Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Demokrasi dari Klasik ke Deliberatif

Politik | Monday, 08 May 2023, 08:58 WIB
Ilustrasi reruntuhan Kota Athena, sumber photo : id.changiairport.com

Dalam studi demokrasi tidak pernah meninggalkan kajian demokrasi klasik dari rangkaian narasi sejarahnya. Hampir semua mahasiswa yang belajar disiplin ilmu politik ketika mempelajari studi demokrasi, dipastikan bab mengenai demokrasi klasik di negara kota Athena menjadi salah satu bagian harus dipelajari serta dipahami.

Pertanyaannya mengapa demokrasi klasik Athena harus dipelajari, padahal terjadi lima abad sebelum masehi, memiliki rentang waktu berjarak jauh dengan kita. Jawaban dari David Held dalam buku Models of Democracy, sebab praksis demokrasi Athena menjadi inspirasi serta fondasi bagi sistem demokrasi modern.

Tulisan ini mengenai sejarah ringkas demokrasi Athena sampai demokrasi deliberatif, tujuannya agar kita bisa belajar dari generasi terdahulu, serta mampu menarik pelajaran serta hikmah dari kisah mereka.

Kebebasan Berbicara

Negara kota Athena merupakan salah satu city state dari ratusan negara kota di masa Yunani Kuno, dari ratusan negara kota itu, hanya beberapa saja yang terkenal kemasyurannya seperti Athena, Sparta, Korinthos, dan Thebes. Peradaban negara kota lahir dari proses interaksi bangsa Yunani dengan peradaban lain, mereka mempelajari seni arsitektur, bahasa, dan kebudayaan dari Mesir, Mesopotamia, dan Babilobia.

Negara kota Athena memiliki dua karakteristik sangat khas, jumlah penduduknya tidak terlalu banyak serta wilayahnya tidak terlalu luas. Dari kedua karakteristik itu menjadikan masyarakat Athena saling mengenal satu sama lain. Mereka terbiasa bertatap muka secara langsung, dari pertemuan tersebut melahiran budaya kebebasan berbicara. Berbagai persoalan hidup mereka bicarakan, termasuk membicarakan masalah politik kenegaraan. Implikasi dari adanya kebebasan berbicara, setiap penyelesaian suatu masalah politik, jalan keluar diambil tergantung dari kekuatan argumentasi, sehingga menimbulkan tumbuhnya daya kritis ditengah-tengah masyarakat Athena (Suhelmi, 2007).

Kebebasan berbicara kemudian hari menjadi salah satu fondasi dari sistem demokrasi modern, bahwa setiap negara mengklaim diri sebagai negara demokrasi, salah satu indikatornya menjamin kebebasan berbicara bagi warga negaranya.

Majelis Tinggi Ecclesia

Di negara kota Athena terdapat majelis tertinggi bernama ecclesia, beranggotakan warga negara laki-laki minimal berusia dua puluh tahun, majelis ecclesia bersidang sebanyak empat puluh kali dalam setahun, membicarakan serta membahas berbagai persoalan kenegaraan, setiap keputusan dibuat dan ditetapkan merupakan hasil dialektika antar anggota ecclesia (Held, 2006).

Meski sistem demokrasi Athena bersifat partisipatif melibatkan warga negara, ternyata sistem demokrasi langsung ini tidak seutuhnya mengcover hak politik seluruh masyarakat Athena, terdapat tiga kelompok tidak terakomodir dalam sistem demokrasi Athena, yaitu imigran, budak, dan perempuan.

Kaum imigran meskipun sudah tinggal beberapa generasi di Athena, tidak memiliki hak politik menjadi anggota majelis ecclesia, umumnya mata pencaharian mereka sebagai pedagang, jumlah mereka di negara kota Athena tidak terlalu signifikan, tetapi secara ekonomi mereka termasuk kelompok ekonomi mapan (Suhelmi, 2007).

Kelompok berikunya tidak memiliki hak berpolitik adalah budak (hamba sahaya), masyarakat dari negara kota yang ditaklukan oleh Athena dalam peperangan, sehingga semua penduduknya menjadi budak harus melayani sang pemenang perang, mereka dipekerjakan disektor pertanian dan pertambangan, secara kuantitas populasi kelompok ini sangatlah besar diperkirakan 3:2 dengan warga negara Athena (Held, 2006).

Kelompok terakhir adalah perempuan, mereka tidak berhak menyampaikan pemikiran politik di majelis ecclesia, kaum perempuan Athena ketika itu ditempatkan disektor domestik (privasi), mereka tidak diperkenankan terlibat di ranah politik (Suhelmi, 2007).

Meski mendapat apresiasi sebagai perintis sistem demokrasi, sistem demokrasi Athena tidak seideal kita bayangkan, terdapat anomali dibatasinya peran politik komunitas sosial tertentu, kedudukan mereka dianggap tidak setara, sehingga tidak memiliki hak politik sama. Tentunya konsep demokrasi klasik dengan demokrasi modern berbeda sangat jauh, berbagai kekurangan dari praksis demokrasi sebelumnya, sudah banyak mengalami perbaikan, terpenting sistem demokrasi harus terus beradaptasi menghadapai tantangan zamannya.

Sistem demokrasi saat ini telah menjadi trend global, sejumlah fakta menunjukan semakin banyak negara-negara di dunia menjadikan demokrasi sebagai sistem politiknya, sepanjang abad ke dua puluh gelombang demokratisasi tidak terbendung, ia telah menyapu hampir seluruh penjuru dunia, satu persatu rezim-rezim otoriter bertumbangan, mentransformasi diri dari sistem otoriter-totaliter ke sistem politik lebih demokratis.

Tetapi, meski semakin bertambah negara menganut sistem demokrasi, bukan berarti praksis demokrasi dijalankan secara ideal, muncul beberapa anomali seperti oligarki, populisme, dan tirani mayoritas. Sehingga dari beberapa anomali itu dibutuhkan konsepsi baru dalam berdemokrasi, salah satunya adalah demokrasi deliberatif.

Demokrasi Deliberatif

Kemunculan demokrasi deliberatif dilatarbelakangi sisi negatif dari praksis demokrasi, yaitu kemunculan agregasi mayoritas, memandang kehendak umum (orang banyak) sebagai penjumlahan dari kehendak individu atau suara mayoritas menjadi patokan. Misalnya ketika 80% dari total populasi, menginginkan jalan beton bukan diaspal, maka jalan beton wujud dari kehendak umum, meskipun keputusan tersebut harus menyingkirkan suara kelompok minoritas menghendaki jalan itu diaspal (Ardian, 2011),

Dampak dari agregasi mayoritas bisa membunuh suara-suara dari “yang lain” atau liyan, mereka yang tidak kuasa menyampaikan aspirasi serta keinginannya, dan menjaga kelangsungan identitas politiknya. Terjadi relasi kekuasaan bersifat timpang atas nama kehendak orang banyak, dari sinilah agregasi deliberatif menemukan peran sejarahnya, dengan tidak memandang kehendak umum sebagai kehendak individu, justru kehendak orang banyak menimbulkan persoalan kemanusiaan ketika membatalkan hak minoritas.

Demokrasi deliberatif menemukan relevansinya ketika “yang lain” atau liyan tidak menemukan kanal artikulasi pemikiran dan gagasan, menjadi keniscayaan bila kemudian sistem politik menghadirkan aturan berdemokrasi bisa menjamin setiap orang menyampaikan pemikiran dan gagasan secara terbuka diruang publik, tanpa rasa ketakutan dan kekhawatiran.

Menurut Budi Hardiman (2013) demokrasi deliberatif merupakan usaha perbincangan pendapat berbagai kelompok sosial untuk mencapai konsesus rasional, adapun syarat demokrasi deliberatif adalah (1) semua orang mampu berbicara, (2) boleh mempersalahkan setiap pendapat, serta bebas mengajukan pendapat dalam diskursus, (3) boleh menyampaikan keinginan dan kebutuhan, (4) tiap orang tidak boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya.

Demokrasi deliberatif menumbuhkan tradisi berdialog atau bertukar pikiran diantara sesama warga negara, tidak memandang kelompok mayoritas atau minoritas, semua orang memiliki kesempatan sama berkomunikasi secara terbuka, terbebas dari dominasi dan intimidasi, terpenting dalam praksis demokrasi deliberatif warga negara yang terlibat dialog harus bersedia berbicara, serta bersedia mengubah pendapatnya jika keliru.

Praksis demokrasi deliberatif menjadi ruang bagi tiap warga negara dalam membangun kesiapan untuk berbeda, berkompetisi secara sehat, toleransi serta saling menghormati. Demokrasi deliberatif menjadi jawaban dari praksis ketidaksetaraan warga negara, ia menjadi solusi dari tersumbatnya suara-suara dari pinggiran sistem politik.

Gili Argenti, Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (UNPAD), Ketua Bidang Hikmah Dan Hubungan Antar Lembaga, Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Karawang.

Referensi Artikel

1. Adian, Donny Gahral. 2011. Teori Militansi : Esai-Esai Politik Radikal (Jakarta : Penerbit Koekoesan).

2. Held, David. 2006. Models of Democracy. (Polity Press Ltd, Cambrigde).

3. Hardiman , F. Budi. 2013. Demokrasi Deliberatif. (Yogyakarta, Kanisius).

4. Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokrasi Ketiga. (Grafiti, Jakarta).

5. Suhelmi , Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta, Gramedia).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image