Mendahulukan Orang Lain itu Esprit des Corpses
Agama | 2021-12-23 06:41:22IBNU ATHA’ILLAH salah seorang ulama sufi berpendapat, tanda orang zuhud (tidak rakus) terhadap dunia terbagi dua, yaitu tanda ketika memiliki harta dan tanda ketika tidak memilikinya. Ketika memiliki harta, orang yang zuhud akan berupaya mendahulukan orang lain, dan ketika tidak memilikinya, ia selalu bersikap lapang dada dan menerima apa adanya.
Orang yang mendahulukan kepentingan orang lain, berarti mensyukuri nikmat keberadaan, dan orang yang merasa lapang dada ketika tidak memiliki harta berarti mensyukuri nikmat ketiadaan. Itulah buah pemahaman dan makrifat. Sebab, anugerah Allah tidak hanya berupa pemberian harta, Dia tidak memberi pun merupakan salah satu bentuk anugerah-Nya.
Ibnu Atha’illah berkesimpulan seperti tersebut setelah ia meneliti kehidupan para sahabat Rasulullah saw. Karena keimanan dan makrifatnya yang tinggi, mereka berani berkorban untuk orang lain.
Harta bahkan jwa mereka korbankan bukan karena ingin mendapatkan balasan, tapi mereka melakukannya sebagai wujud keimanannya kepada Allah. Mereka sangat yakin dengan berbuat baik kepada orang lain akan mendapat balasan dan ridha Allah Swt.
Suatu malam Rasulullah saw kedatangan beberapa otang tamu. Ia tak bisa menjamunya. Kemudian ia menawarkan kepada para sahabatnya. Abu Thalhah dan Ummu Sulaim segera menyambut tawaran Rasulullah saw tersebut, padahal pada malam itu di rumahnya hanya tersedia jatah makanan bagi keluarga mereka.
Ketika pulang ke rumahnya, mereka segera menidurkan anak-anaknya. Di rumahnya yang sempit dengan sengaja lampu minyaknya agak diredupkan, mereka berdua pura-pura makan di ruangan lain agar tamu mereka bisa makan dengan tenang.
Akhirnya malam-malam mereka berdua dilewatkannya dengan menahan lapar dan perut keroncongan, sementara si tamu merasa hilang lapar dan dahaganya.
Perilaku Abu Thalhah tersebut menjadi sababun nuzul (sebab turunnya) ayat Al-Qur’an surat Al-Hasyr :9, Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Para ulama ahli akhlak menyebut pengorbanan para sahabat Rasulullah saw dalam mendahulukan kepentingan orang lain dengan sebutan itsar, kebalikannya adalah atsarah, egois, individualis. Di kalangan militer pengorbanan para sahabat Rasulullah saw dalam mendahulukan kepentingan orang lain dikenal sebagai esprit des corpses, semangat kebersamaan.
Kalangan para psikolog menyebutkan manfaat dari pengorbanan yang dilakukan para sahabat Rasulullah saw dalam mendahulukan kepentingan orang lain sebagai kohesi kelompok, perekat kebersamaan dan persaudaraan.
Mendahulukan kepentingan orang lain merupakan wujud kesempurnaan iman seseorang kepada Allah Swt. Mendahulukan kepentingan orang lain juga merupakan akhlak mulia yang bernilai tinggi di hadapan Allah Swt.
Para ahli akhlak menggolongkannya sebagai akhlak mahmudah (akhlak terpuji) yang berada di urutan paling atas. Orang yang paling sempurna keimanannya diantara kalian adalah yang paling mulia akhlaknya (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Al Hakim).
Ibnu Qayyim berpendapat, itsar identik dengan kedermawanan. Menurutnya, terdapat sepuluh macam kedermawanan, yakni kedermawanan dengan mengorbankan jiwa demi tegaknya kebenaran dan keadilan; kedermawanan dengan kekuasaan (mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya); kedermawanan dengan kesenangan (melayani kepentingan orang lain); kedermawanan dengan mengajarkan ilmu.
Selanjutnya kedermawanan dengan jabatan yang dimilikinya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan; kedermawanan dengan kekuatan badan; kedermawanan dengan tidak membalas kejelekan terhadap orang yang berbuat zalim; kedermawanan dengan kesabaran dalam menghadapi berbagai masalah; kedermawanan dengan berupaya keras memiliki akhlak mulia; dan kedermawanan dengan mengeluarkan harta benda demi kepentingan orang lain.
Kokohnya persatuan dan persaudaraan di kalangan para sahabat dan orang-orang saleh dahulu, salah satunya karena mereka melakukan itsar dalam kehidupan sehari-hari. Para sahabat dan orang saleh dahulu tidak tenteram jiwanya apabila mereka tak bisa menolong atau memenuhi kebutuhan saudara-saudaranya. Senasib sepenanggungan benar-benar menjadi pola hidup keseharian mereka.
Diakui ataupun tidak, pada saat ini, itsar merupakan perilaku yang sangat mahal di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pola hidup masyarakat pada saat ini sudah mengarah kepada egoisme, mementingkan diri sendiri, tak peduli lagi dengan kepentingan orang lain.
Contoh kecil, dalam sebuah bis kota kota terpampang sebuah stiker, utamakan tempat duduk bagi lansia, wanita hamil dan anak-anak . Namun apa yang terjadi? Stiker dianggap hanya hiasan belaka.
Orang-orang tak memerdulikannya lagi. Sekalipun di hadapan orang yang tengah duduk berdiri seorang nenek-nenek, wanita hamil, ataupun anak-anak, orang yang duduk tersebut, pura-pura tidur, tak peduli lagi dengan orang lain yang kepayahan, yang penting dirinya enak dan nyaman.
Demikian pula di tempat umum lainnya. Di sebuah kantor pelayanan jasa yang banyak dikunjungi orang terpampang tulisan agak besar di ruangan para pengunjung, Demi kenyamanan bersama, terima kasih anda tidak merokok di ruangan ini. Namun apa yang terjadi?
Sama seperti di bis tadi, stiker hanya dianggap sebagai tulisan penghias dinding. Para perokok tak memerdulikannya lagi, bahkan tak perduli lagi dengan orang-orang yang batuk-batuk disampingnya karena asap rokok yang keluar dari mulutnya.
Di jalan raya sama saja. Para pengendara sudah tak memerdulikan lagi orang lain, sekalipun orang lain dalam bahaya. Suara sirine ambulans atau pemadam kebarakan yang meraung-raung meminta jalan sudah tak dihiraukannya lagi.
Padahal sirine ambulans atau pemadam kebakaran dinyalakan bukan untuk gaya-gayaan, tapi memang sedang tergesa-gesa meminta diberi jalan agar cepat sampai ke tujuan dan segera dapat menolong orang yang sedang dalam bahaya. Tapi, para pengendara jalan sudah egois, tak mau memberi jalan. Mereka seolah-olah berpikiran biarkan saja, yang menderita kan orang lain. Bukan saya.
Sungguh suatu kemuliaan apabila kita dapat menghidupkan dan menerapkan kembali itsar dalam kehidupan keseharian kita. Dengan berperilaku itsar, insya Allah persatuan, persaudaraan akan kembali terjalin kokoh, bukan saja di kalangan umat Islam, tapi di antara sesama manusia. Lebih dari itu, itsar merupakan satu langkah mulia untuk membuktikan keluhuran dan kemuliaan ajaran Islam.
Menghindari sifat egois dan meringankan penderitaan orang lain merupakan sebagian dari tanda tanda orang yang beriman dan bertakwa. Selayaknya kita memohon perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari sikap egois dan melupakan kepentingan orang lain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.