Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Puti Zachra Asyifa

Konstitusi Hukum Islam di Aceh

Politik | Friday, 23 Jun 2023, 15:52 WIB

Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Sumber: https://pixabay.com/

Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Provinsi paling Barat di Indonesia. Yang disana terdapat banyak keunikan tersendiri dari negri tersebut. Salah satu keunikan dari Aceh adalah dari sistem hukum yang berlaku dan di pakai dan di anut masyarakat di wilayah tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwasanya di Aceh mereka menganut sistem hukum yang diambil dari Hukum Islam. Aceh diberi keistimewaan dari 34 Provinsi lain yang ada di Indonesia yakni hak konstitusi yang mengambil beberapa penerapan Hukum Islam khususnya dalam perkara peradilan.

Alasan Penerapan Hukum Islam dapat berlaku di Aceh karena ada beberapa faktor. Pertama karena Aceh merupakan awal peradapan Islam di Indonesia. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang mendapatkan hak otonomi khusus pasca reformasi. Pemberian otonomi khusus Aceh ini diberikan dalam bentuk keagamaan, terutama didasari pada kondisi sosial kemasyarakatan yang sudah ada bahkan sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Pada masa itu, kekuatan perjuangan rakyat Aceh berasal dari pedoman hidup masyarakat Aceh yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam syariat Islam di semua segi kehidupannya, sehingga pedoman hidup yang berdasarkan syariat Islam itulah yang dijadikan dasar sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Aceh diberikan otonomi khusus setelah berakhirnya pemberontakan di Provinsi tersebut pada tahun 2005. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh memberikan berbagai wewenang kepada provinsi ini, termasuk wewenang untuk memberlakukan hukum syariat. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh bahkan menjadikan penerapan Hukum Islam sebagai kewajiban pemerintah Aceh.

Hukum Islam di Aceh sangat khusus dan unik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Aceh adalah satu-satunya Provinsi di Indonesia yang menerapkan Hukum Syariah secara resmi. Penerapan Hukum Syariah di Aceh dimulai pada tahun 2001 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini memberikan Aceh kewenangan untuk menerapkan syariat Islam dalam bidang-bidang tertentu.

Beberapa bidang yang diatur oleh Hukum Syariah di Aceh antara lain:

1. Hukum pidana: Hukuman seperti cambuk, rajam (pengebirian), dan hukuman mati dapat diterapkan dalam kasus-kasus tertentu seperti zina, perzinahan, homoseksualitas, dan minuman keras.

2. Perkawinan: Hukum Islam mengatur perkawinan di Aceh. Pernikahan harus dilangsungkan secara Islami dan berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam agama Islam.

3. Waris: Hukum waris mengikuti prinsip-prinsip Islam, di mana perempuan mendapatkan bagian yang lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki dalam pembagian harta warisan.

4. Kehidupan sehari-hari: Ada aturan-aturan yang mengatur aspek-aspek kehidupan sehari-hari, seperti berpakaian sesuai dengan syariat Islam, melaksanakan shalat, dan larangan minuman keras.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Aceh telah melakukan beberapa perubahan pada aturan Hukum Syariahnya, termasuk mengurangi hukuman fisik yang lebih berat dan fokus pada pendidikan dan rehabilitasi. Namun, implementasi dan interpretasi Hukum Syariah masih menjadi topik perdebatan di Aceh dan di Indonesia secara umum.

Hukum syariah di Aceh memiliki dampak positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan. Berikut adalah beberapa dampak positif dan negatif yang dapat diidentifikasi:

Dampak Positif :

1. Penguatan Identitas Agama: Penerapan Hukum Syariah di Aceh dianggap oleh sebagian orang sebagai langkah untuk memperkuat identitas agama Islam di wilayah tersebut. Hal ini dapat memperkuat kesadaran agama dan mempertahankan nilai-nilai agama di masyarakat Aceh.

2. Pencegahan Kriminalitas: Adanya hukuman yang keras dalam Hukum Syariah di Aceh dapat memiliki efek pencegahan terhadap pelanggaran hukum. Ancaman hukuman yang tegas diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan seperti pencurian, perampokan, dan pelanggaran seksual.

3. Pemulihan Moral: Hukum Syariah dapat membantu membangun kesadaran moral di masyarakat. Aturan-aturan tentang berpakaian sopan, melaksanakan ibadah, dan menghindari perilaku yang dianggap dosa dapat berkontribusi pada pemulihan moral dan etika sosial di Aceh.

Dampak Negatif:

1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Penerapan Hukum Syariah di Aceh sering kali dikritik karena pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa hukuman yang diterapkan, seperti rajam dan hukuman fisik lainnya, dianggap melanggar hak asasi manusia yang melindungi martabat, integritas fisik, dan kebebasan individu.

2. Diskriminasi Gender: Hukum syariah di Aceh sering kali dianggap diskriminatif terhadap perempuan. Aturan-aturan mengenai pernikahan, perceraian, dan waris dianggap memberikan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan, seperti pembagian waris yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.

3. Ketidakpastian Hukum: Interpretasi dan implementasi Hukum Syariah di Aceh masih menjadi subjek perdebatan dan kontroversi. Ketidakpastian hukum dapat muncul karena kurangnya konsistensi dan kejelasan dalam penerapan hukum syariah, yang dapat mengakibatkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam sistem peradilan.

Penting untuk dicatat bahwa pandangan terhadap dampak positif dan negatif Hukum Syariah di Aceh dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang dan nilai-nilai individu. Diskusi dan evaluasi terus menerus perlu dilakukan untuk mencapai keseimbangan yang tepat dalam implementasi Hukum Syariah di Aceh.

Berikut adalah beberapa contoh penerapan Hukum Islam di Aceh:

1. Hukuman Cambuk: Hukuman cambuk diterapkan di Aceh sebagai bentuk hukuman bagi pelanggaran tertentu. Misalnya, pelaku zina di Aceh dapat dihukum cambuk di depan publik.

2. Larangan Minuman Keras: Aceh menerapkan larangan total terhadap minuman keras berdasarkan Hukum Syariah. Penjualan, produksi, dan konsumsi minuman keras dilarang di provinsi ini.

3. Pemisahan Tempat Duduk: Di beberapa tempat umum seperti transportasi umum dan kantor pelayanan publik, terdapat pemisahan tempat duduk antara pria dan wanita. Hal ini dilakukan untuk memisahkan antara pria dan wanita yang bukan mahram (hubungan mahram dalam Islam adalah hubungan kekeluargaan yang tidak memerlukan syarat pernikahan).

4. Pelarangan Perjudian: Perjudian dilarang di Aceh berdasarkan Hukum Syariah. Baik perjudian tradisional maupun perjudian online tidak diizinkan di provinsi ini.

5. Pengaturan Pakaian: Ada aturan mengenai berpakaian yang sesuai dengan ketentuan Syariah. Wanita diharapkan untuk menutup aurat dan mengenakan pakaian yang longgar, sedangkan pria diharapkan untuk mengenakan pakaian yang sopan.

6. Pelaksanaan Hukum Pidana Islam: Hukuman pidana seperti rajam (pengebirian) diterapkan dalam kasus-kasus tertentu seperti zina dan perzinahan. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Aceh telah mengurangi penggunaan hukuman fisik yang lebih berat dan lebih fokus pada pendidikan dan rehabilitasi.

Perlu diingat bahwa penerapan Hukum Islam di Aceh dapat berbeda dalam hal interpretasi dan praktiknya. Beberapa peraturan tersebut dapat diterapkan secara lebih ketat, sementara yang lain mungkin memiliki fleksibilitas lebih besar tergantung pada interpretasi dan implementasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga peradilan.

Secara keseluruhan, Pemerintah Indonesia mengakui dan menghormati penerapan hukum syariah di Aceh sebagai bagian dari otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi tersebut. Penerapan hukum Islam di Aceh didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image