Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anjar Miska Prayoga

Menjaga Ruang Ilmiah di Sekolah

Sekolah | Tuesday, 30 May 2023, 11:29 WIB
ilustrasi ruang kelas sumber: Republika

Pendidikan itu dinamis adalah sebuah keniscayaan. Kebutuhan pendidikan saat ini dengan sedekade lalu boleh jadi berbeda, apalagi dengan beberapa dekade sebelumnya. Kementerian menanggapinya lewat kurikulum, maka tak lantas benar ungkapan lama,”ganti menteri ganti kurikulum.” Saat ini, kurikulum secara resmi disebut Kurikulum Merdeka. Merdeka identik dengan bebas, tetapi di sini, yang dimaksud adalah bebas bertanggung jawab. Berharap mencetak generasi emas Indonesia 2045, tepat se-abad umur Negara. Untuk mewujudkannya guru meramu langkah, berharap siswa menerima dengan hati gembira, guru dan siswa berpadu di sekolah.

Sekolah mestinya menjadi tempat melejitkan potensi, kawah candradimuka untuk memupuk logika berbingkai iman pada Tuhan. Banyak anak kekinian minta ini itu sebagai syarat mau bersekolah, orang tua kelimpungan banting tulang memenuhi keinginan anak. Mulai sepatu, tas, buku lalu beranjak remaja kepengen ponsel, lap top bahkan merengek minta motor. Dari sini kita maklum, orang tua berharap besar pada sekolah. Seperti kata Fauzi Sukri (2020),” Kita sudah lama mendengar cita-cita orang tua terhadap anak: jika orang tua hanya lulus SD, si anak harus lulus perguruan tinggi; jika orang tua tidak mampu, si anak seharusnya makmur, dan seterunya. Cita-cita ini bisa jadi penyemangat tapi bisa jadi beban psikologis bagi anak.”

Dalam sistem pengajaran-pendidikan konvensional guru mengendalikan peran penting, dahulu dikenal sebagai pembelajaran berpusat dari guru, kalangan akademisi mengistilahkan dengan teacher-based learning. Bahkan di era modern yang membawa paradigma baru pembelajaran berpusat dari siswa (student-based learning) peran guru tidak dapat dinafikan begitu saja, baik itu oleh institusi pendidikan yang mengedepankan kebebasan, apalagi yang lebih mengedepankan kedisiplinan. Meski guru-selanjutnya-menyandang sebutan lain, misalnya fasilitator, sosok guru tetap yang paling dominan menentukan proses pengajaran-pendidikan.

Sekolah tempat yang menyeramkan itu definisi lama, dapat dipahami karena dahulu sekolah dimaknai sempit semata sebagai tempat berlatih soal, agar lulus ujian demi ujian, di ujungnya anak akan mendapat ijazah. Ujian Nasional dengan standar nilai saat itu jadi momok yang menakutkan, banyak kasus siswa menjadi stres bahkan hingga bunuh diri. Paradigma baru pendidikan “menyelamatkan” generasi sandwich, penilaian mengedepankan proses pembelajaran, kelulusan tak semata ditentukan dalam tiga hari.

Kita setuju jika sekolah adalah ruang akademik, wilayah ilmiah yang harus selalu dijaga ghirah-nya. Dahulu teramat kentara perbedaan antara sekolah unggulan dengan sekolah pinggiran. Sekolah unggulan dengan masukan sumber daya siswa yang sudah mumpuni dari lahir, mudah saja membentuk lingkungan ilmiah di mana guru tinggal mengarahkannya. Dulu, ketika saya masih magang (istilah lama disebut PPL), saya punya teman seangkatan yang magang di sekolah unggulan, dia bercerita jika kalah berdebat dengan siswa tatkala mengajar.

Satu atau dua sekolah pinggiran kadang muncul ke permukaan, tidak mau tenggelam begitu saja. Tentu, membalikkan sekolah pinggiran menjadi sekolah unggulan memiliki tantangan tersendiri. Biasanya, di sini faktor pimpinan berpengaruh sangat besar. Saya pernah mengikuti In House Training dengan narasumber Ibu Doktor Uswatun Hasanah, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Saya tertarik dengan pengalaman beliau, yang mampu membuat sekolah yang dikenal sebagai SMA pinggiran mampu berbicara di tingkat Kabupaten, bahkan nasional. Satu kata kunci yang saya ingat adalah “benahi dulu gurunya!”

Galih Pranata (2023), di buku "Rerasan Guru Berkisah Pendidikan" pada artikel yang berjudul “Guru Sepatutnya Bermesraan dengan Buku-buku” telah menceritakan peran penting guru bagi Negara Jepang pasca bom atom mengerikan di Hiroshima dan Nagasaki, Sekarang kita melihat Jepang menjadi negara maju dan salah satu yang terkuat di dunia. Benar, menjaga sekolah sebagai wilayah ilmiah mesti dimulai dari guru-gurunya. Sekarang, mari kita lihat pada sekolah kita masing-masing, berapa banyak guru yang gemar mengembangkan diri? Berapa banyak guru yang senang dalam kegiatan diskusi? Berapa banyak guru yang terpanggil untuk melakukan inovasi?

Sepertinya tujuan dibentuknya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dapat ditinjau kembali. Bagaimana MGMP ini mulai tingkat sekolah dapat menjadi wadah pengembangan guru, menjadi tempat yang asyik untuk berdiskusi, menjadi sarana untuk bertukar pikiran perlu dioptimalkan. Kerja administrasi yang seabrek itu mestinya jadi lebih ringan dengan adanya MGMP. Sayangnya, tradisi kerja individu di ruang pendidikan ini sudah telanjur mengakar. Entah karena kompetisi, berlomba naik pangkat, atau sebab-sebab lainnya.

Paradigma baru: Kolaborasi

Kemdikbud di era Mas Nadiem ini membuat gebrakan, pro kontra sudah pasti ada. Termasuk lebih meningkatkan unsur kerja sama antar guru, baik semapel bahkan lintas jurusan. Kita patut mengapresiasi pembentukan Komunitas Belajar, sebuah istilah yang terkesan lebih modern, cocok untuk guru milenial pengampu generasi Z. Dalam ranah praksis, terdapat pembelajaran projek yang sangat bisa digunakan sebagai sarana pembelajaran yang kolaboratif antar guru. Sudah saatnya mengubah paradigma untuk saling belajar. Guru yang satu dengan guru lainnya menjadi mitra kolaborasi untuk belajar bersama, meramu strategi pembelajaran yang bermakna.

Dunia pendidikan ke depan akan semakin rumit, banyak hal yang tak lagi bisa dilakukan guru seorang diri, maka satu guru dengan guru lainnya penting untuk bekerja sama atau berkolaborasi. Kolaborasi adalah model pengajaran-pendidikan masa kini dan mendatang. Richardson (2011) menuliskan,”Untuk menciptakan inovasi di pasar, kita memerlukan perpaduan antara orang-orang yang dominan otak kiri sekaligus otak kanan, para visioner sekaligus eksekutor, orang-orang idelais yang keras kepala sekaligus orang-orang pragmatis yang berpikiran fleksibel.”

Richardson boleh saja menggunakan sudut pandang bisnis dalam tulisannya, namun apa yang dituliskannya pun sangat relate untuk dunia pendidikan kita saat ini. Maka, sebagai guru jangan sampai kita menutup diri dari kolaborasi, sebagai pimpinan jangan sampai menutup mata dari aspirasi orang-orang yang dipimpinnya. Guru menginginkan siswanya dapat bekerja sama dalam kelompok, tetapi apa jadinya jika guru tersebut juga enggan berdiskusi. Pada akhirnya kita mesti bercermin, sejauh mana ruang ilmiah di sekolah ini telah kita pelihara?

Selamat merajut kolaborasi: kolaborasi guru dengan guru, kolaborasi guru dengan siswa, kolaborasi guru, siswa, dan orang tua. Paradigma baru pendidikan ini mesti mengantarkan bangsa kita pada sejahtera, bukan terjajah, sengsara, dan merana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image