Indonesia 2023 Masih Jaman Patriarki?
Lainnnya | 2023-05-30 20:52:16Jawabannya, Jaman Banget! Budaya patriarki di tengah masyarakat Indonesia masih belum hilang, bahkan sepertinya akan langgeng. Jika ditilik lebih dalam, budaya patriarki di Indonesia dapat dijumpai dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, politik, maupun hukum. Patriarki sendiri berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sementara itu, menurut KBBI, patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Hal inilah yang menyebabkan perempuan terletak pada posisi inferior. Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan inilah yang menjadi penyebab masyarakat tidak memiliki akses yang sama.
Di Indonesia sendiri, budaya patriarki tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada negara maju, seperti Amerika. Walaupun Indonesia pernah memiliki pemimpin perempuan, hal itu lebih disebabkan karena faktor kedekatan atau ikatan kekeluargaan dengan pemimpin sebelumnya, seperti Megawati (Presiden Indonesia Ke-Lima) yang merupakan anak dari Soekarno (Presiden Indonesia Pertama). Lantas? Bagaimana dengan perempuan-perempuan yang ingin menjadi pemimpin tapi tidak memiliki ikatan keluarga dengan pemimpin sebelumnya? Atau bagaimana jika dalam suatu instansi tidak pernah memiliki pemimpin perempuan? Tentu hal ini akan sangat menyusahkan bagi kaum perempuan untuk mematahkan tradisi tersebut. Para perempuan ini harus lebih ekstra dalam meyakinkan khalayak umum untuk mendukung dan percaya bahwa mereka bisa memimpin. Selain itu, menurut Sakina dan Siti (2017; dalam Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia), ada beberapa masalah sosial yang disebabkan oleh belenggu budaya patriarki, seperti :
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Sepanjang tahun 2016, Komnas Perempuan mendokumentasikan sebanyak 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan. Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak luput dari ajegnya budaya patriarki sebagai pola pikir. Budaya patriarki inilah yang memberikan pengaruh bahwa laki-laki lebih kuat daripada perempuan sehingga istri memiliki keterbatasan dalam menentukan pilihan mereka sendiri dan cenderung menuruti keinginan suami, bahkan keinginan yang buruk sekalipun. Mirisnya, terdapat realitas sosial yang kerap terjadi di masyarakat bahwa kekerasan “boleh saja” dilakukan apabila istri tidak menuruti keinginan suami. Saat ini, tidak semua kasus KDRT telah terungkap karena sebagian besar korban tidak berani membuka suara ke pihak berwajib atau disebabkan karena sebagain besar dari mereka adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan sehingga apabila ia melaporkan suaminya, maka ia takut anak-anaknya akan terlantar. Mirisnya lagi, posisi perempuan dalam kasus KDRT sangat tidak menguntungkan karena seringkali justru perempuan korban kekerasanlah yang ikut disalahkan atas kekerasan yang dilakukan suaminya.
2. Kasus Pelecehan Seksual
Pada tahun 2016, Komnas Perempuan menemukan sebanyak 16.217 kasus pelecehan seksual. Tingginya angka pelecehan seksual di Indonesia ini dapat terjadi karena budaya patriarki memposisikan laki-laki sebagai pihak yang gagah dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Masyarakat seperti membiarkan jika ada laki-laki bersiul dan menggoda kaum perempuan yang melintas di jalan, tindakan mereka seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan wajar. Terdapat pula yang disebut dengan victimblaming, atau suatu kondisi dimana pihak korban yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan justru menjadi pihak yang disalahkan, entah itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku.
3. Angka Pernikahan Dini
Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. Terdapat pengaruh dari budaya patriarki dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat mengenai pernikahan dini, seperti perempuan adalah penerima nafkah dan hanya berkecimpung di sektor domestik. Implikasinya adalah kebebasan mereka benar-benar dibatasi dengan status seorang istri, seperti misalnya mereka tidak diberi kesempatan untuk meneruskan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi atau mengembangkan bakat serta kemampuan yang mereka miliki. Sebagian besar dari mereka berstatus sebagai ibu rumah tangga dan cenderung tidak produktif sama sekali. Pekerjaan mereka hanya berkutat di mencuci, memasak, menyapu, dan membersihkan rumah.
4. Stigma Mengenai Perceraian
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis bahwa angka perceraian di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik dengan jumlah terlapor sebanyak 212.400 kasus perceraian dan 75% pihak penggugat datang dari pihak perempuan. Budaya patriarki memberi kesan negatif kepada janda daripada duda. Kaum janda seringkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, tidak berdaya dan membutuhkan belas kasih, sehingga dalam kondisi sosial budaya seringkali terjadi ketidakadilan dan diskriminasi, termasuk pada stigma. Perempuan menjadi objek yang disalahkan atas terjadinya sebuah perceraian. Beberapa persepsi muncul pada kasus perceraian, bahwa kesalahan terdapat pada perempuan yang tidak mau bersabar sedikit demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Padahal persoalan perceraian tidak lepas dari kedua belah pihak.
Referensi
Sakina Ade I. dan A. Siti Hasanah. 2017. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Social Work Jurnal, 7(1), 1-129. Bandung : UNPAD.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.