Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Angel Yohana Manalu

Pelecehan Seksual Secara Verbal di Indonesia

Eduaksi | Sunday, 04 Jun 2023, 01:39 WIB

https://lenterauniska.id/wp-content/uploads/2023/04/IMG-20230320-WA0115-768x468.jpg

Pada perkembangan zaman dan teknologi yang semakin maju mempermudah untuk mendapatkan berbagai informasi. Dimulai dari mudahnya menggunakan teknologi dan informasi tersebut dapat muncul berbagai dampak negatif yaitu besar peluang terjadinya kejahatan siber yang membahayakan hingga melakukan pelecehan seksual.

Pelecehan seksual secara verbal dilakukan dengan melontarkan ucapan yang sengaja dengan tujuan untuk melecehkan perempuan. Isi pesan verbal yang dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling kepada korbannya seperti dalam bentuk nada antara lain kecupan, suara cium dari jauh, dan siulan. Akan tetapi pelecehan seksual secara verbal di Indonesia sering dianggap wajar-wajar saja, padahal pelecehan seksual secara verbal termasuk dalam kategori kekerasam seksual dan tidak bisa diremehkan.

Didapati beberapa contoh dari pelecehan seksual verbal yakni yang pertama adalah bersiul dengan nada menggoda dan yang kedua adalah melontarkan pujian yang bersifat seksual dan menggoda. Pelecehan ini biasanya dilakukan dari jarak dekat, ketika korban dan pelaku berada di tempat yang sepi tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa bisa juga terjadi di keramaian, dalam hal ini biasanya disebut juga dengan catcalling.

Catcalling sendiri mempunyai arti sebagai sebuah fenomena yang berkaitan dengan orang dewasa bahkan remaja dari kita banyak mengartikan fenomena tersebut sebagai hal wajar yang bahkan menjadikan bahan candaan bagi sebagian orang. Sementara itu, jika fenomena tersebut berlangsung secara terus menerus akan mengakibatkan berkurangnya rasa aman dan nyaman di ruang publik dan menurunnya tingkat percaya diri pada setiap individu.

Dari sekian banyak peristiwa yang sudah terjadi, ternyata masih banyak yang menyepelekan pelecehan seksual secara verbal yang sebenarnya berakibat fatal dan tidak bisa dibiarakan begitu saja. Jenis pelecehan seksual ini sangat merugikan terutama pada kesehatan mental korban dalam jangka pendek dan juga panjang.

Berdasarkan jurnal yang berjudul Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta, memunjukkan bahwa hasil survei pelecehan seksual di ruang publik dengan persentase 64 persen dari 38.776 perempuan, 11 persen dari 24.403 laki-laki, dan 69 persen dari 45 gender lainnya pernah menjadi korban pelecehan di ruang publik.

Dari hasil riset yang ada menyatakan bahwa kebanyakan korban mengalami pelecehan seksual secara verbal yaitu sebanyak 60 persen komentar fisik melalui sentuhan sebanyak 24 persen dan secara visual sebanyak 15 persen. Hasil survei tersebut masih banyak masyarakat yang belum memahami mengenai isi pelecehan seksual secara verbal.

Hal tersebut dikarenakan tertanamnya pemikiran stereotip gender yang terbentuk oleh patriarki menjadikan timbulnya makna ganda yakni catcalling sebagai candaan dan catcalling sebagai pelecehan seksual.

Kenyataannya hal tersebut berdampak langsung pada korban yang menimbulkan rasa takut dan terancam. Penegakan hukum di Indonesia terkait perbuatan asusial catcalling cenderung masih rendah hal ini dikarenakan ada beberapa faktor hukum yang tidak langsung mengatur terkait catcalling, faktor aparat hukum yang masih berbeda pemahaman terkait pelecehan seksual secara verbal, faktor masyarakat yang masih jarang mendengar istilah catcalling oleh karena itu, jika terjadi adanya pelecehan seksual secara verbal si korban cenderung tidak berani untuk melaporkannya. Perlindungan hukum untuk para korban pelecehan seksual secara verbal catcalling bisa didapatkan melalui hak-hak yang terdapat dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image