BBM Bioetanol untuk Siapa?
Teknologi | 2023-06-18 16:51:15BBM Bioetanol untuk Siapa?
Oleh: Dhevy Hakim
Pertamina akan meluncurkan BBM jenis baru yakni Bioetanol. Rancananya jenis BBM baru ini akan segera launching di bulan ini. Hal ini berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pada Media Briefing Capaian Kinerja 2022 bahwa pada Juni 2023 produk BBM bioetanol akan diluncurkan. (06/06/2023)
Terobosan produk baru ini dianggap menjadi solusi baru untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM dan juga menurunkan polutan kendaraan, mengingat BBM bioetanol berasal dari campuran antara Pertamax dengan etanol. Bahkan dianggap sebagai sarana yang bisa menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.
Menyambut terobosan dari Pertamina ini, kementerian ESDM rupanya langsung sat-set melakukan konsolidasi dengan beberapa produsen etanol yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo). Konsolidasi ini dilakukan dengan maksud untuk menjamin kepastian produksi BBM bioetanol tidak mengganggu suplai tetes tebu untuk industri pangan, khususnya gula. (Katadata.co.id, 09/06/2023)
Klaim BBM bioetanol yang menjadi solusi kekinian sehingga mampu mengurangi ketergantungan impor BBM, menurunkan polutan kendaraan bahkan membuka lapangan pekerjaan baru bisa jadi benar. Namun, bila melihat BBM bioetanol sendiri berbahan campuran etanol dengan Pertamax, sedangkan harga Pertamax sendiri harganya sudah mahal, lantas proyek ini sejatinya untuk siapa?
Belajar dari Proyek Biji Jarak
Proyek pengembangan bahan bakar nabati sejatinya pernah dilakukan negeri ini. Di tahun 2007, Indonesia pernah mengembangkan bioetanol dengan sumber biji jarak. Proyek tersendat. Proyek pun mangkrak. Saat itu proyek bahan bakar nabati (BBN) ini mangkrak karena harga minyak mentah dunia turun dari semula US$100/barel menjadi US$35/barel sehingga BBN menjadi tidak ekonomis lagi.
Di sisi lain mangkraknya proyek juga dikarenakan kurang berpihaknya pemerintah kepada petani. Direktur Creates for Information and Development Studies M. Rudi Wahyono (06/02/2023), juga mencontohkan tentang pengembangan minyak jarak pagar (Jatropha curcas L).
“Selama ini, petani dijanjikan angin surga, tetapi tak digarap cara menanam dan mendistribusikan,” ujarnya. Minyak jarak di tingkat petani dihargai amat rendah, yakni hanya Rp500 per kilogram. Hal itu membuat warga enggan memelihara tanaman jarak dan menggantinya dengan tanaman lain.
Khawatirnya pada proyek BBM bioetanol nantinya mengalami hal yang serupa. Petani lebih memilih untuk dijual sebagai bahan baku produksi gula. Pasalnya bioetanol saat ini masih terkonsentrasi dari bahan baku tetes tebu atau molasses yang merupakan produk sampingan dari produksi gula.
Di sisi lain proyek ini terkesan dipaksakan. Sebab, pertamina sendiri bahkan sempat menyatakan tidak bisa membeli bioetanol karena harganya di atas harga standar (Mean of Platts Singapore/MOPS). Andianto Hidayat mewakili PT Pertamina memaparkan, harga etanol sekitarRp 12.000 per liter dan harga bensin Rp9.000 per liter. Tersebab ada syarat bauran 2% bioetanol, ada margin harga Rp200—Rp 300 per liter. Lantas, siapa yang mau menanggung adanya gap harga tersebut?
Semestinya pemerintah belajar dari pengalaman pengembangan proyek bahan bakar nabati dari biji jarak ini. Alih-alih menjadi solusi justru membuat beban negara semakin banyak.
Solusi Tidak Solutif
Belajar dari proyek BBM nabati sebelumnya yang mengalami kegagalan. Serta melihat harga Pertamax sebagai bahan campuran BBM bioetanol tentu dapat dipastikan harganya akan lebih mahal atau paling tidak mendekati harga Pertamax tentu proyek BBM bioetanol ini bukanlah solusi yang tepat.
Ada beberapa alasan kenapa proyek BBM bioetanol belum solutif. Setidaknya ada beberapa alasan berikut ini.
Pertama kalkulasi harga BBM yang mahal tidak terjangkau oleh rakyat. Selama ini saja hampir di semua pom bensin yang ngantri bahkan antriannya mengular adalah bagian BBM bersubsidi alias pertalite. Sedangkan yang Pertamax sangat sepi, hanya kaum elite saja atau orang yang terburu waktu saja yang mengantri.
Kedua membawa dampak yang signifikan pada sektor lainnya. Jelas sekali BBM sebagai bahan bakar yang digunakan dalam akomodasi darat jelas akan berpengaruh pada sektor ekonomi. Walhasil, kondisi rakyat sudah susah semakin dibuat susah dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketiga membawa dampak di sektor pangan khususnya produksi tebu. Padahal untuk memenuhi kebutuhan gula beberapa waktu lalu juga keluar kebijakan impor gula. Lantas jika bahan dasarnya digunakan untuk BBM biotanol bagaimana dengan ketersediaan gula sendiri?
Jika alasannya adalah untuk mengurangi polutan kendaraan kenapa tidak diperhitungkan secara matang misalnya dengan memanfaatkan produk EBT yakni dengan menggunakan teknologi nuklir. Atau dari sisi polutannya sendiri kenapa malah pemerintah membiarkan hutan dibuka untuk lahan kelapa sawit dan pertambangan? Bukankah hutan adalah paru-paru dunia. Sedangkan setiap penggunaan teknologi pastilah ada dampaknya.
Kesan terburu-burunya proyek BBM bioetanol ini seolah hanya untuk kepentingan pemasok Pertamax. Padahal jelas beli Pertamax saja rakyat tidak mampu. Khawatirnya proyek ini sebagai batu lonjat supaya pemasok Pertamax tidak rugi. Atau mungkin saja sebagai kompensasi akan dihapusnya pertalite. Jika demikian, jelaslah arah proyek BBM bioetanol ini hanyalah untuk kepentingan para kapitalis.
Butuh Perubahan Sistem
Persoalan carut marutnya masalah energi memang tidak lepas dari kebijakan politik yang mendasari. Kegagalan BBM nabati bahkan sampai saat ini perubahan jenis BBM dari bensin menjadi pertalite dan Pertamax tidak lain atas tekanan pemilik modal yang menguasai secara global.
Itulah kaum kapitalis. Kapitalisme dengan pemikiran sekulerisme telah memisahkan agama dari kehidupan. Setiap hal tidak dipandang apakah nantinya menyengsarakan rakyat, merusak lingkungan, apalagi soal halal haram. Yang ada hanyalah pemikiran untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pemikiran inilah yang tanpa disadari sejatinya telah merusak tatanan dunia saat ini bahkan menyengsarakan manusia. Jurang kemiskinan menganga semakin lebar, yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin.
Pandangan ini tentu berbeda saat syariat Islam diterapkan. Sistem Islam akan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan aturan dari Sang Pencipta bukan dari hawa nafsunya. Oleh karenanya islam mewajibkan negara untuk membuat kebijakan yang memudahkan hidup rakyatnya.
Dalam pandangan Islam kepala negara adalah sebagai Ra’in. Demikian pula kebijakan negara akan menjalani perencanaan matang yang melibatkan para ahli, sehingga benar-benar membawa manfaat untuk rakyat dan aman untuk lingkungan.
Dalam pembahasan mengenai energi khususnya mengenai BBM, tentu negara akan mengeluarkan kebijakan yang tidak buru-buru. Para ahli akan dilibatkan sehingga benar-benar membawa manfaat untuk rakyat dan aman untuk lingkungan.
Di sisi lain Islam memandang terkait energi yang jumlahnya melimpah adalah kepemilikan umum. Allah telah memberikan setiap kepemilikan umum menjadi hak milik secara umum, negara dalam kapasitas yang berkewajiban mengelolanya. Haram negara menjual setiap kepemilikan umum kepada seseorang atau pihak swasta.
Dengan tata kelola yang khas inilah persoalan BBM secara tuntas terselesaikan. Wallahu a’lam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.