Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shaddam Muharram

Konsep Pernikahan dalam Perspektif Fikih Munakahat dan Hukum Konvensional

Agama | Friday, 09 Jun 2023, 08:25 WIB
Potret foto pernikahan saudara kandung penulis

Pernikahan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW sekaligus ibadah terlama, sebab dalam praktiknya mempelai laki-laki dan perempuan melakukan perjanjian akad yang disebut sebagai ijab qobul. Dalam hal ini, perjanjian akad dalam ijab qobul menyebabkan mempelai laki-laki dan perempuan menjadi halal. Dengan halalnya antara kedua belah pihak tersebut, menjadikan nilai ibadah sepanjang hidupnya. Oleh karenanya, seseorang yang memiliki niat untuk menikah, merupakan hal yang sangat baik. Sebab, sebelum seseorang menikah alangkah baiknya mengetahui konsep pernikahan dalam Islam, baik rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, serta memperhatikan kewajiban dan hak-hak suami maupun isteri.

Pernikahan dalam Perspektif Fikih Munakahat
Dalam literatur fikih, nikah memiliki dua kata, yaitu nakaha dan zawwaja. Dimana kedua kata tersebut sering dipakai oleh masyarakat Arab serta dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Apabila ditinjau dari segi bahasa, nikah memiliki makna bergabung, hubungan kelamin, dan akad. Dalam makna hubungan kelamin dan akad, merujuk pada dua surat dalam al-Qur’an, yakni Surat al-Baqarah ayat 230 dan Surat an-Nisa ayat 22. Kata nikah yang bermakna hubungan kelamin, bersumber pada Surat al-Baqarah ayat 230, sedangkan kata nikah yang bermakna akad, merujuk pada Surat an-Nisa ayat 22. Dalam arti lain, nikah memiliki makna secara bahasa yaitu berkumpul, menindas.

Pernikahan dalam Perspektif Ulama Fikih

Dalam memaknai pernikahan, para fuqaha masing-masing memiliki pendapatnya terkait hal tersebut. Berikut beberapa pengertian pernikahan menurut jumhur ulama, yaitu :

  • Ulama Syafi’iyah, mengemukakan pendapatnya terkait defnisi pernikahan yaitu, sebuah akad yang menjadikan perjanjian anatara kedua belah pihak dengan tujuan menghalalkan hubungan kelamin melalui ucapan atau lafazh na-ka-ha maupun za-wa-ja.
  • Ulama Hanabilah, mengasumsikan terakait pengertian pernikahan yaitu, melakukan perjanjian atau akad melalui lafazh nikah atau tazwij dengan tujuan mendapatkan manfaat kenikmatan pada mempelai perempuan (isteri).
  • Ulama Hanafiyah, berpendapat terkait definisi pernikahan, yaitu suatu akad yang dilakukan dan telah ditetapkan oleh syara’ dalam memberikan hak-haknya terhadap suami sekaligus menajadikan kepemilikan hubungan seks pada isteri dengan sengaja.
  • Ulama Malikiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang bertujuan mengahalalkan kepemilikan dan kemanfaatan akan kelamin pada tubuh isteri.

Dalam hal ini, ulama kontemporer pun mendefinisikan pernikahan secara detail, yaitu akad yang menimbulkan kehalalan antara laki-laki dan wanita melalui tuntunan naluri manusia pada kehidupan sekaligus timbulnya hak dan kewajiban diantara keduanya. Dalam pandangan Islam sendiri, pernikahan diartikan sebagai sebuah akad dalam hidup bersama antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan mendapatkan ketenangan hidup, keturunan, dan kasih sayang.

Pernikahan dalam Perspektif Hukum Konvensional

Dalam literatur hukum konvensional, pengertian pernikahan terdapat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu perjanjian dan ikatan lahir batin antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) sebagi suami isteri demi memiliki rumah tangga yang harmonis, abadi, dan mendatangkan ketenangan hidup sesuai ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian terdapat pula dalam Kompilasi Huku Islam (KHI), pernikahan adalah perjanjian dan akad yang kuat antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah dan bernilai ibadah dalam pelaksanaannya.

Dalam hukum konvensional, ruang lingkup pernikahan terdapat 5 hal penting didalamnya, yaitu :

  1. Ikatan lahir dan batin (akad). Dimana akad dalam pernikahan tidak sebatas perjanjian layaknya perjanjian biasa yang mengikat secara lahiriah. Akan tetapi, akad disini menjadikan kedua belah pihak saling memiliki kewajiban masing-masing sekaligus mendapatkan haknya satu sama lain. Oleh karenanya, akad ini bersifat perjanjian mutlak untuk kedua belah pihak yang harus ditaati selama berumah tangga.
  2. Antara laki-laki dan perempuan. Hal ini jelas disebutkan bahwa, pernikahan hanya boleh dilakukan oleh lawan jenis. Sebab, pernikahan yang dilakukan oleh sesama jenis atau homoseksual dihukumi haram dalam agama-agama, bahkan konstitusi pun menguatkan hal tersebut.
  3. Seorang pria dan perempuan. Dalam hal ini, hukum konvensional tetap mengutamakan sistem monogami, walaupun asas poligami dianut secara terbuka. Akan tetapi, monogami itu tidak bersifat mutlak seagaimana yang telah dipakai dalam Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPer). Asas monogami yang terdapat pada Undang-undang perkawinan sudah jelas, bahwa dalam praktik poligami tidak mudah dalam prosedurnya terutama untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).
  4. Membentuk rumah tangga yang harmonis dan abadi. Dalam hal ini, mempelai laki-laki dan perempuan yang ingin menikah agar memiliki hubungan dan rumah tangga yang harmonis. Kata harmonis dapat dimaknai sebagai memperat hubungan kedua belah pihak dan mencapai kebahagiaan, sebab kedua mempelai pada hakekatnya memiliki dambaan hati satu sama lain. Melalui pernikahan tersebut diharapkan akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi dalam kehidupan. Kemudian kata abadi, dimaknai pernikahan diharapkan membentuk rumah tangga yang kekal, bahkan dalam Undang-undang perkawinan pun tersirat adanya pernikahan kontrak.
  5. Sesuai ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia sangat mengakui akan keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap warga negaranya. Dalam pasal 2 ayat 1 telah dijelaskan, bahwa pernikahan dihukumi sah apabila dilaksnakan dan dijalankan berdasarkan kepercayaan agama masing-masing.

Dapat disimpulan dari beberapa definisi diatas, baik dalam literatur fikih, pandangan para fuqoha, dan hukum konvensional, bahwa pernikahan merupakan sebuah ikatan perjanjian antara seorang laki-laki dan perempuan yang menjadikan halal antara keduanya dengan tujuan memiliki kedupan yang harmonis dan bahagia. Pernikahan pada hakekatnya bukan hal yang mudah dalam prosedurnya. Dalam hal ini, dimaksudkan pernikahan merupakan sebuah hal yang penting dan nantinya akan menimbulkan tanggung jawab pada kedua belah pihak. Oleh sebab itu, alangkah baiknya seseorang memikirkan terlebih dahulu secara sempurna akan pernikahan demi menempuh hidup baru. Hal tersebut bertujuan agar mendapatkan rumah tangga dan kehidupan yang diharapkan.

Sumber :
Wafa, Moh Ali. (2018). Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Asy-Syari'ah Modern Indonesia
Hartini. (2005). Konsep Pernikahan dalam Islam. Diakses pada 5 Juni 2023, dari https://kumparan.com/har-tini-1619586764917773859/1zWJHzyI15W?utm_source=App&utm_medium=wa&shareID=sxVLJAnUkf91

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image