Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karina Octaviana Dwi Rahmawati

Langgar Hak Asasi Manusia, Problematika Pidana Mati dan KUHP Nasional

Lainnnya | Monday, 29 May 2023, 10:42 WIB
Sumber : Shutterstock

Pidana mati saat ini menjadi topik hangat yang diperbincangkan di berbagai kalangan masyarakat. Indonesia sendiri merupakan negara yang masih menerapkan pidana mati sebagai hukuman kepada terdakwa atas tindak pidana yang dilakukan. Sepanjang sejarah, Indonesia telah melaksanakan eksekusi pidana mati kepada beberapa terpidana, diantaranya yaitu Amrozi, Ali Gufron, dan Iman sebagai terpidana mati atas tindak pidana terorisme, Andrew Chen dan tujuh rekannya yang merupakan warga negara asing terpidana mati kasus narkoba, dan Freddy Budiman seorang bandar narkoba. Atas Tindakan itu, baik organisasi nasional maupun internasional, seperti PBB, Amnesty International, Uni Eropa, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum mengecam keputusan tersebut karena dianggap melanggar hak asasi manusia.

Tren Global Pidana Mati

Indonesia bukan satu-satunya negara yang masih menerapkan hukuman pidana mati, melainkan China, Iran, Arab Saudi, Mesir, Amerika Serikat, hingga Vietnam juga merupakan negara yang belum menghapuskan pidana mati baik dalam regulasi hukum tertulis maupun dalam pelaksanaannya. Berdasarkan data tren global Amnesty International tahun 2022, negara yang menduduki peringkat 1 penjatuhan pidana mati terbanyak adalah China dengan jumlah yang mencapai ribuan, disusul dengan Iran, Arab Saudi, Mesir, dan negara-negara lain yang menerapkan pidana mati. Sedangkan Indonesia sendiri pada tahun 2022, tercatat telah menjatuhkan vonis pidana mati setidak-tidaknya kepada 112 terpidana dengan jumlah terbanyak adalah terpidana kasus narkotika.

Perdebatan Pengaturan Pidana Mati di Indonesia

Di Indonesia, pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan alternatif yang masih diatur dalam peraturan peraturan perundang-undangan, diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini berlaku, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, Undang-Undang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Berbicara tentang penerapan pidana mati di Indonesia, sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara pihak yang mendukung pidana mati dan pihak yang menolak pidana mati. Pihak yang mendukung pidana mati beranggapan bahwa hukuman tersebut sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan terpidana. Melihat berbahayanya pelaku tindak pidana, pidana mati diterapkan untuk memberikan efek jera pada pelaku sehingga dapat menekan angka kejahatan yang bersifat melawan hukum dan membahayakan orang lain.

Sedangkan, Pihak yang menolak pidana mati berargumen bahwa hukuman tersebut tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana tertuang dalam sila ke-2 Pancasila.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), Indonesia menerapkan perlindungan HAM pada beberapa aturan yang dimuat dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai bentuk penghormatan dan pelaksanaan deklarasi HAM Universal atau Universal Declaration Of Human Rights (UDHR). Hal tersebut menimbulkan kontradiksi antara penjatuhan pidana mati dan perlindungan HAM.

Secara normatif, pidana mati telah melanggar hak hidup yang diatur dalam pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, bahkan oleh negara.

Dengan diberlakukannya pidana mati, masyarakat yang menolak pidana mati menganggap bahwa negara telah merampas hak seseorang untuk hidup, pidana mati tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang bersifat generale preventie, pidana mati pada kenyataannya tidak mengurangi kejahatan yang terjadi di Indonesia, dan penerapan eksekusi pidana mati pada orang yang tidak bersalah hanya akan menimbulkan penyesalan belaka. Atas dasar tersebut, pidana mati dianggap melanggar HAM.

Perdebatan masih berlanjut hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikenal dengan KUHP Nasional.

Kontroversi KUHP Nasional

Dalam KUHP Nasional, masih terdapat aturan tentang pidana mati dengan pendekatan alternatives to death penalty. Pidana mati ditetapkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 KUHP Nasional dan Pasal 98 KUHP Nasional. Namun, hal pemmbeda aturan pidana mati pada KUHP Nasional dan KUHP yang saat ini berlaku terdapat Pada Pasal 100 ayat (1) KUHP Nasional yang menyebutkan tentang masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan penyesalan terdakwa untuk melakukan perbaikan dan memenuhi sejumlah syarat yang telah ditetapkan. Dengan menjalani masa percobaan 10 tahun, apabila terdakwa menunjukkan itikad baik maka hakim dapat mencabut pidana mati dan mengganti dengan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman lain yang dianggap sepadan dengan tindak pidana yang dilakukan.

Akan tetapi, Pasal 100 ayat (2) KUHP Nasional berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Ayat tersebut berbunyi, "Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan."

Berdasarkan rumusan pada ayat (2), pidana mati dengan masa percobaan harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Secara logika, dapat diartikan bahwa pidana mati yang tidak dicantumkan dalam putusan pengadilan bukan merupakan pidana mati dengan masa percobaan. Artinya, terdakwa secara otomatis akan menerima vonis pidana mati tanpa masa percobaan.

Faktanya, saat ini belum ada perbincangan dan rumusan tentang aturan pelaksana yang menyertai KUHP Nasional, padahal KUHP Nasional telah diundangkan sejak 2 Januari 2023. Hal tersebut menimbulkan berbagai kritik dari organisasi masyarakat yang menganggap bahwa Indonesia tidak tegas dan tidak konsisten dalam menghapuskan pidana mati. Selain itu, masih ada celah kekosongan hukum yang dapat merugikan masyarakat. Pidana mati masih memiliki potensi besar mengancam terdakwa dan merenggut nyawa orang yang tidak bersalah.

Oleh sebab itu, sebelum diberlakukannya KUHP Nasional yang direncanakan akan berlaku 3 tahun setelah diundangkan harus ada peraturan yang menyertai pelaksanaan pidana mati. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, ketidakpastian hukum, dan ketidakadilan hukum bagi masyarakat. Hal tersebut juga sebagai upaya meminimalisir kekeliruan dalam putusan pengadilan yang sangat mungkin terjadi.

Dalam situasi itu, pihak yang mendukung pidana mati beranggapan bahwa pihak yang menolak pidana mati melindungi pelaku dan mendiskriminasi korban dengan menormalisasi terjadinya kejahatan. Akan tetapi, kembali lagi pada kenyataan bahwa pidana mati tidak dapat menghapuskan kejahatan dan masih banyak pelaku yang justru tidak takut akan pidana mati. Sebaliknya, korban yang tidak bersalah beralih status menjadi terpidana dan menerima vonis pidana mati.

Dengan demikian, pemerintah, penegak hukum, organisasi yang bergerak di bidang hukum, dan masyarakat itu sendiri harus berusaha mengurangi kejahatan secara bersama-sama dengan meningkatkan kinerja dan profesionalisme penegak hukum dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mencegah serta melawan kejahatan.

Penulis : Karina Octaviana Dwi Rahmawati (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image