Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur Sefianty Kusuma Ningrum

Nomophobia: Kenali Gejala dan Cara Mengatasinya

Eduaksi | Friday, 26 May 2023, 15:58 WIB

Di zaman digital saat ini ponsel pintar atau smartphone memang telah menjadi kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa smartphone sendiri telah memberi manfaat yang luar biasa dalam kehidupan sehari – hari. dengan smartphone ini seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain yang terpisah jarak beribu – ribu kilometer, mengatehui informasi terbaru dari belahan dunia lain, bahkan dengan jarak yang begitu jauhnya smartphone dapat mengirimkan file, gambar, dan dokumen lainnya hanya dalam waktu sepersekian detik. di samping banyaknya manfaat yang diberikan, smartphone juga memunculkan sebuah masalah psikologis baru yang disebut nomophobia.

sumber: JatimSmart.id

Apa itu nomophobia?

Nomophobia (no mobile phone phobia) adalah suatu kondisi dimana seseorang merasa takut, cemas, bahkan tidak aman ketika jauh dari ponsel pintarnya. Seseorang akn terpicu untuk mengecek ponselnya karena ia merasa khawatir atau bahkan panik jika beberapa menit saja tidak menegcek ponsel. seseorang yang mengalami nomophobia cenderung akan membawa ponselnya kemanapun ia pergi bahkan saat ke toilet pun.

Penyebab Nomophobia

Bagaimana nomophobia ini muncul?

1. Tuntutan pekerjaan

Nomophobia sendiri awalnya terjadi karena tuntutan zaman yang mengharuskan seseorang untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Seiring berkembangnya teknologi ini sebagian besar pekerjaan, dokumen, tugas lebih sering dikerjakan melalui ponsel dan disimpan dalam bentuk softfile karena lebih mudah dan efisien. Salah satu contohnya adalah pembuatan paspor online dan pengambilan nomor antrian secara online melalui ponsel.Ditambah di masa pandemi yang mengharuskan semua orang bekerja dan belajar dari rumah membuat ketergantungan terhadap ponsel semakin besar dan memicu timbulnya nomophobia Dengan masifnya kebutuhan dan tututan pekerjaan seseorang akan lebih sering mengecek ponselnya.

2. FOMO (Fear of Missing Out)

Seseorang akan sering mengecek ponselnya karena mengalami FOMO (fear of missing out) yaitu sebuah kondisi ketakutan dan khawatir ketinggalan berita terkini.

3. Distraksi dan Pelarian

Ponsel sebagai sarana untuk lari dari permasalahan hidup dan sumber hiburan karena dengan membuka ponsel seseorang cenderung melupakan masalah hidupnya dan dapat mendapat melihat berbagai konten yang terdapat di dalamnya.

4. Kebutuhan terhadap suatu aplikasi

Adanya aplikasi seperti mobile banking, kai access, maps, dan lain-lain memaksa kita semua untuk sering membuka ponsel.

Gejala nomophobia?

Nomophobia sendiri sebenarnya bukanlah sebuah gangguan mental dan hanya sebuah persepsi yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun demikian kita harus tetap waspada terhadadap sindrom ini. Lalu ciri -ciri apa yang dapat mengindikasikan bahwa seseorang mengalami nomophobia?

1. Rasa cemas dan takut yang berlebihan saat ponsel tidak ada

2. Membawa ponsel kemanapun, bahkan saat ke toilet

3. Sering mengecek ponsel berkali – kali

4. Stress ketika tidak dapat melihat konten dalam ponsel

Nomophobia snediri perlu mendapat terapi jika seseorang sudah mencapai gejala lebih serius dan dirasakan selama berbulan – bulan. Gejala tersebut di antaranya:

1. Sulit tidur

2. Depresi

3. Penurunan produktivitas dikarenakan lebih fokus bermain ponsel

4. Mengganggu kesehatan, misalnya pusing dan sesak.

5. Membuat aktivitas sosial dan pekerjaan/prestasi menurun

6. Mengesampingkan kewajiban dan lebih memilih bermain ponsel

Cara Mengatasi nomophobia

Agar nomophobia tidak memengaruhi kualitas hidup kita maka diperlukan upaya – upaya untuk mengatasi nomophobia.

1. Detoksifikasi sosial media

Mengambil waktu untuk istirahat sejenak dari dunia maya. Istirahat, menggunakan waktu untuk bonding dengan keluarga. Di masa istirahat ini kita bisa melakukan banyak hal. Misalnya saja mengunjungi tempat – tempat yang belum pernah dan ingin sekali kita datangi. Detoksifikasi sosial media ini membawa dampak yang sangat positif, dengan ini kita bisa lebih memaknasi esensi dari kehidupan.

2. Menetapkan batasan

Membatasi penggunaan ponsel, misalnya maksimal berapa jam penggunaan ponsel dalam sehari. membiasakan diri untuk tidak langsung membuka ponsel ketika bangun tidur, setidaknya 30 menit – 1 jam setelah bangun tidur. Membatasi pemakaian ponsel di malam hari, pukul berapa dan kapan kita harus menghentikan penggunaan ponsel. membiasakan untuk langsung tidur setelah menyelesaikan pekerjaan di malam hari.

3. Skala prioritas

Menambah aktivitas baru yang bersifat “no screen”. Misalnya seperti olahraga, memasak, membaca buku, dan menekuni hobi. Dengan rutin melakukan aktivitas – aktivitas ini akan menurunkan ketergantungan kita terhadap ponsel.

4. Refleksi diri

Merenungi kembali apa saja yang kita dapatkan dengan bermain ponsel. Lebih banyak dampak positif ataukah negatifnya, seberapa besar urgensinya. Hal ini dapat dilaukan sambil bermeditasi dan relaksasi.

5. Mematikan notifikasi

Tak jarang seseorang membuka ponsel karena terdistraksi oleh banyaknya notifikasi. Dengan meatikan notifikasi akan membuat kita lebih fokus dengan pekerjaan yang kita lakukan dan jarang membuka ponsel.

6. Beralih menggunakan laptop

Laptop dapat mengurangi nomophobia karena laptop cenderung minim notifikasi dan membuat kita hanya fokus pada pekerjaan kita

7. Mencari dukungan dari orang sekitar

Jika dirasa nomophobia sudah parah dan tidak bisa kita atasi sendiri, kita perlu mencari dukungan dari orang sekitar seperti keluarga dan teman. Mereka akan membantu kita untuk lebih bersemangat dan termotivasi dalam mengatasi nomphobia.

Tentu saja semua hal yang telah dipaparkan di atas dikembalikan terhadap kebutuhan kita masing – masing.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image