Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adil Salvino

Mahasiswa Baru di Persimpangan Jalan

Pendidikan dan Literasi | Friday, 12 May 2023, 23:17 WIB
Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiwa Baru (PKKMB) AMERTA Universitas Airlangga di Gedung Airlangga Convention Center pada 23 Agustus 2022 (foto: dokumentasi Adil Salvino).

Sejak Senin (8/5/2023), ribuan lulusan SMA/SMK beramai-ramai mengikuti SNBT. Kelak, sebagian dari mereka akan menjadi mahasiswa baru tiga bulan mendatang. Namun, saya di sini tidak menulis mengenai hiruk pikuk SNBT yang tengah ramai diperbincangkan baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut saya, menjadi mahasiswa baru merupakan tantangan tersendiri setelah mencari kampus impian. Bisa dikatakan, fase menjadi mahasiswa baru adalah fase yang cukup berat bagi sebagian orang, mulai dari beradaptasi dengan lingkungan baru, menyesuaikan diri dengan ekosistem kampus, hingga harus membuat keputusan yang menentukan masa depan seorang mahasiswa.

Culture Shock

Mayoritas mahasiswa pasti adalah anak rantau yang pergi jauh dari rumah untuk menimba ilmu. Tentu menjadi mahasiswa rantau adalah sebuah pilihan yang mau tidak mau harus diambil calon mahasiswa yang ingin berkuliah di kampus impian. Ketidakmerataan pendidikan tinggi di Indonesia membuat sebagian orang rela pergi ke luar pulau untuk berkuliah. Perasaan kaget, terkejut, hingga bingung merupakan reaksi yang lazim dirasakan oleh mahasiswa rantau yang baru pertama kali datang. Kalervo Oberg (1954) sendiri mendefinisikan culture shock sebagai rangkaian reaksi emosional akibat pengalaman di lingkungan dan budaya yang baru.

Banyak faktor yang mendorong adanya culture shock, seperti, penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat lokal, aturan atau norma yang tidak ada di lingkungan asal, hingga menyesuaikan diri dengan status ‘mahasiswa’. Suka tidak suka, mahasiswa rantau harus menerima lingkungan yang menurut mereka asing itu. Pada akhirnya, mahasiswa harus membiasakan diri untuk menjadi bagian dari lingkungan yang baru tersebut. Selain reaksi negatif, Oberg (1954) juga menyatakan bahwa culture shock merupakan proses belajar dan pendewasaan seseorang, termasuk bagi mahasiswa baru.

Ekosistem Kampus

Bisa dibilang lingkungan kampus sangat jauh berbeda dengan lingkungan sekolah. Berbeda dengan sekolah yang sangat kental dengan aturan disiplin terhadap siswanya. Saat menerima status sebagai mahasiswa, individu akan memperoleh kebebasan yang tidak pernah ia dapat saat menjadi siswa, apalagi tidak ada orang tua atau orang dekat yang mengawasi. Namun, sampai dimana kebebasan itu boleh dilakukan? Apakah kebebasan itu tidak memiliki batasan?

Faktanya, setiap mahasiswa harus bisa mempertanggungjawabkan kebebasan yang ia miliki, tidak terkecuali bagi mahasiswa baru. Kebebasan untuk berpikir, kebebasan untuk berperilaku, hingga kebebasan untuk membuat keputusan. Semua itu pasti memiliki konsekuensi, baik disadari maupun tidak disadari oleh mahasiswa baru. Mahasiswa baru harus paham hal ini. Keputusan yang diambil pasti memiliki dampak baik jangka pendek maupun jangka panjang, sesederhana keputusan untuk bergabung ke dalam organisasi atau tidak.

Relevansi Organisasi

Salah satu hal yang seringkali mengganggu pikiran mahasiswa baru adalah apakah sebaiknya ia bergabung ke dalam organisasi atau tidak. Tidak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini banyak influencer yang menggambarkan organisasi sebagai sebuah media kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Organisasi dianggap sebagai kandang para senior untuk memeras mahasiswa baru agar ikut kemauan mereka. Argumen tersebut tentu tidak serta merta muncul ke permukaan. Pasti ada faktor pemicu yang membuat sebagian orang berpikir demikian.

Buruknya birokrasi dan kentalnya pengaruh politik kampus membuat organisasi semakin kehilangan jati dirinya. Organisasi yang seharusnya menjadi wadah untuk berkembang justru dijadikan ladang oleh alumni dan senior untuk melanggengkan pengaruhnya. Bukankah setiap mahasiswa memiliki kebebasan, termasuk kebebasan mahasiswa baru untuk mengambil keputusan? Seharusnya tidak ada alasan bagi mahasiswa baru untuk takut dengan senior saat menjadi anggota organisasi. Atas dasar motif apa para senior terus-menerus mendikte mahasiswa baru agar selalu mengikuti kemauan mereka? Bukankah itu hanya mengenyangkan ego para senior saja.

Sapi Perah

Sebagian mahasiswa baru yang sudah tidak tertarik dengan organisasi memutuskan untuk belajar di luar, seperti mengikuti pelatihan hingga magang. Namun, yang menjadi pertanyaan, bukankah setiap orang yang ingin mengikuti magang harus melampirkan curriculum vitae? Bahkan, ada beberapa role di perusahaan yang mewajibkan calon peserta magang untuk memiliki keahlian khusus. Tentu mahasiswa baru harus memikirkan hal ini. Mau jadi apa ke depannya, apakah mereka memiliki target khusus atau cuma ikut arus saja. Kebebasan untuk mengambil keputusan sudah menjadi hak absolut setiap mahasiswa baru nantinya.

Yang menjadi perhatian adalah, jika mahasiswa baru harus mengikuti pelatihan untuk memenuhi permintaan pasar, bukankah mahasiswa itu ibarat sapi yang siap untuk diperah? Para mahasiswa baru secara tidak langsung didorong oleh para influencer untuk segera mengikuti pelatihan dengan dalih agar siap berkompetisi di dunia magang dan kerja. Padahal, tujuan pendidikan tinggi bukan untuk memenuhi permintaan pasar. Tri dharma perguruan tinggi berisi pengajaran, pelatihan, dan pengabdian masyarakat. Tidak ada poin untuk mempersiapkan mahasiswa baru ke dunia kerja.

Di sinilah terjadi missing link antara tujuan perguruan tinggi dengan tujuan perusahaan. Perusahaan yang berorientasi pada profit, sedangkan perguruan tinggi yang berorientasi pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Memang hal ini hanya disadari sedikit oleh para mahasiswa baru. Namun sejatinya, pemikiran seperti ini lah yang hendaknya dimiliki oleh setiap mahasiswa baru. Omong kosong soal solidaritas dan kontribusi kepada bangsa yang sering digaungkan oleh para senior di kampus. Para senior pun tidak akan bertanggung jawab atas nasib mahasiswa baru ke depannya. Pada akhirnya, tujuan mahasiswa adalah untuk lulus dan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image