Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Al Quran itu Mengajarkan Kita Menjaga Orisinalitas

Agama | Sunday, 09 Apr 2023, 04:00 WIB

Ketika turun surat Al’Ashr, Amr ibnu Al ‘Ash belum masuk Islam, namun ia dapat merasakan getaran keagungan surat yang hanya tiga ayat tersebut. Ia pun menyebut surat tersebut dengan sebutan wajiizatun baliighah, surat pendek yang mengguncangkan.

Ketika mendengar surat tersebut, Musailamah al Kadzdzab yang piawai dalam sastra Arab dan selalu mempermainkan dan melecehkan Nabi Muhammad saw ia membuat tandingan surat al ‘Ashr yang ia beri nama surat al Wabar (surat kelinci). Isinya hanya menerangkan susunan tubuh kelinci yang memiliki dua telinga panjang dan menyuruh sang kelinci untuk berhati berjalan karena ada lubang di hadapannya.

Ia membacakan surat karyanya tersebut di hadapan Amr ibnu Al ‘Ash. Setelah mendengar surat buatan tersebut, Amr ibnu Al ‘Ash tidak merasakan getaran apa-apa serta tidak dapat menarik makna apapun dari surat buatan sastrawan yang mengaku nabi pesaing Nabi Muhammad saw tersebut. Kemudian Amr ibnu Al ‘Ash berkomentar, “Anda mengetahui bahwa aku mengetahui Anda itu seorang pendusta” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz IV, hal. 457).

Selang beberapa abad kemudian, banyak penerus Musailamah al Kadzdzab bermunculan. Mereka mencoba berkarya memalsukan al Qur’an baik tulisan maupun isinya. Namun seperti tokoh-tokoh pemalsu al Qur’an sebelumnya, tak ada karya yang berhasil menyainginya.

Pada masa pemerintah Khalifah al Ma’mun terdapat seorang pemuda yang berprofesi sebagai seorang penulis dan sastrawan. Ia memahami kitab Taurat dan Injil, sayangnya ia senang memalsukan isi dan kandungannya. Hasil karyanya ia jual kepada para al waraqqin (kutu buku, kolektor tulisan) dan mendapat sambutan yang antusias dari para pembaca. Karena mendapat sambutan hangat dari para pembaca, ia semakin semangat berkarya seraya tetap memalsukan kitab Taurat dan Injil, malahan ia bermaksud memalsukan kitab suci al Qur’an.

Untuk memuluskan niatnya, ia mengikuti beragam kajian al Qur’an yang biasa diselenggarakan kekhalifahan al Ma’mun. Dalam suatu kajian al Qur’an, ia bertemu dengan Khlaifah al Ma’mun yang juga mengajaknya berdialog. Pada akhir dialognya Khalifah mengajak sang penulis/sastrawan tersebut untuk memeluk Islam, namun ia bertahan dengan agama Yahudi sebagaimana agama para leluhurnya.

Setahun kemudian, Khalifah al Ma’mun bertemu kembali dengan penulis/sastrawan tersebut. Khalifah merasa heran sebab kali ini penampilannya lebih Islami dan ramah terhadap jamaah yang hadir. Padahal setahun lalu, ia terbiasa bersikap sinis terhadap jemaah atau umat Islam.

Seperti tahun lalu, Khalifah berdialog dengan sang penulis/sastrawan tersebut. Salah satu yang menjadi bahan dialog adalah perubahan sikapnya terhadap umat Islam dan terhadap al Qur’an. Ia pun menjelaskan kepada Khalifah bahwa dirinya telah memeluk Islam.

“Ternyata, al Qur’an itu benar-benar firman Allah, tak ada yang mampu memalsukannya. Aku terbiasa memalsukan kitab Taurat dan Injil, dan hasilnya selain laku dijual, juga berhasil mengecoh keyakinan umat. Namun, ketika aku memalsukan al Qur’an, selain hasilnya tak laku dijual, umat Islam pun mengetahui dan merasakan kepalsuannya. Karena itulah, aku memutuskan memeluk Islam, karena kemurnian ajarannya yang selalu dijaga Allah dan kaum muslimin.” Demikian kata Sang Penulis/Sastrawan.

Kisah tersebut dinukil dari Tafsir Al Qurthuby (Al Jami’ li Ahkami al Qur’an) karya Imam Al Qurthuby, Juz 12, hal . 180 ketika melengkapi tafsir Q. S. Al Hijr : 9. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”

Terdapat beberapa pelajaran dari dua kisah tersebut. Pertama, selain sebagai mukjizat, kalimat-kalimat dalam ayat al Qur’an memiliki sifat ijaz, artinya kalimat-kalimat dalam ayat-ayat al Qur’an itu memiliki keluasan makna meskipun kalimat-kalimatnya pendek. Kita dapat membandingkan kedalaman makna surat al ‘Ashr dengan surat al Wabar hasil goresan tangan Musailamah, sang pembohong yang nirmakna.

Kedua, Allah menjamin keorisinalitasan atau keaslian al Qur’an. Tak akan ada seorang pun yang mampu menandingi ke-ijaz-an al Qur’an. Juga tak akan ada orang yang mampu memalsukannya.

“Katakanlah, Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan al Qur’an ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.’ ” (Q. S. Al-Isra:88)

Ketiga, hanya sesuatu yang orisinil saja yang berharga dan bertahan selamanya. Kita harus belajar menjaga orisinalitas diri dan menjadi diri sendiri (be yourself), mulai dari penampilan, kemampuan, dan tindakan.

Diakui atau tidak, pada saat ini banyak orang yang melupakan dirinya sendiri, ia memakai topeng-topeng kepalsuan. Dalam mengejar penampilan atau gaya hidup mereka ingin sejajar dengan kaum selebritas, padahal penghasilannya jangan untuk bergaya hidup mewah, sekedar untuk memenuhi kebutuhan makan-minum saja sudah impas.

Namun karena ingin mendapatkan pujian dan pujaan, mereka memaksakan diri memenuhi keinginan gaya hidup selebritasnya dengan berbagai cara. Akhirnya, penghasilan yang mereka peroleh lebih besar pasak daripada tiang. Setiap bulan, mereka bukan mendapatkan kebahagiaan, pujaan, dan pujian, tapi merasakan kepala pening memikirkan cicilan pakaian dan barang lainnya yang pernah ia dapatkan untuk memenuhi hasrat selebritas.

Dalam hal kemampuan atau kompetensi pun demikian. Banyak orang yang berambisi memegang jabatan politis, baik sebagai pemimpin maupun anggota legislatif hanya bermodalkan uang, bukan kompetensi kepemimpinan atau kerakyatan. Karena nirkompetensi dan rendahnya ketulusan, akhirnya tak sedikit dari mereka yang tersandung hukum penyelewengan jabatan.

Dalam bidang agama pun tak jauh berbeda. Banyak orang yang menjadi “ustadz” dadakan, berceramah atau membahas masalah-masalah agama. Mereka dengan bangga menyebutkan bahwa mereka tak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren atau mempelajari ilmu agama secara intens, mereka hanya bermodalkan popularitas dan retorika yang memukau. Khalayak pun terhipnotis dan bisa menerimanya.

Padahal fatwa agama itu layaknya saran atau diagnosa dokter terhadap penyakit seorang pasien. Akankah kita mempercayai diagnosa dan pengobatan terhadap penyakit yang kita derita dari seseorang yang mengaku seorang doter atau perawat tapi tak pernah mempelajari ilmu kesehatan, farmasi, atau ilmu kedokteran?

Setiap orang memiliki mutiara kehidupan dalam dirinya, dalam arti setiap orang memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing. Tindakan yang terbaik bagi kita adalah mengembangkan mutiara kehidupan tersebut semaksimal mungkin. Jika kita sudah dapat mengembangkannya secara maksimal, kita akan mendapatkan nilai kehidupan sesuai dengan karakter, kemampuan, dan kompetensi diri kita yang orisinil, bukan kamuflase.

Seperti halnya Al Qur’an yang selalu orsinil, demikian pula dengan diri kita. Selayaknya kita tak perlu menutup-nutupi kekurangan diri, juga tak perlu angkuh dengan segala kelebihan dan kemampuan yang kita miliki. Kita harus bersikap sewajarnya, tak terbang melayang karena pujaan dan pujian, juga tidak tumbang terpuruk jatuh karena hinaan dan cercaan.

Seperti halnya kalimat-kalimat Al Qur’an yang sempurna dan berkualitas meskipun jutaan orang menghina dan melecehkannya, namun Al Qur’an tetap bertahan dengan kemuliaannya. Demikian pula dengan diri kita. Kita wajib mempertahankan kualitas dan orisinalitas kemampuan diri sebaik mungkin. Dengan cara seperti ini kita akan benar-benar meraih kehidupan yang mulia sekalipun orang-orang mencerca. Kita tak perlu mengemis atau mengiklankan diri berlebihan untuk mendapatkan pujian dan pujaan khalayak.

Akankah berlian menurun kualitasnya jika tak mendapatkan pujian? Akankah sebongkah batu di tepi kali berubah menjadi emas karena mendapatkan pujian?

ilustrasi : al Qur'an (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image