Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Romi Febriyanto Saputro

Pustakawan Bukan Profesi Kaleng-kaleng!

Pendidikan dan Literasi | 2023-04-18 11:11:43

*Oleh : Romi Febriyanto Saputro (Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen)

Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, menyatakan tugas pustakawan adalah mengumpulkan berbagai informasi yang tersebar kemudian disajikan untuk kepentingan publik. Untuk itu, para pustakawan harus menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Selain itu, pustakawan juga harus menjadi pemimpin dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada masyarakat (Republika, 20 Januari 2023).

Pernyataan Kepala Perpustakaan Nasional RI di atas menunjukkan bahwa pustakawan bukan profesi kaleng-kaleng. Tidak semua orang dapat diangkat menjadi Pejabat Fungsional Pustakawan. Tidak semua pejabat struktural yang mengajukan pindah menjadi Pejabat Fungsional Pustakawan harus dikabulkan. Pustakawan harus memiliki kompetensi yang unggul dalam dalam membangun sumber daya manusia melalui perpustakaan. Apalagi ketika zaman sudah bergerak menuju smart society atau yang lebih dikenal dengan istilah Society 5.0.

Mengutip tulisan Siti Mahfudzoh (Republika, 22 Agustus 2019), gagasan ini muncul atas respon revolusi Industri 4.0 sebagai signifikannya perkembangan teknologi, tetapi peran masyarakat sangat menjadi pertimbangan atas terjadinya revolusi industri 4.0 ini. Society 5.0 menawarkan masyarakat yang berpusat pada manusia yang membuat seimbang antara kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat menghubungkan melalui dunia maya dan dunia nyata. Di society 5.0 itu bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung. Layanan kedokteran dan pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi akan mencapai desa-desa kecil.

Sebenarnya, konsep revolusi industri 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Yaitu revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (artificial intellegent) sedangkan society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya. Konsep society 5.0 ini, menjadi inovasi baru dari society 1.0 sampai society 4.0 dalam sejarah peradaban manusia.

Mulai dari society 1.0 manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan. Pada society 2.0 adalah pertanian di mana manusia sudah mulai mengenal bercocok tanam. Lalu pada society 3.0 sudah memasuki era industri yaitu ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk menunjang aktivitas sehari-hari, setelah itu muncullah society 4.0 yang kita alami saat ini, yaitu manusia yang sudah mengenal komputer hingga internet juga penerapannya di kehidupan.

Jika society 4.0 memungkinkan kita untuk mengakses juga membagikan informasi di internet. Society 5.0 adalah era di mana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi melainkan untuk menjalani kehidupan. Sehingga perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi pada kemudian hari.

Pustakawan bukan profesi kaleng-kaleng. Menurut saya ada beberapa kompetensi yang harus melekat pada diri pustakawan dalam mengisi era Society 5.0. Pertama, seorang pustakawan harus mencintai buku. Bukti cinta itu adalah suka membaca koleksi buku yang dikelolanya. Jika seorang pustakawan tak mau membaca buku yang dia jaga berarti dia telah menurunkan martabat diri sekedar menjadi penjaga buku.

Pustakawan perlu membaca koleksi yang dia jaga sama seperti penjaga apotik yang sangat hafal dengan spesifikasi obat yang dijaga. Pustakawan tidak cukup menghafal letak buku tetapi juga harus hafal spesifikasi buku yang dilayankan. Latar belakang judul buku, latar belakang pengarang, garis-garis besar isi buku, dan segmentasi pembaca buku merupakan pengetahuan yang dapat dipetik oleh pustakawan ketika mau membaca koleksi yang dijaga. Pustakawan adalah orang yang paling layak merekomendasikan buku yang tepat untuk pemustaka yang beragam latar belakang kehidupannya.

Kedua, seorang pustakawan mesti mau dan mampu merajut aneka informasi yang telah dibaca menjadi tulisan yang bergizi tinggi. Borges dikenal sebagai penulis prosa dan esai-esai yang tidak kenal kompromi pada politik. Pada 1946, ketika Presiden Juan Domingo Perón mulai mengubah arah politik Argentina, Borges menjadi penulis “bertangan dingin” yang terus melancarkan kritik pedas. Ia diam-diam mencoba menyelamatkan perpustakaan dari kobaran api politik.

Seorang pustakawan sekaligus sastrawan besar Argentina, Jorge Luis Borges (1899-1986), seperti dikutip oleh Naufil Istikhari (Tempo,19 Juni 2013) pernah berujar: “I have imagined that paradise will be a kind of library!” (Aku membayangkan surga itu menjadi semacam perpustakaan). Bagi Borges, tak ada tempat yang paling menyenangkan selain perpustakaan. Ia menyediakan segala yang dibutuhkan, untuk pengetahuan.Tentu Borges tidak sedang melancarkan serangan filsafat atas konsep metafisika surga seperti yang rajin dilakukan khas pemikir Barat pada masanya. Ia hanya melayangkan gambaran imajiner, saking senangnya berada di perpustakaan, seakan-akan ia surga. Sebab, di perpustakaan, ia menemukan indahnya kehidupan.

Perpustakaan di mata Borges menjadi tampak gagah. Ia sendiri diangkat menjadi Direktur Biblioteca Nacional (Perpustakaan Umum) pada 1955. Terlahir dari keluarga kelas menengah Argentina, kemudian menjabat kepala perpustakaan, membuat Borges merasakan pengalaman manis dengan perpustakaan. Sangat masuk akal jika perpustakaan yang dikelolanya mengalami peningkatan pemanfaatan.

Ketiga, pustakawan harus mampu beradaptasi dengan teknologi informasi. Suka membaca dan suka menulis adalah modal utama seorang pustakawan untuk menjelajahi lautan informasi yang tersedia karena kemajuan teknologi informasi. Artinya, teknologi informasi memudahkan seorang pustakawan untuk melakukan pengumpulan informasi, seleksi informasi dan menyebarluaskan informasi kepada pemustaka. Jurnal elektronik, karya tulis elektronik, dan buku elektronik hari ini bertebaran di dunia maya. Tugas pustakawan adalah membuat panduan bagi pemustaka agar tidak tersesat dan tenggelam ketika melayari samudera informasi.

Keempat, pustakawan adalah pendorong kreasi dan inovasi. Kreasi dan inovasi adalah buah dari membaca dan menulis. Menurut Kepala Perpusnas RI, Muhammad Syarif Bando dalam situs resmi Perpusnas RI, 27 Februari 2020, secara umum literasi dibagi empat tingkatan. Yang pertama, kemampuan mengumpulkan sumber bahan bacaan yang cukup. Bahkan, UNESCO mensyaratkan minimal setiap orang memiliki tiga buku baru dalam setahun. Kedua, yakni kemampuan memahami secara tersurat maupun tersirat. Ketiga, literasi dimaknai sebagai kemampuan menghasilkan ide/gagasan, teori, kreativitas, dan inovasi baru. Dan yang terakhir, literasi adalah kemampuan menciptakan barang atau jasa yang bermutu. Pustakawan adalah pemandu literasi yang mengajak pemustaka untuk rajin mengumpulkan informasi, memberdayakan informasi dan melahirkan kreasi dan inovasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image