Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wildan Pradistya Putra

Mengawal Cita-cita Anak dengan Menjaga Kesehatan Mentalnya

Eduaksi | Tuesday, 30 May 2023, 13:33 WIB
Ilustrasi anak bermain (sumber: shutterstock)

Keluarga merupakan lingkungan yang mengajarkan pendidikan pertama bagi seseorang. Ibarat tumbuhan, keluarga bagaikan pohon yang besar yang melindungi seseorang dari panasnya terik matahari, derasnya hujan, dan kencangnya angin yang berhembus. Maka tak heran, apabila ketika sudah dewasa, banyak orang yang rela menempuh jarak ratusan hingga ribuan kilometer hanya untuk kembali bertemu dengan orang tuanya di kampung halaman.

Orang tua manjadi penentu keharmonisan dalam sebuah keluarga. Meskipun peran orang tua sangat penting tapi tidak ada pendidikan formal yang secara khusus membentuk untuk menjadi orang tua yang sukses. Pola pengasuhan orang tua kepada anak biasanya berpedoman dari pendidikan kakek nenek dari anaknya dan berdasarkan pengalaman yang di dapatkan di lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan setiap keluarga memiliki pola dan aturannya sendiri.

Setiap anak dilahirkan dari rahim yang berbeda, di lingkungan yang berbeda, dan dibesarkan dengan cara yang berbeda-beda. Namun, setiap anak seharusnya memiliki hak-hak yang sama, dapat menempuh pendidikan, mendapatkan makanan yang bergizi, dapat hak untuk bermain, dan lain sebagainya. Bahkan, hak-hak anak telah tercantum dalam Undang Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Peran dan Kewajiban Orang Tua Mendukung Anak

Waktu anak bersama orang tua tidaklah lama, kurang lebih berkisar 20 tahun sebelum mereka benar-benar menentukan dan bertanggung jawab terhadap hidupnya sendiri. Momen-momen inilah yang seharusnya disadari dan dimanfaatkan dengan baik. Sebab, bagaimana orang tua memperlakukan anaknya, akan menjadi cerminan juga bagaimana sang anak memperlakukan orang lain atau bahkan orang tuanya sendiri. Dalam hal ini Seto Mulyadi atau lebih akrab disapa Kak Seto, psikolog anak, pernah mengatakan “marilah betul-betul menjadi sahabat anak dalam keluarga, bukan menjadi komandan atau bos yang main perintah, intruksi, tapi juga bisa mendengar isi hati anak.”

Dalam membersamai pembentukan karakter anak, orang tua merupakan sosok teladan yang ditiru anak. Ada pepatah mengatakan, “anak adalah cerminan orang tua” dan “buah tidak jatuh dari pohonnya”. Yang artinya kepribadian anak mengenalkan kepribadian orang tua. Orang tua berharap anak dapat meniru karakter orang tua yang baik-baik saja tapi anak sebagai seorang peniru mencontoh apa saja yang dia lihat dan rasakan.

Setiap anak yang tumbuh besar dikeluarga seharusnya memiliki kesehatan mental yang baik. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah kondisi sejahtera seseorang, ketika seseorang menyadari kemampuan dirinya, mampu untuk mengelola stres yang dimiliki serta beradaptasi dengan baik, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi untuk lingkungannya. Oleh karena itu, peran keluarga yang merupakan tempat anak pulang setelah berkelana menjadi sangatlah penting dalam menjaga kesehatan mental anak.

Apabila anak memiliki masalah kesehatan mental, maka dapat berakibat tidak optimalnya tumbuh kembang anak. Selain itu, anak menjadi gampang stress, tidak percaya diri, dan sulit beradaptasi dengan lingkungan. Rasa trauma yang muncul saat perkembangan anak inilah yang dapat memengaruhi masa depan anak. Padahal, setiap anak seharusnya memiliki kesempatan yang sama dalam menggapai cita-cita.

Pada 2019 perusahaan produksi mainan Lego sebagai mana dikutip dari CNBC melakukan survei terkait cita-cita kepada 3000 anak yang berusia antara 8-12 tahun dari Tiongkok dan AS. Sebanyak 326 orang tua yang memilki anak berusia antara 5-12 tahun juga dilibatkan sebagai sampel survei. Hasilnya, hampir sepertiga dari anak-anak tersebut mengatakan ingin menjadi YouTober ketika tumbuh dewasa. Di jaman digital seperti saat ini banyak profesi baru yang muncul. Tugas orang tua mendukung dan mengarahkan cita-cita anak. Memaksakan cita-cita anak sesuai dengan keinginan orang tua bukanlah hal yang bijak.

Elly Risman, psikolog spesialis pengasuhan anak mengatakan, “karena yang berkembang adalah perasaan, anak usia dini harus jadi anak bahagia bukan jadi anak pintar.” Sebagai orang tua kita terkadang mengukur keberhasilan anak dengan aspek akademik sehingga mengabaikan aspek-aspek lainnya. Karena banyak orang tua yang berpikir untuk meraih cita-cita, anak harus bagus nilai akademiknya, maka tak jarang jika nilai kurang memuaskan orang tua memberi tekanan kepada sang anak. Dan ini dapat mempengaruhi kesehatan mental anak.

Masa pertumbuhan merupakan masa yang krusial dalam mengoptimalkan pembentukan karakter anak. Setiap anak yang lahir dalam kondisi keluarga apapun memiliki hak untuk meraih cita-cita seperti yang dia inginkan. Anak-anak butuh lingkungan yang sejuk yang mau menerima kala mengalami kegagalan, kala melakukan kesalahan, dan kala tidak ada siapa pun lagi yang peduli. Itu semua ada di dalam keluarga. Mari mengiringi langkah anak-anak kita dalam mewujudkan cita-citanya dengan menjaga kesehatan mentalnya.

Wildan Pradistya Putra, Pendidik di Thursina International Islamic Boarding School (IIBS) Malang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image