Flexing di Sosial Media Meninggalkan Jejak Konsumerisme
Gaya Hidup | 2023-05-08 17:35:55Sosial media terdiri dari berbagai jenis platform aplikasi yang mudah diakses seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan lainnya tentu kini tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Kini, dengan adanya berbagai jenis konten yang disajikan membuat sosial media semakin digemari masyarakat sehingga tidak hanya anak muda saja yang mengakses sosial media, tetapi juga dari semua kalangan mulai dari anak-anak hingga orang tua. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh We Are Social terbukti bahwa pengguna aktif sosial media di Indonesia pada 2023 mencapai angka 167 juta atau setara dengan 60,4% dari jumlah populasi di Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga berada pada urutan kesepuluh di dunia dengan durasi bermain sosial media tertinggi yaitu mencapai 3 jam 18 menit setiap harinya.
Banyaknya jumlah pengguna sosial media di Indonesia mendorong banyaknya jenis konten yang lahir menjadi konsumsi publik dengan jangka waktu yang cepat hingga dapat menghasilkan sebuah tren. Tren adalah sebuah fenomena yang populer dalam suatu jangka waktu tertentu. Sebuah tren juga tidak terlepas dari yang namanya viral. Viral sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna bersifat menyebar luas dan cepat. Sebuah konten yang menjadi tren dan viral ini umumnya mendorong banyak pengguna sosial media untuk terlibat mengikuti tren tersebut dengan cara membuat konten yang serupa kemudian diunggah di sosial media pribadinya. Tentunya sebuah tren tidak memandang umur sehingga siapapun bisa saja terlibat untuk membuat konten yang serupa. Semakin banyak pengguna sosial media yang mengikuti tren tersebut maka tren tersebut dapat bertahan dengan jangka waktu yang lama. Akan tetapi, setelah tren tersebut mulai dianggap bosan oleh masyarakat nantinya akan muncul inovasi atau perkembangan tren lainnya. Jadi, semakin berkembangnya waktu maka tren juga akan semakin berkembang menyesuaikan perkembangan yang ada di masyarakat. Masyarakat yang tidak habis dalam kreatif berkreasi di sosial media terus meramaikan beranda sosial media.
Di era yang penuh disrupsi ini dengan begitu cepatnya perkembangan tren yang ada di masyarakat, tidak jarang pada akhirnya akan menjurus ke hal negatif. Misalnya, tren flexing yang akhir-akhir ini sedang populer dilakukan oleh kalangan selebriti, influencer, atau public figure. Tren flexing merupakan suatu tindakan memamerkan harta yang dimiliki kepada publik sehingga terkesan memiliki gaya hidup mewah. Umumnya, tren flexing ini digambarkan dengan kegiatan pamer saldo ATM, pamer barang branded bernilai fantastis, liburan ke luar negeri, hingga kendaraan mewah. Pemakaian barang mewah dengan nilai fantastis yang diperlihatkan oleh tokoh publik di media sosial ini kemudian seringkali memancing masyarakat untuk melakukan perdebatan yang menimbulkan pro dan kontra. Sebenarnya tren flexing bukan merupakan fenomena baru yang tiba-tiba hadir di masyarakat karena sejatinya fenomena ini sudah ada sejak dahulu seperti yang tertulis dalam salah satu buku berjudul “The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions”. Dalam buku tersebut, kata flexing yang saat ini digunakan dulunya disebut dengan menggunakan istilah ‘Konsumsi yang mencolok’ untuk menggambarkan masyarakat dengan kelas ekonomi atas yang kerap memamerkan hartanya dengan tujuan menunjukkan status sosialnya.
Begitu maraknya fenomena flexing di kalangan masyarakat ini banyak terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keinginan untuk diakui status sosialnya. Umumnya individu tersebut akan melakukan berbagai cara agar dirinya dianggap sebagai kaum yang berada. Kedua, kondisi lingkungan di sekitar mempengaruhi tekanan sosial yang dialami seseorang sehingga mendorong seseorang untuk memiliki gaya hidup yang mewah. Ketiga, kurangnya empati terhadap sesama. Keempat, adanya perasaan insecure dengan orang di sekitar. Oleh karena itu, biasanya ia akan memperlihatkan dirinya sebagai orang yang berhak untuk dihargai dengan cara flexing tersebut.
Meningkatnya popularitas fenomena flexing sebagai ajang untuk pamer kekayaan banyak menimbulkan pro kontra di masyarakat karena memiliki dampak negatif bagi lingkungan sosial. Timbulnya kecemburuan sosial atau rasa iri terhadap orang lain merupakan salah satu dampak negatif dari fenomena yang kerap kali ditemui. Tidak jarang rasa iri tersebut dilampiaskan melalui hujatan, ujaran di sosial media, bahkan dapat menjadi sebuah perbincangan yang mengarah ke hal negatif. Begitu kuatnya pengaruh dari fenomena flexing ini juga terkadang membuat seseorang menjadi kehilangan temannya karena dianggap tidak dapat mengikuti perkembangan tren yang terbilang mewah. Pengaruh-pengaruh yang telah disebutkan sebelumnya pada akhirnya akan berimbas pada peningkatan perilaku konsumerisme di masyarakat.
Selebriti, influencer, hingga pejabat memiliki pengaruh tersendiri dalam menarik daya beli masyarakat pada barang mewah sehingga membuat hal ini berkontribusi pada meningkatnya budaya konsumerisme di Indonesia. Gaya hidup konsumerisme yang kini perlahan dianggap wajar sebenarnya adalah salah satu contoh perilaku penyimpangan sosial di masyarakat. Gaya hidup ini apabila terus dibiarkan akan menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku konsumerisme nantinya dapat menimbulkan rasa ketagihan dan sulit untuk dikontrol. Kemudian, hal ini merambat ke bengkaknya pengeluaran belanja karena konsumsi yang besar pada barang yang belum tentu benar-benar menjadi prioritas kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, kesempatan untuk menabung akan berkurang dan ketersediaan dana darurat hanya dapat dihitung dalam jumlah kecil saja. Padahal, menabung adalah hal penting yang merupakan bagian dari investasi masa depan. Apabila dana yang seharusnya dapat digunakan untuk menabung kemudian malah digunakan untuk membelanjakan barang mewah maka hal ini menandakan kurangnya kesadaran akan kesiapan pada kebutuhan di masa mendatang.
Masyarakat seharusnya dapat lebih bijak dalam mengikuti tren di sosial media dan bijak dalam mengelola keuangan supaya terhindar dari dampak negatif budaya konsumerisme. Perlunya sikap kritis dalam menanggapi tren yang sedang berkeliaran di masyarakat agar tidak terjebak dalam lingkaran konsumerisme. Selain itu, perlunya kesadaran akan tanggung jawab terhadap konsumsi pada kebutuhan yang menjadi prioritas terlebih dahulu dapat membantu untuk mengurangi jumlah pengeluaran yang tidak diperlukan. Kesadaran tersebut dapat diwujudkan melalui terbentuknya kebiasaan untuk melek dengan keadaan finansial dan terbiasa untuk membuat prioritas serta anggaran biaya yang akan dikeluarkan setiap bulannya. Dengan begitu, secara perlahan akan lebih selektif dalam berbelanja dan dapat menghemat pengeluaran setiap bulannya. Kebiasaan baik ini jika terus diterapkan dalam keseharian akan menimbulkan kestabilan finansial sehingga di masa mendatang masyarakat dapat memiliki tabungan sebagai investasi di masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.