Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Artificial Intelligence: Sebuah Paradoks Ilmu Pengetahuan

Edukasi | Monday, 22 May 2023, 06:30 WIB
Sumber foto: futureoflife.org
Sumber foto: futureoflife.org

Hadirnya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sudah tidak dapat dipungkiri lagi sebagai salah satu dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Secara singkatnya, AI merupakan sebuah bentuk pengembangan di bidang elektronika, ilmu komputer, matematika yang bisa berpikir layaknya manusia (Devianto dan Dwiasnati, 2020). Sudah banyak AI yang dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia, seperti adanya Google Assistant dan ChatGPT. Namun, di balik potensi yang dimilikinya, AI juga menghadapi sejumlah paradoks yang menarik dan kompleks. Beberapa teori bisa digunakan untuk menganalisis paradoks dalam AI, antara lain: (1) Paradoks Kontrol; (2) Paradoks Transparansi; dan (3) Paradoks Bias.

Salah satu paradoks utama yang terkait dengan AI adalah Paradoks Kontrol. Meskipun AI dirancang untuk mempermudah pekerjaan manusia dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas, kekhawatiran tentang hilangnya kontrol terhadap teknologi ini semakin meningkat (Burrell, 2016). Dalam banyak kasus, AI sudah diterapkan untuk mengambil keputusan yang seharusnya dilakukan oleh manusia, seperti dalam kasus kendaraan otonom dan robot medis. Hal ini dapat menyebabkan masalah ketika teknologi AI mengambil keputusan yang salah atau merugikan pengguna (Floridi, 2019). Sebagai contoh yang sangat sering ditemui, adalah kesalahan informasi dalam penggunaan media sosial di kalangan masyarakat umum. Pengguna media sosial sangat dibebaskan dalam “berselancar”. Semua orang bisa mengirim dan merespons apa saja. Dalam media sosial, kontrol dari pihak eksternal sama sekali tidak ada dan justru lebih cenderung memiliki kebebasan subyektif pagi penggunanya (Panuju, 2020).

Paradoks kedua yang terkait dengan AI adalah Paradoks Transparansi. Meskipun teknologi AI dapat membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan, sulit untuk memahami cara kerja teknologi ini secara akurat dan terperinci. Dalam banyak kasus, algoritma yang digunakan oleh sistem AI bersifat "hitam box", yang berarti bahwa sulit bagi manusia untuk memahami bagaimana teknologi ini mencapai hasil yang diberikan (Eubanks, 2018). Sebagai contoh, pada tahun 2020, pengguna media sosial Twitter mengklaim bahwa algoritma Twitter cenderung menekan pdanangan dan opini orang kulit hitam, dan mereka sulit untuk memahami bagaimana algoritma ini bekerja. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan teknologi AI yang transparan, sehingga pengguna dan pembuat kebijakan dapat memahami bagaimana teknologi ini bekerja dan mengapa teknologi tersebut memberikan hasil tertentu (Buolamwini dan Gebru, 2018).

Paradoks ketiga yang terkait dengan AI adalah Paradoks Bias. Teknologi AI sangat bergantung pada data dan algoritma yang digunakan untuk memproses data tersebut. Namun, data dan algoritma tersebut dapat mengdanung bias yang tidak disengaja, yang dapat memengaruhi hasil yang diberikan oleh teknologi AI (Russell, 2010). Masih berkiblat pada Buolamwini dan Gebru (2018), telah ditemukan bahwa sistem pengenalan wajah yang digunakan oleh beberapa perusahaan teknologi besar memiliki kesalahan pengenalan yang lebih tinggi untuk wajah-wajah dengan warna kulit yang lebih gelap dan perempuan dibdaningkan dengan wajah-wajah pria dan kulit yang lebih terang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya variasi data dalam set pelatihan, yang membuat sistem kurang dapat mempelajari variasi fitur wajah dari berbagai kelompok etnis dan gender.

Berdasarkan ketiga teori di atas, dapat disimpulkan bahwa AI sebenarnya masih menjadi misteri. Namun, berkat potensi yang dimilikinya, beberapa orang mencoba menemukan cara untuk membantah sebuah kepercayaan yang sudah lama melekat dalam pikiran manusia. Menurut sains, manusia yang sudah meninggal tidak akan bisa dihidupkan kembali. Di sisi lain, beberapa agama percaya bahwa jiwa manusia akan hidup kembali, tetapi jasadnya akan tetap mati. Bahkan, di beberapa kasus seperti dalam ajaran agama Islam, Nabi Isa AS pernah menghidupkan manusia kembali atas izin Allah SWT.

Memang, beberapa kasus menghidupkan kembali orang yang sudah mati selama ini hanyalah fiksi. Seperti dalam serial anime “Naruto Shippuden”, ketika karakter Orochimaru memanggil roh empat hokage dan menggunakan tubuh orang lain yang masih hidup agar keempat hokage tersebut bisa hidup kembali dan membantu dalam perang. Kemudian, ada juga adegan dalam game “Beyond Two Souls” yang memperlihatkan karakter Nathan memanggil arwah istri dan anak perempuannya yang sudah meninggal agar Nathan bisa berkomunikasi dengan mereka lagi. Namun, berbeda dengan Orochimaru, Nathan menggunakan teknologi semacam layar proyeksi untuk memunculkan arwah istri dan anak perempuannya. Ada pula karakter Ninja yang menghidupkan kembali kekasihnya, Yoldani dengan memindahkan alam bawah sadarnya ke sebuah robot di film “Chappie”.

Lalu, sebuah cuitan di Twitter mengungkapkan sebuah opini oleh pengguna bernama hb (@h3xenbrenner2) bahwa kemungkinan untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati secara sains itu ada, meskipun arwah mereka akan tersiksa. Faktanya, hal tersebut dilakukan oleh Stephen Smith, perintis StoryFile yang berhasil “menghidupkan kembali” sang ibu, Marina Helen Smith pada acara pemakamannya. Prosesnya, sebuah rekaman video tentang Marina menjawab beberapa pertanyaan mengenai kisah hidupnya dibuat. Kemudian, video tersebut akan ditambahkan dengan AI dan akan diputar pada hari pemakaman Marina. AI akan memilih cuplikan video yang sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dalam video itu, gerakan dan jawaban Marina terkesan sangat natural, sehingga terkesan bahwa Marina memang ada disana dan berkomunikasi secara langsung.

Walaupun Marina tidak benar-benar hidup kembali, tetapi AI terbukti bisa memberi kesan tersebut. Hal ini tentunya menjadi paradoks, mengenai kepercayaan yang selama ini sudah dipegang dan menancap dalam pikiran. Kemungkinan akan adanya teknologi yang bisa menghidupkan kembali manusia itu pasti ada. Sam Parnia—direktur penelitian di Stony Brook University School of Medicine New York—mengungkapkan bahwa ketika manusia baru saja meninggal, otak manusia tersebut belum sepenuhnya mati (Nuwer, 2013). Kondisi tersebut bisa dikatakan sebagai kondisi koma, yaitu ketika otak manusia sebenarnya masih bekerja, tetapi badannya sedang mati total. Biasanya, tindakan yang diambil adalah dengan memberi kejutan pada bagian jantung agar bisa berdetak kembali.

Sejauh ini, manusia hanya bisa dihidupkan kembali melalui prosedur kejutan jantung. Hal itu hanya bisa dilakukan apabila otak manusia tersebut terbukti belum berhenti secara fungsional, sehingga organ-organ manusia itu bisa dipaksa untuk bekerja kembali. Untuk kasus manusia yang sudah lama mati, belum ada upaya yang benar-benar berhasil menghidupkan kembali. Namun, seiring dengan berkembangnya IPTEK, kemungkinan untuk itu tentu masih ada.

Referensi

Buolamwini, J. dan Gebru, T. (2018) ‘Gender Shades: Intersectional Accuracy Disparities in Commercial Gender Classification’, Proceedings of Machine Learning Research, 81, pp. 1–15.

Burrell, J. (2016) ‘How the machine “thinks”: Understdaning opacity in machine learning algorithms’, Big Data dan Society, 3(1), pp. 1–12. Tersedia dalam: https://doi.org/10.1177/2053951715622512.

Devianto, Y. dan Dwiasnati, S. (2020) ‘Kerangka Kerja Sistem Kecerdasan Buatan dalam Meningkatkan Kompetensi Sumber Daya Manusia Indonesia’, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer, 10(1), p. 19. Tersedia dalam: https://doi.org/10.22441/incomtech.v10i1.7460.

Eubanks, V., 2018. Automating inequality: How high-tech tools profile, police, dan punish the poor. St. Martin's Press.

Floridi, L., 2019. The logic of information: A theory of philosophy as conceptual design. Oxford University Press.

Nuwer, R. (2013) Will we ever bring the dead back to life? Tersedia dalam: https://www.bbc.com/future/article/20131031-will-we-ever-bring-the-dead-back (Diakses pada: 1 Mei 2023).

Panuju, R. (2020) Paradoks Media Sosial. Tersedia dalam: https://www.kompas.id/baca/opini/2020/02/11/paradoks-media-sosial (Diakses pada: 1 Mei 2023).

Russell, S.J (2010) Artificial intelligence: a modern approach. Pearson Education, Inc.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image