Etika Komunikasi Pejabat Publik dalam Penanganan Pandemi Covid-19
Politik | 2023-04-18 04:31:10Komunikasi pejabat publik sangat memengaruhi masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19 dan berkorelasi positif dengan efektivitas penanganan Covid-19. Sayangnya, sebagaimana ditemukan penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data dari media online yang credible, terdapat sejumlah pejabat publik yang sering melontarkan pernyataan kontroversial tentang Covid-19 yang tidak sepenuhnya berbasis ilmiah, data akurat, dan fakta empirik. Selain menimbulkan problem etika komunikasi, hal ini telah memunculkan tanggapan pro kontra, kegaduhan, kesimpangsiuran, dan menggangu serta menghambat percepatan dalam penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan agar pejabat publik memperhatikan dan mengedepankan etika komunikasi dalam penanganan pandemi Covid-19 agar pandemi Covid-19 dapat dikendalikan, dan cepat dienyahkan dari bumi Indonesia. Pejabat publik atau negara yang mewakili suatu lembaga atau menjadi juru bicara dari suatu organisasi, dipandang sebagai sumber kolektif (collective source)1 dan merupakan komunikator politik yang memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik2. Sebagai pejabat publik, tutur katanya harus berkualitas dan bijak. Sayangnya di masa pandemi Covid-19, banyak pejabat publik yang melontarkan pernyataan kontroversial tanpa mengindahkan etika komunikasi. Sehingga banyak menimbulkan kegaduhan, umpan balik negatif, dan berkontribusi menjadikan kurva dan trend pandemi Covid-19 di Indonesia masih tetap tinggi. Menurut Koordinator Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyatakan penambahan kasus positif di Indonesia masih terus naik dan mencapai angka 17,61 persen, jauh melampaui rata-rata kasus aktif di dunia yang sebesar 6,58 persen.3 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan juga jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 di seluruh Indonesia telah mencapai 2.852.200. Kemudian yang meninggal sebanyak 72.879 orang, dan 536.292 positif aktif (masih sakit), serta 2.243.029 orang dinyatakan sembuh. 4 Banyak faktor yang menyebabkan kurva dan trend pandemi Covid-19 masih tinggi. Salah satunya, sebagaimana dicermati Sulaiman dan Sani, karena absennya komunikasi publik yang tepat, serta buruknya tata kelola dan transparansi data, termasuk mengatur informasi Covid-19. Alih-alih menggunakan pendekatan komunikasi efektif dalam mengatasi pandemi Covid-19, pemerintah justru menyampaikan pesan-pesan yang cenderung meremehkan. Bahkan menyangkal bahaya, dampak, dan skala wabah, dilandaskan logika semu bahwa hal ini akan dapat membuat warga “tidak panik” demi kelangsungan kegiatan ekonomi. 5 Dalam catatan, bukan saat pandemi Covid-19 saja pejabat publik melontarkan pernyataan kontroversial, melainkan sudah sering terjadi. Contohnya Menteri Agama Fachrul Razi (kemudian diganti oleh Yaqut Cholil Qoumas) melontarkan soal agen radikalisme good looking,6 doa disisipi bahasa Indonesia, wacana pelarangan cadar, celana cingkrang, pengguna niqab atau cadar untuk masuk ke instansi milik pemerintah, heboh khutbah Jum’at tanpa sholawat7, dan lain sebagainya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.