Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image An Nisa Aulia Kamila

Apakah Kurikulum yang Padat Efektif untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Indonesia??

Eduaksi | Tuesday, 16 May 2023, 17:44 WIB
Gambar Ilustrasi Pendidikan (Sumber: istockphoto.com)

Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan Indonesia merupakan salah satu yang terpadat di dunia. Anak-anak Indonesia rata-rata bersekolah 7-8 jam, yakni dimulai dari pukul 7 atau 8 pagi hingga pukul 3 sampai 4 sore, hal ini tidak lepas dari muncul sistem baru yakni full day school dengan waktu efektif sekolah hnaya 5 hari tetapi menambahkan jam belajar di sekolah kepada siswanya hingga sore hari yang diterapkan disebagian besar sekolah di Indonesia. Dilihat dari jam istirahat yang diberikan oleh sekolah di Indonesia kepada siswanya termasuk minim dan tidak sebanding dengan lamanya waktu belajar di kelas. Biasanya sekolah di Indonesia melakukan 3-4 jam pembelajaran dan hanya diselingi dengan 30 menit – 1 jam istirahat dengan dalih untuk mengejar bahan ajar kurikulum yang padat agar terselesaiakan. Padahal menurut penelitian pemberian waktu istirahat yang cukup saat belajar memberikan dampak yang baik bagi tingkat pemahaman dan kefokusan siswa dalam menghadapi mata pelajaran berikutnya serta dapat meningkatkan semangat siswa dalam mengahadapi dan mengerjakan tugas di kelas berikutnya.

Istirrahat yang cukup saat belajar sangat penting di terapkan dalam dunia sekolah agar siswa merasa tidak jenuh menghadapi beberapa pelajaran dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun jadwal pelajaran dibuat padat tetapi, jika siswa tidak bisa fokus dalam menerima pelajaran di dalam kelas hal ini akan percuma karena inti dari materi yang disampaikan tidak dapat ditangkap dengan baik oleh siswa. Beberapa negara di eropa yang memiliki kualitas pendidikan baik hanya memiliki rata-rata jam sekolah yaitu 5-6 jam setiap harinya dan juga dengan hari efektif sekolah yang sama yakni 5 hari. Sebagai contoh negara Finlandia yang disebut sebagai negara yang memiliki kualitas pendidikan nomor 1 di dunia hanya memiliki jam sekolah 5-6 jam saja dan waktu istirahat yang diberikan sangatlah seimbang dengan lamanya belajar yang diberikan. Sistem disana menerapkan setiap 45 menit pembelajaran akan diselingi oleh 15 menit waktu istirahat, bahkan sekolah di China ada yang menerapkan memberikan waktu jam tidur siang bagi siswanya di sekolah.

Dengan waktu belajar yang sudah lama, siswa di Indonesia masih juga dibebani dengan jumlah PR yang banyak dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa. Namun, tidak semua siswa sepulang sekolah akan beristirahat dirumah sembari mengerjakan PR, karena masih ada beberapa siswa yang melakukan les dan bimbingan di luar lembaga sekolah apalagi jika mendekati waktu ujian maka akan semakin banyak siswa yang mengambil les dan bimbingan seusai pulang sekolah.

Berdasarkan survei lansung dari worldtop20.org kualitas pendidikan Indonesia masih menempati peringkat 67 di dunia. Tentunya hal ini dapat dikatakan masih jauh dari kualitas pendidikan yang ideal yang hendak dicapai oleh pemerintah. Lantas apa yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih termasuk dalam posisi bawah? Padahal negara sudah memberikan kurikulum yang padat dengan tujuan untuk memupuk kebiasaan gemar belajar dikalangan siswa. Berikut ini beberapa alasan yang mungkin menjadi faktor mengapa pendidikan di Indonesia masih memiliki kualitas rendah jika dibandingkan dengan negara lain:

1. Jam belajar yang terlalu banyak menyebabkan siswa bosan

Jam pelajaran yang banyak dan minimnya waktu jeda istitahat yang diberikan membuat siswa Indonesia menjadi bosan di kelas sehingga materi yang disampaikan di kelas tidak efektif, karena tidak bisa dipungkiri akan banyak siswa yang sudah tidak fokus dan hanya pura-pura mendengarkan seperti masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

2. Rendahnya kesadaran untuk membaca

Banyak dari siswa Indonesia yang jarang sekali pergi ke perpustakaan saat waktu istirahat. Sebenarnya siswa juga tidak bisa disalahkan dalam hal ini karena dengan waktu istirahat yang sedikit mereka akan memaksimalkan waktu istirahat yang mereka punya untuk bermain, sebelum memasuki kelas yang nantinya berhadapan dengan buku lagi. Hal ini kan menimbulkan stigma kepada para siswa jika membaca itu adalah suatu hal yang membosankan sama seperti belajar. Jika stigma tersebut telah terbentuk dikalangan siswa tentunya hal itu tidak baik, karena seharusnya membaca adalah suatu hal yang menyenangkan.

Negara Finlandia yang memberikan waktu istirahat cukup kepada siswanya dapat menggerakkan siswanya untuk membagi waktu istirahatnya yaitu, ada digunakan untuk bermain dan ada yang digunakan untuk membaca buku di perpustakaan. Finlandia juga menerapkan sistem kepada siswanya agar setiap minggu setidaknya mereka sudah membaca 2 buku yang natinya akan dilaporkan kepada guru masing-masing. Tidak ada kriteria tertentu buku yang harus di baca, mereka boleh membaca buku apa saja dan boleh meminjamnya untuk dibawa pulang baik dari perpustakaan sekolah atau perpustakaan milik pemerintah yang ada disetiap kota.

3. Sumber daya yang kurang kompeten

Sebagian besar anak Indonesia zaman sekarang jarang sekali yang ingin memiliki cita-cita sebagai guru. Mereka mungkin berpikir bahwa gaji guru termasuk kecil jika dibandingkan dengan profesi lainnya dan bekerja sebagai seorang guru terlihat kurang bergengsi. Hal ini lah yang menyebabkan mengapa anak Indonesia jarang ada yang minat menjadi guru. Padahal jika di luar negeri menjadi guru merupakan suatu profesi yang sangat di hormati dan bergaji besar. Misal saja di Korea Selatan yang memiliki kualitas pendidikan terbaik nomor 2 di dunia tes untuk menjadi seorang guru sangatlah ketat hingga banayak lembaga kursus di Korea Selatan yang membuka bimbingan untuk persiapan tes menjadi guru, tentunya ketatnya persaingan menjadi guru di Korea Selatan ini juga tidak terlepas dari gaji guru yang nantinya akan diterima yaitu gaji paling tinggi yang bisa di dapatkan guru di Korea Selatan yakni hingga mencapai 1 Miliar. Melalui seleksi penerimaan guru yang ketat inilah akan menghasilkan calon-calon guru yang berkompeten yang telah diseleski dari ribuan orang yang berkompten lainnya.

4. Tuntutan orang tua siswa yang ingin anaknya berkompeten dalam segala hal

Pendidikan di Indonesia dari SD-SMA hanya mengajarkan mata pelajaran dasar saja yang wajib dikuasai oleh semua siswa agar nilai mereka saat masuk keperguruan tinggi bagus dan bisa diterima di perguruan tingi. Setiap anak tentunya memiliki keahlian yang berbeda, mereka pastinya akan memiliki ketertarikan di suatu pelajaran tertentu dan mungkin akan ada beberapa mata pelajaran yang mereka bingungkan. Hal ini tentunya sangata wajar, tetapi sebagian orang tua di Indonesia tidak memahami hal itu, mereka ingin anak mereka memiliki nilai yang bagus dalam semua mata pelajaran, sehingga mereka cenderung mengejar ketertinggalan pelajaran yang menurut mereka susah daripada mengasah bakat mereka yang sebenarnya telah mereka miliki yang nantinya dapat mengarahkan mereka menajdi ahli atau profesional dalam bidang tersebut jika ditekuni.

Masalah lain yang perlu di kritisi adalah masalah seleksi masuk sekolah atau perguruan tinggi di Indonesia yang cenderung berpatok pada nilai eksak peserta didiknya. Semakin tinggi nilai mereka maka semakin besar peluang mereka diterima tanpa melihat nilai tertinggi apa yang dimiliki peserta didik tersebut yang bisa menjadikan potensi bahwa mereka ahli dalam bidang tersebut dibandingkan anak dengan seluruh nilai rata-rata mata pelajarannya tinggi tetapi tidak memiliki kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu. Jika di luar negeri dalam dunia kerja, perusahaan justru akan mencari seseorang dengan satu kemampuan yang menonjol dibandingan dengan anak yang semua nilainya bagus tetapi tidak ada yang menonjol. Hal yang menonjol itulah yang disebut keahlian atau bakat seseorang yang bisa dikembangkan lebih baik lagi daripada orang lain pada umumnya.

Tuntutan orang tua yang ingin anaknya ahli dalam setiap hal juga akan berdampak buruk dari segi mental sang anak yakni, anak akan merasa tertekan dan bisa menuju pada tindakan yang tidak benar misalnya karena ada mata pelajaran yang tidak bisa anak akan memilih untuk mencontek temannya dan terkdanag ada yang memilih melakukan joki pada mata pelajaran tersebut. Tentunya hal ini tidak baik karena dapat mengarahkan anak pada perbuatan curang. Seharusnya orang tua paham apa yang menjadi bakat dan keinginan sang anak dan dapat mendukung apa yang disukai oleh anak itu selama tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran yang berlaku.

5. Ketidakadilan yang terjadi dalam bidang pendidikan

Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih tidak adil. Masih banayak anak-anak dipelosok negeri yang tidak bersekolah baik karena alasan keuangan, tidak adanya sekolah, dan sarana serta prasaran yang tidak menunjang untuk menuju ke sekolah. Bentuk ketidak adilan lainnya juga dapat dilihat yaitu sekolah-sekolah di daerah kecil cenderung tidak terurus dan tidak dikembangakan, hanya sekolah diperkotaan saja yang selalu dibangun untuk lebih menunjang pendidikan. Bahkan di sekolah-sekolah kota pun juga terdapat ketidakadilan seperti munculnya istilah sekolah favorit. Seharusnya istilah sekolah favorit ini tidak boleh muncul karena setiap siswa berhak bersekolah di sekolah yang mereka inginkan tanpa membeda-bedakan latar belakang siswa tersebut.

Ketidakadilan juga masih bisa terlihat dari stigma masyarakat Indonesia yang cenderung memandang rendah SMK daripada SMA ironisnya hal ini juga dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi yang notabennya diisi oleh orang-orang yang memiliki pendidikan yang tinggi. Contoh ketidakadilan yang dilakukan seperti mereka masih membedakan kuota siswa dari SMA dan SMK yang dapat masuk ke perguruan tinggi tersebut dan biasanya cenderung siswa SMA lah yang mendapatkan kuota paling banyak. Hal ini sangat berbanding terbalik jika dibandingkan negara Jerman, di Jerman ada lembaga sekolah lanjutan sendiri bagi mereka yang berasal dari SMA dan yang dari SMK serta tidak ada yang dipandang sebelah mata.

6. Pendidikan di Indonesia kebanyakan teori kurang praktik

Mulai dari kita TK hingga SMA sebagian besar yang kita terima disekolah hanyalah sebuah teori jarang sekali praktik nyata pada kehisupan sehari-hari. Misal contohnya kita tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu adalah hal yang salah tetapi masyarakat kita masih banyak yang membuang sampah sembarangan, hal ini akibat mereka hanya tahu teori saja tetapi nilai praktik mereka nol. Sekolah di Indonesia lebih mementingkan apakah mereka dapat menjawab soal ujian dengan teori yang telah mereka ajarkan daripada apakah mereka bisa menerapkan teori yang telah diajarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini juga yang menjadi penyebab mengapa di Indonesia siswa SMK cenderung dipandang lebih rendah daripada siswa SMA. Karena mungkin mereka berpikir teori yang mereka dapatkan di SMK tidak se kompleks siswa SMA karena mereka hanya mempelajari materi yang menjadi kejuruan meraka saja, sehingga dinilai kurang memiliki ilmu yang luas di bidang lainnya untuk memasuki tingakatan pendidikan sekelas perguruan tinggi.

Sebagian besar siswa di Indonesia mungkin baru mendapatkan pengalaman memparktikan teori yang kita dapat selama belajar yakni pada saat diperguruan tinggi dan pada saat kegiatan KKN saja. Tentunya ini sangat minim jika kita baru mendapatkan pelatihan pengimplementasian teori yang kita dapat hanya pada waktu KKN saja, dan bisa dibilang termasuk terlambat. Sebaiknya pengaplikasian teori yang diajarkan harus dibiasakan sejak kecil. Karena jika teroi saja tanpa praktik percuma saja, sama seperti bermodal bicara saja tanpa ada aksi yang dilakukan.

Dengan padatnya jadwal anak sekolah di Indonesia apakah hal ini berdampak baik atau justru berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan dan kesehatan mental siswa-siswi di Indonesia?

Tentunya padatnya jadwal sekolah memiliki dampak yang kurang baik bagi kesehatan mental pada anak dan juga dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di Indonesia. Jadwal sekolah yang padat membuat anak kelelahan belum lagi ditambah dengan PR yang menunggu yang harus diselesaikan membuat anak akan merasa jenuh dan mengganggap sekolah sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan dan melakukannya sebagai sebuah keterpaksaan. Jika anak tidak menyadari bahwa sekolah merupakan sesuatu yang wajib dan malah memandangannya sebagai suatu keterpaksaan maka anak tersebut tidak akan serius dalam menjalani sekolahnya, jika hal tersebut dirasakan oleh seluruh anak Indonesia hal ini tentunya dapat mengurangi kualitas pendidikan di Indonesia karena siswa dan siswinya sendiri sudah merasa terpaksa untuk sekolah bagaimana bisa mendongkrak untuk menciptakan kualitas pendidikan di Indonesia yang lebih baik jika siswa dan siswinya merasa tidak memiliki semangat untuk sekolah.

Padatnya jadwal sekolah juga akan berdampak buruk pada kesehatan mental anak yakni anak akan erasa bosan jenuh dan terbebani dengan segala sesuatu yang berbau belajar dan sekolah sehingga dapat membuat anak stress dan dapat menimbulkan persepsi pada anak bahwa sekolah merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan dan ingin dihindari. Misal mencari alasan sakit saat waktunya masuk sekolah, dan ada juga yang melakukan modus izinnya pamit untuk bersekolah tetapi malah bolos dan pergi ke tempat lain. Hal tersebut dapat mengarahkan anak pada perilaku yang kurang baik. Seharusnya kita dapat memberikan image yang menyenangkan pada sekolah sehingga anak-anak tertarik dan paham mengapa sekolah itu penting. Jika anak-anak bangsa telah sadar betapa pentingnya sekolah bukan tidak mungkin jika nantinya kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat.

Solusi apa yang dapat dilakukan agar kualitas pendidikan Indonesia meningkat?

Solusi utama yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah image sekolah yang dahulunya terlihat membosankan dan sibuk menjadi image yang menyenangkan. Mengubah image terhhadap sekolah tentunya memerlukan perubahan beberapa peraturan agar pandangan anak-anak tentang sekolah itu berbeda misal seperti memperbanyak jam istirahat, mengurangi jumlah PR, selain mendapatkan teori juga mengajarkan praktiknya di luar ruangan sehingga siswa tidak jenuh di dalam ruangan saja mendengarkan penjelasan ber jam-jam yang belum tentu siswa dapat memahaminya dengan baik ketika dalam kondisi yang bosan dan masih banyak lagi terobosan-terobosan baru yang dapat dilakukan. Kesadaran pada diri masing-masing anak mengenai pentingnya pendidikan akan sangat berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Pada dasarnya pendidikan tidak digunakan untuk berkompetisi tetapi digunakan untuk berkolaborasi dan menembah ilmu baru. Setiap anak berhak menikmati dunia sekolahnya sesuai bidang yang mereka inginkan, jika anak menikmati dunia sekolahnya maka anak tersebut akan menjalani sekolahnya dengan senang hati dan serius dalam mengikuti pemebelajaran di sekolah. Oleh karena itu, hargailah minat dan bakat yang dimiliki oleh setiap anak dan dukung lah minat dan bakat yang dimiliki oleh setiap anak, karena setiap anak dilahirkan dengan keistimewaannya masing-masing, jadi kita tidak bisa memukul sama rata kemampuan setiap anak.

AN NISA AULIA KAMILA

191221038

UNIVERSITAS AIRLANGGA

PDB A-58

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image