Konsepsi Pemikiran Islam tentang Relasi Islam dan Negara
Agama | 2023-05-30 15:37:02Islam hanya memberikan prinsip-prinsip kehidupan politik yang harus diikuti oleh umatnya. Pengalaman Nabi Muhammad di Madinah,menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, al-Qur‘an menggariskan prinsip-prinsip itu secara tegas. Dalam hal ini, paling tidak ada sejumlah prinsip etis yang telah digariskan, seperti prinsip keadilan (al-adl); prinsip kesamaan (al-musawah); dan prinsip musyawarah atau negoisasi (syura). Meskipun prinsip-prisip yang dikemukakan secara tegas ini jumlahnya sedikit, akan tetapi ajaran-ajaran itu dinyatakan secara berulang-ulang oleh al-Qur‘an.Kadangkala, subtansi doktrin itu dinyatakan dalam terminologi lain, baik yang sifatnya komplementer atau berlawanan (apposites), seperti larangan untuk berbuat zalim–lawan dari keharusan untuk berbuat.
Sejauh ajaran atau prinsip Islam tentang masalah sosial kemasyarakatan dikemukakan secara subtansialistik, maka signifikansi Islam dan demokrasi akan nampak jelas. Pengalaman negara‘‘Madinah merupakan contoh klasik akan hal ini yang hanya gagal karena lemahnya infrastruktur (dan karenanya lebih merupakan persoalan political crafting) yang tersedia bagi para pendukungnya.
Islam dan kekuasaan secara fungsional memiliki hubungan yang bersifat simbiotik, meskipun secara diametral hakikat keduanya berbeda. Agama mendorong terbentuknya kekuasaan yang bermoral, begitu juga sebaliknya moralitas kekuasaan juga ikut memperkokoh jiwa keagamaan. Memisahkan agama dari wawasan kekuasaan dalam pandangan Islam tidak memiliki landasan yang solid dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Kenyataan ini dapat dilacak dengan melihat dua kecenderungan utama Islam, yakni;
[1] Partisipasi politik yang amat luas di kalangan penduduk muslim.
[2] Secara teologis, agama (Islam) dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia.
Hubungan Antara Agama dan Negara Masalah hubungan agama dengan negara telah muncul kepermukaan dalam serangkaian polemik dan perdebatan pada dasawarsa-dasawarsapertama abad ini. Perdebatan ini tampaknya diawali dengan terjadinya revolusi kaum muda Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasya tahun 20-an. Yang berpuncak dengan dihapuskannya khilafat di Turki, dilepaskannyaIslam sebagai agama resmi negara, dan dihapuskannya syariah sebagai sumber hukum tertinggi dalam negara. Turki lahir sebagai sebuah republik sekuler yang dengan tegas memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan (Berkes, 1964: 23).Tahun yang hampir bersamaan dengan revolusi di Turki itu, seorang hakim Mahkamah Syariah di Mesir, Syeikh Ali Abd al-Raziq menulis bukudengan judul, al-Islam wa Usul al-hukmi (Muhammad, 1985: 54) (Islam dan Asas-asas Pemerintahan) yang tidak saja menimbulkan kegaduhan dikalangan ulama-ulama al-Azhar, tetapi gaung perdebatannya terdengar puladi Indonesia (M Sewang dan Samsudduha, 2011: 62). Kesimpulan akhir dari kajian Abd. Al-Raziq dalam bukunya itu, tertera dalam bab terkahir dengan menjelaskan sebagai berikut:
Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa agama Islam tidak mengenal lembaga kekhilafaan (kenegaraan) seperti yang selama ini dikenal oleh kaum muslimin.
Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistik. Hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Contohnya :• Pada masa kemerdekaan sampai pada masa revolusi politik Islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga persepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik Islam. Hal ini disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada dua kubu idiologi yang memperebutkan negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan nasionalis.
Hubungan akomodatif. Hubungan akomodatif adalah sifat hubungan di mana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik. Pemerintah menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga negara mengakomodasi Islam. Jika Islam ditempatkan sebagai out side negara maka konflik akan sulitdihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI. Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulaimencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif.
Relasi yang terjalin antara negara Indonesia dan agama ialah relasi yang bersifat simbiosis mutualistis yang satu dan yang lain saling memberi.
Dalam konteks ini, agama memberikan kerohanian yang dalam, sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Dalam UUD 1945, Indonesia menegaskan bukan negara agama, melainkan negara hukum.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.