjadikan aktifitas berpolitik sebagai bentuk pengabdian luhur kepada masyarakat, kerja politik yang dilakukan harus memiliki tujuan utama, yaitu menjadikan masyarakat lebih sejahtera tercukupi kebutuhan ekonominya, juga terpenuhi hak-hak politiknya.

Terdapat beberapa strategi harus dilakukan mewujudkan demokrasi subtansi, diantaranya pembangunan politik Indonesia kedepan tidak terfokus penataan perangkat keras, tetapi menata perangkat lunak (Fatah,2000) seperti membangun watak toleransi, kesiapan berkompetisi, tabiat perilaku, dan cara berpikir atau istilahnya revolusi mental.

Memang membangun perangkat lunak tidak sekejap mata, membutuhkan waktu sangat panjang, serta ditopang kesiapan mental bangsa Indonesia untuk terus belajar meningkatkan kualitas diri dalam berdemokrasi, tidak berpuas berjalannya prosedur demokrasi, tetapi melakukan pendidikan mental membentuk insan demokrasi memiliki pola pikir toleran, progresif, dan terbuka.

Penataan perangkat lunak demokrasi ini dilakukan secara komprehensif semua eleman bangsa baik pemerintah, partai politik, dan masyarakat. Kita harus melakukannya secara serius dan bertanggungjawab, sebab politik seperti kata filsuf Aristoteles merupakan cara masyarakat mencapai kehidupan lebih baik, sudah saatnya kita melihat praksis demokrasi seperti diharapkan para pendiri bangsa di republik ini.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA). Ketua Bidang Hikmah Dan Hubungan Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah Karawang.

Referensi Artikel

1. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Gramedia Pustaka Utama : Jakarta).

2. Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru (Mizan : Bandung).

3. Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga (Gramedia Pustaka Utama : Jakarta).

4. Rauf, Maswadi. Konsep Dan Dasar Demokrasi (Bahan diskusi Kuliah Online Politik Indonesia, Tanggal 5 April 2021).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image