Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Athifa Hafizha

Suasana Ramadhan di Kota Pahlawan dari Kacamata Seorang Mahasiswi Rantau

Agama | Thursday, 06 Apr 2023, 22:51 WIB

Sebagai awalan, saya merupakan mahasiswi yang merantau dari Ibu Kota untuk berkuliah di Surabaya dan alhamdulillah, tahun 2023 menjadi tahun kedua saya untuk menjalankan bulan suci Ramadhan di kota rantau saya. Berada di kota baru setelah menghabiskan sebagian besar momen Ramadhan dalam hidup saya di rumah menyadarkan saya akan budaya-budaya dan rutinitas baru yang tidak familiar bagi saya di kota asal. Artikel ini ditulis untuk berbagi pengalaman mengenai bagaimana penduduk Kota Surabaya melewati bulan Ramadhan, berdasarkan kacamata seorang mahasiswi rantau.

Layaknya kota-kota lainnya di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, masyarakat Surabaya selalu menyambut bulan Ramadhan dengan penuh antusiasme. Sore hari menjelang hari pertama puasa, terdengar suara televisi milik ibu kost yang menayangkan hasil sidang isbat penentuan jatuhnya bulan Ramadhan.

Sepertinya hal ini menjadi tayangan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang, dilihat dari betapa sabar dan seriusnya mereka saat menonton layar gawai mereka. Saat tanggal sudah ditentukan, orang berbondong-bondong berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat Tarawih pada malam pertama Ramadhan. Masjid kecil dekat kostku bahkan penuh dengan jamaah, dari kalangan bapak-bapak, ibu-ibu, anak kecil yang terpaksa ikut orangtuanya, dan juga sesama mahasiswa sepantaran.

Suasana Jl. Karang Menjangan menjelang buka puasa

Hari-hari menjalankan puasa juga tidak jauh berbeda dengan biasanya. Hanya saja jalanan seakan sedikit lebih sepi dari biasanya, mungkin suatu upaya penduduk setempat untuk menghindari panasnya Surabaya yang tiada tandingan. Jalanan baru mulai ramai pada sore hari menjelang Maghrib dengan orang-orang yang berusaha pulang untuk berbuka dengan keluarga maupun mencari takjil di pinggir jalan.

Bagi kami yang tinggal di daerah Gubeng, Jl. Karang Menjangan masih menjadi unggulan perihal takjil. Pedagangan berjejeran sepanjang jalan, menawarkan berbagai macam camilan dan minuman, seperti es manado, lumpia goreng, martabak mini, gorengan, es kuwut, dan lain sebagainya. Budaya bukber juga masih kuat di Surabaya, dilihat dari café-café yang hampir selalu penuh dengan mereka yang memilih untuk membatalkan puasa dengan teman maupun keluarga.

Sebagai mahasiswi, ada satu budaya yang mungkin dianggap sepele tapi nyata terjadi, yakni budaya mahasiswi-mahasiswi rantau yang cenderung mencari gratisan selama bulan Ramadhan. Kata hemat rasanya akan selalu melekat pada diri seorang pelajar, bagaimana mereka dapat menjaga pengeluaran mereka untuk bertahan hidup dalam perantauan.

Tidak sedikit mahasiswi-mahasiswi yang berkerubung di masjid kampus menjelang Maghrib untuk berusaha mendapatkan konsumsi dari panitia masjid. Bahkan hingga ada yang membuat daftar rekomendasi masjid dengan menu buka puasa terbaik di wilayah sekitar. Lucu memang, tapi sebagai mahasiswi yang juga merasakan sulitnya hidup sebagai perantau, hal-hal kecil seperti ini sangat membantu kami.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image