Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nadya Hana Alifia

Zakat Pengurang Pajak Serta Qanun Aceh Tentang Zakat

Agama | Sunday, 25 Jun 2023, 08:32 WIB

Zakat sebagai pengurang pajak penghasilan merupakan harapan ummat Islam se-Indonesia. Hingga kini, zakat penghasilan 2,5% yang dibayar muzakki (wajib zakat) belum dapat mengurangi pajak penghasilan. Sehingga muslim di Indonesia harus membayar ganda (double tax) pajak penghasilan 15% ditambah lagi zakat 2,5%.

Khususnya, di Aceh telah mendapat legalitas zakat sebagai pengurang pajak penghasilan yang tertuang dalam Pasal 192 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Namun sayangnya belum dapat dilaksanakan sejak UUPA disahkan tahun 2006. Alasan yang mengemuka karena UU itu bertentangan dengan UU Pajak Penghasilan.

Dalam hal ini, Baitul Mal Aceh telah berkonsultasi dan koordonasi dengan Pemerintah Aceh, Kanwil Dirjen Pajak Aceh dan Dirjen Pajak di Jakarta. Ujung-ujungnya ketentuan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan di Aceh belum dapat dilaksanakan. Dirjen Pajak memposisikan diri sebagai pelaksana regulasi perpajakan, sementara Pemerintah Aceh terus berupaya melakukan advokasi sampai aspirasi muslimin Aceh ini dapat direalisasikan.

Baitul Mal Aceh mendapat energi baru “perjuangan” pelaksanaan Pasal 192 UUPA dengan adanya dukungan anggota DPD RI H Ghazali Abbas Adan. Mantan “Abang Jakarta” ini secara tegas mendukung upaya yang telah dilakukan Pemerintah Aceh dan Baitul Mal Aceh untuk mempercepat implementasi zakat sebagai pengurang pajak penghasilan.

Dalam suratnya kepada Presiden RI, 2 Nopember 2015, Ghazali Abbas menyatakan dukungan terhadap surat Gubernur Aceh 15 Juni 2015 tentang implementasi zakat sebagai pengurang pajak. “Ini adalah pelaksanaan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah diatur dengan UU,” kata Ghazali.

Ada beberapa fakta yang memang masih menjadi persoalan penting ketika kita ingin mewacanakan Aceh sebagai provinsi zakat, yaitu terkait dengan potensi vs realisasi, qanun dan perangkat hukum lainnya serta manajemen zakat itu sendiri. Pertama, potensi vs realisasi zakat di Aceh. Menurut Kepala Baitul Mal Aceh, Armiadi Musa mengatakan potensi zakat Aceh mencapai Rp 1,4 triliun (Antara, 15/1/2015). Armiadi melanjutkan bahwa dari potensi tersebut yang baru tergarap sekitar Rp 300-an miliar atau 25% dari total potensi yang ada. Artinya masih ada 75% dari potensi tersebut yang belum dioptimalisasi. Disparitas ini adalah sebuah fakta menarik yang tentu membuat kita miris karena ternyata masih banyak dari masyarakat Aceh yang belum memiliki kesadaran atau terketuk hatinya untuk menunaikan zakat sebagai kewajiban dan bukan hanya sebagai ibadah mahdah tersebut.

Kedua, hal yang terkait dengan perangkat hukum berupa Qanun. Kehadiran Qanun Zakat di Aceh adalah sangat mendesak sekaligus menjadi jawaban yang sangat realistis untuk persoalan pertama di atas. Keberadaan Qanun tentang Baitul Mal Aceh No.10 Tahun 2007 belum menjadi regulasi yang tepat dalam mewujudkan Aceh sebagai provinsi zakat.

Saat ini dibutuhkan Qanun yang mengatur tentang zakat secara komprehensif baik yang berkaitan dengan kewajiban, prosedur dan juga pengelolaannya dan Baitul Mal adalah menjadi bagian yang terdapat dalam qanun tersebut, karena pengelolaan zakat sesungguhnya bukan tujuan namun hanya sebagai instrumen. Tujuan utamanya adalah tertunaikannya zakat oleh para muzakki dan tersampaikannya zakat kepada mustahik, dengan kemanfaatan yang paling optimal, demikian menurut Yusuf Wibisono dalam bukunya Mengelola Zakat Indonesia.

Qanun Zakat itu harus mencerminkan kepentingan seluruh stakeholders zakat (utamanya muzakki), jadi bukan hanya kepentingan para shareholders (muzakki, pemerintah dan amil) semata. Berdasarkan hal tersebut, maka idealnya pemerintah Aceh dan DPRA menoreh prestasi pada Ramadhan 1437 Hijriyah lalu, yaitu dengan melahirkan Qanun Zakat yang lebih memiliki dampak positif bagi keberlangsungan Aceh sebagai provinsi syariat.

Persoalan ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah Manajemen Zakat itu sendiri. Sebagaimana pernyataan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry, Dr Nazaruddin AW mengatakan, potensi zakat di Aceh cukup besar, hanya manajemen pengumpulan zakat yang belum maksimal (Serambi, 16/10/2015). Allah Swt berfirman: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) kententraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. at-Taubah: 103).

Beranjak dari pernyataan tersebut dan sebagai bagian dari upaya untuk mendorong agar Aceh menjadi propinsi yang sepatutnya menjadi model dalam pelaksanaan zakat di Nusantara, maka kami mencoba membangun apa yang kemudian disebut sebagai Diamond’s Model Manajemen Zakat sebagaimana gambar di bawah ini:

Dalam Diamond’s Model tersebut, ada empat bagian utama yang menjadi aktor dalam Manajemen Zakat yaitu pemerintah, amil, muzakki, dan mustahik. Keempatnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda, namun memiliki nilai yang sama penting, sehingga zakat akan menjadi energi tak terkalahkan (diamond adalah bahasa Yunani yang artinya tak terkalahkan) dalam membangun perekonomian umat menuju kehidupan yang sejahtera. Kedudukan mustahik pada posisi di bawah dan diapit oleh pemerintah, amil, dan muzakki adalah menunjukkan bahwa intervensi dan fokus utama dari zakat adalah mereka.

Zakat apabila dikelola dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern dengan beberapa fungsi utamanya planning, organizing, leading, dan controlling, maka akan memiliki dampak terhadap perekonomian baik secara mikro maupu makro ekonomi. Kebangkitan kelas menengah (middle class) muslim yang semakin well educated ditambah dengan sutuasi nasional yang semakin demokratis dan religius harus disambut dengan baik dalam menempatkan zakat sebagai kekuatan ekonomi baru dalam pemberdayaan umat, terutama di Aceh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image