Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rika Adani Widya Imannjawa

Relateable Sampai Sekarang! Inilah Standar Wanita Ideal Menurut Konstruksi Masyarakat Jawa Pasca Kol

Sejarah | Monday, 29 May 2023, 18:40 WIB

Mendengar kata “Wanita” yang terlintas dibenak masyarakat Jawa adalah Wani Ing Tata, namun sebenarnya kata Wanita berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu Vanita yang bermakna ‘yang diinginkan’. Kata Wanita menjadi salah satu status multifungsi perempuan selain bersama ‘Wanodya’ dan ‘Putri”. Persepsi yang melekat pada wanita berasal dari etimologi rakyat Jawa, yang merupakan plesetan atau akronim dari wani ing tata yang sering dimaknai menjadi ‘berani ditata’ atau ‘bisa diatur’. Namun ternyata telah terjadi dekonstrusi dari konsep luhur Wanita dalam konstruksi perempuan Jawa pada masa kolonialisme. Dalam system matrifokus menyebutkan bahwa Wanita Jawa sejatinya adalah wanita perkasa yang mampu mengatur dan menompang kaum pria maupun lingkungannya.

Potret Wanita Jawa (1885)

Bagaimana kedudukan Wanita dalam masyarakat Jawa?

Melihat dari kacamata budaya, konsep patrilineal sangat erat di tatanan sosial masyarakat Jawa, yakni menempatkan superioritas dan keutamaan pria atas Wanita. Karna konsep itulah yang menempatkan Wanita secara subordinative seperti halnya Kasur-pupur-dapur (Kasur-sumur-dapur) dan kanca wingking yang bermaksud peran belakang. Bukan tanpa sebab, penurunan citra Wanita yang kuat terjadi pada saat kolonialisme abad ke- 18. Kolonialisme yang terjadi di Tanah Jawa secara tidak langsung mempengaruhi degradasi terhadap system “wani ing tata”, berbagai ajaran teologis dikonstruksikan dalam norma yang berlaku. Hal ini menjadikan kedudukan Wanita yang awalnya setara menjadi keterbelakangan. Konstruki gender itulah yang menyebabkan peran Wanita hanya menjadi ‘cadangan’ di dalam rumah.

Dalam Serat Suluk Residriya karya Paku Buwono IX, ada banyak peraturan yang menjadikan Wanita Jawa menjadi ideal. Pencitraan ideal wanita memiliki sisi baik dimana menjadi pribadi yang membangun karakter berbudi luhur. Di sisi lain pecintraan tersebut menjadi standarisasi ganda, dimana tolak ukur moral pada kehidupan masyarakat cenderung timpang tindih antara wanita dan pria.

Dari berbagai tuntunan yang diemban, Wanita hanya bisa menjadi ‘pelaksana’ perintah. Streotipe Wanita dianggap sebagai mahkluk yang tidak berdaya sehingga untuk kehidupannya perlu ditopang sepenuhnya oleh laki laki. Emansipasi Wanita menurun drastis pada masa kolonialisme. Disamping ketimpangan gender yang terjadi masih terdapat kesetaraan gender yang bisa kita ambil dan diimplementasikan pada masa modern, Wanita tetap dapat mempunyai hak setara dengan pria yaitu hak melakukan tapa brata (beribadah), hak untuk berilmu, terampil, menjadi pemberani dan agung, serta mempunyai kekayaan.

Jika kita menilik lebih jauh dari belakang, berbagai latar budaya selalu mengutamakan posisi Wanita. Dalam hikayat cerita jawa banyak penokohan Wanita yang digambarkan sebagai sosok Wanita perkasa contohnya Rara Mendut, Ratu Shima, Nyai Ontosoroh dan lain sebagainya. Hal ini juga dibuktikan dari berbagai relief dalam berbagai candi Hindu-Buddha yang menggambarkan sosok pekerja keras yang bisa berada dalam dua dunia sekaligus yakni keluarga dan social kemasyarakatan. Gambaran itu masih bisa kita liat di kehidupan modern saat ini. Contohnya apabila seorang wanita karir dan seorang ibu, Ketika sudah selesai kerja diharuskan untuk pekerjaan rumah dan mendidik anak. Beda lagi untuk pria yang setelah bekerja bisa saja langsung beristirahat. Peran wanita dan pria memang beda, namun tidak seharusnya menjadi standarisasi ganda yang menghambat keadilan dan kesetaraan di masyarakat.

Apakah menjadi Wanita Jawa ideal masih bisa diaplikasikan pada saat ini?

Setiap sejarah pasti ada pelajaran yang bisa kita ambil, tetapi kita harus bisa memilah mana hal yang baik dan buruk. Setiap insan memiliki peran masing masing yang telah ditentukan oleh Tuhan. Budaya Jawa yang menuntut Wanita dari segi atitut, tutur kata, hingga penampilan diciptakan guna menjaga nilai luhur yang dianugrahkan Tuhan terhadap perempuan. Emansipasi Wanita bergerak bukan bermaksud sebagai pemberontakan, namun sebagai bentuk perlawanan terhadap sabotase identitas dan pencintraan terhadap Wanita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image