Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mugniar

Demi Apa Sengaja Bikin Hoaks?

Pendidikan dan Literasi | 2023-06-22 23:11:08

Demi Apa Sengaja Bikin Hoaks? – Betapa kagetnya saya mendapati tulisan tentang edukasi literasi digital dengan pendekatan KAP (komunikasi antar pribadi) di blog pribadi diplagiasi orang. Saya menemukan artikel yang isinya plek ketiplek sama persis dengan tulisan saya. Hanya ada sedikit perbedaan kecil pada judul saja. Selebihnya, copas blas!

Gambar dibuat menggunakan Canva untuk Retizen

Yang bikin saya gemas, artikel itu di-back date jadi seolah-olah saya yang menulis belakangan. Kegiatan yang saya tulis berlangsung di akhir bulan Mei, si penjiplak menulis tanggal saat kegiatan di akhir Mei itu padahal saya posting di blog pribadi awal bulan Juni ini.

Plagiasi

Sebenarnya malam itu sudah mau tidur tetapi keinginan memejamkan mata ditunda dulu. Saya bertanya di sebuah grup, apakah ada yang mengenal pemilik website berita yang menjiplak tulisan saya. Beberapa teman menanggapi. Salah seorang menyarankan untuk protes.

Dengan lugunya saya bertanya: bagaimana caranya? Otak rasanya buntu padahal jawabannya simple saja. Sang teman menyarankan untuk mencari media sosial media tersebut dan melakukan protes karena penjiplak harus diberi pelajaran.

Beberapa kawan menyampaikan simpati dan empati mereka. Salah seorang memberikan jawaban terkait pemilik website. Ada yang mencarikan nomor WhatsApp si pemilik website. “Jelaskan baik-baik,” pinta kawan tersebut. Saya mengiyakan.

Beruntungnya saya beraktivitas di dunia digital dan memiliki banyak teman yang juga beraktivitas di dunia digital. Ada yang memiliki latar belakang yang sama, sebagai personal blogger namun ada yang bergerak di bidang lain. Zaman now, informasi mudah didapatkan. Selain karena adanya internet, adanya network juga sangat membantu.

Keesokan harinya saya berbicara dengan pemilik website alias pemilik bisnis media online. Saya juga mengirimkan pesan pribadi kepada pemimpin redaksi website berita yang terlihat besar tersebut. Pemilik bisnis menjelaskan hal yang saya sudah ketahui, mengenai kebolehan mengambil sumber asalkan mencantumkan sumbernya. Saya sampaikan padanya bahwa anak buahnya tak mencantumkan sumber sama sekali.

Kalaupun mencantumkan sumber tetap saja harus diparafrase. Menjiplak mentah-mentah sungguh tak etis sekaligus konyol. Menjadi konyol karena gaya bahasa saya sangat personal, dijiplak di website berita. Mana cocok? Seharusnya kan website berita seperti itu penulisannya ala hard news, tidak menggunakan POV orang pertama tunggal yang menggunakan kata ganti “saya” sebagaimana di blog saya.

Demi Uang!

Setelah berbincang dengan pemilik bisnis, saya menyadari mengenai kepentingan bisnis di balik media. Bisa dibilang, website itu merupakan penghasil uang. Sepertinya tidak ada clue di benak si pemilik bisnis bahwa ada orang-orang yang seperti saya, menulis tidak semata-mata karena uang.

Bisa disimpulkan, sang jurnalis (apakah layak disebut jurnalis?) mengambil jalan pintas dengan menjiplak mentah-mentah tulisan saya. Tidak terpikirkan olehnya, aksinya ketahuan pun tak ada kesadaran soal value yang seharusnya diusung oleh seorang jurnalis. Menyedihkan ya?

Ketua Uji Kompetensi Wartawan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kamsu Hasan pada November 2018 pernah mengatakan bahwa pelagiat adalah salah satu pelanggaran berat Kode Etik Jurnalistik (KEJ)[1].

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Ahmad Munir pada Desember 2017 menjelaskan bahwa pelaku plagiat melanggar Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan: “Wartawan Indonesia menumpuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Cara profesional itu antara lain: “tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri”[2].

Jadi, jelas ya bahwa plagiasi itu merupakan bentuk pelanggaran.

Pada sebuah survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Data Center dan Kominfo menyebutkan bahwa setelah media sosial, media online dianggap sebagai media yang menyajikan isu hoaks atau informasi bohong.

Bagi saya, plagiasi yang dilakukan media online itu berupa kebohongan atau hoaks karena seolah-olah menulis sendiri tulisan yang sebenarnya berasal dari blog pribadi saya. Konten tiruan termasuk dalam 7 tipe hoaks yang dibuat oleh ICT Watch (bisa diakses melalui Belajar Literasi Digital via WhatsApp Chatbot melalui nomor WA 081110599977).

Konten tiruan terjadi ketika sumber asli ditiru, sebagaimana yang saya alami. Dalam hal ini tujuannya untuk mendapatkan keuntungan berupa uang, dengan cara mengklaimnya sebagai publikasi kepada pihak yang ditulis.

Begitulah ya, di dunia nyata ada penipu yang mencari keuntungan dengan cara salah. Tidak berbeda pula di dunia maya. Orang-orang cerdas tetapi tidak memiliki hati nurani, menggunakan segala cara untuk meraup keuntungan.

Emosi? Serang!

Beruntung konten saya tidak berisi hal-hal yang menyesatkan sebagaimana hoaks lain yang beredar. Ada konten yang dimanipulasi dan menyesatkan sehingga yang melihatnya percaya, lalu mengikuti kemauan penipu.

Dengan pandainya, konten itu disusun agar dapat mengaduk-aduk emosi yang membaca, menonton, atau mendengarnya. Hoaks memang menyerang sisi emosional orang. Dalam pelatihan ToT Literasi Digital dengan Pendekatan KAP yang saya ikuti awal Mei lalu, dijelaskan cara mengatasi hoaks, pertama kali adalah dengan berdiam diri sejenak (pause) lalu menamai perasaan.

Mengapa harus berdiam sejenak dan menamai perasaan? Karena ketika emosi mengemuka, bagian otak yang aktif adalah otak mamalia kita. Jika bagian otak ini aktif, manusia tak bisa berpikir jernih maka harus diupayakan untuk mengaktifkan bagian otak yang namanya neo cortex.

Untuk mengaktifkan bagian otak ini dibutuhkan perantaraan bahasa, maka untuk itulah kita perlu menamai perasaan. Dengan demikian, saat menyadari situasi, otak bisa berpikir jernih untuk kemudian mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan situasi yang tidak mengenakkan.

Risiko Hoaks

Sungguh tidak enak menjadi korban hoaks. Risikonya bukan hanya emosi yang terpicu dan membuat rasa tidak nyaman. Risikonya bisa berupa hal-hal berikut ini:

  • Menghabiskan waktu dan tertipu uang hingga habis tabungan.
  • Terpancing stigma, hasutan, permusuhan dan perselisihan.
  • Ikut-ikutan kegiatan yang dapat akibatkan kericuhan / kerusuhan.
  • Kehilangan kepercayaan pada otoritas / aparat setempat.
  • Tidak percaya COVID-19 dan takut atau tidak mau divaksinasi.
  • Terlibat pada aksi intimidasi, radikalisme hingga terorisme.

Agar terhindar dari hoaks, pergunakan semaksimal mungkin konten dalam linktree ini: s.id/cekhoaks. Silakan sebarkan kepada karib dan kerabat kita agar mudah mengantisipasi hoaks. Demi apa sengaja bikin hoaks kalau itu merugikan orang lain dan membuat hidup tidak tenang. Kita perlu banyak-banyak mengingat kematian yang merupakan kepastian agar tak gegabah dalam menyebarkan informasi.

[1] https://kalsel.antaranews.com/berita/74604/pwi-plagiat-pelanggaran-berat-kode-etik-jurnalistik

[2] https://duta.co/lakukan-plagiat-berita-wartawan-langgar-kode-etik-jurnalistik

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image