Indonesia dan Amerika Serikat: Dinamika Hubungan dan Tata Kelola Strategis Antara Keduanya
Politik | 2021-12-21 13:23:04Sesuai dengan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, Indonesia tentu tidak membatasi untuk melakukan kerjasama atau penjalinan hubungan dengan negara lain manapun. Prinsip bebas-aktif tersebut tentu memiliki tujuan serta aspek lainnya yang dapat memenuhi kepentingan nasionalnya, salah satunya adalah dijalankannya hubungan dengan entitas atau aktor superpower dalam ranah internasional, seperti Amerika Serikat (AS). Seperti yang dijelaskan oleh democratic peace theory, Indonesia dan AS yang sama-sama menganut demokrasi, hal ini kemungkinan tidak akan memiliki hubungan yang rumit dan cenderung tanpa hambatan (Emmerson, 2006). Namun, Indonesia dan AS justru memiliki dinamika pasang-surut diantara keduanya, yang selanjutnya akan saya bahas pada tulisan kali ini.
Hubungan AS-Indonesia ini umumnya memiliki perbedaan dan tingkatan relasi yang cukup beragam, mengikuti bagaimana setiap Presiden atau pemimpin antar negara masing-masing menerapkan kebijakan luar negerinya. Hubungan AS-Indonesia berjalan dengan lancar pada kurun waktu setelah kemerdekaan Indonesia, akan tetapi sedikit renggang pada tahun 1950an sampai 1960an. Kebijakan Soekarno yang anti-nekolim, beserta dipeloporinya Gerakan Non-Blok menindaklanjuti Konferensi Asia Afrika 1955 membuat Indonesia harus tetap menjaga netralitasnya, dan memilih untuk sedikit menjauh dari AS (Smith, 2003). Kemudian, pada pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, hubungan AS-Indonesia kembali membaik karena kebijakan pintu terbuka oleh Soeharto juga menjadi ‘pintu’ masuknya investasi AS terhadap Indonesia, seperti PT-Freeport. AS juga kemudian membantu Indonesia berkaitan dengan penumpasan bibit komunisme pasca G30S-PKI melalui dukungan militer dan politiknya.
Dinamika AS-Indonesia mulai mengalami perubahan yang cukup signifikan dan cepat setelah dua peristiwa penting di negara masing-masing terjadi, dengan adanya reformasi pemerintahan di Indonesia serta serangan teroris 11 September 2001 di Amerika menambah kompleksitas dinamika tersebut. Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timor Leste) dari dekapan Indonesia pada tahun 1999 cukup membuat relasi ini renggang, karena AS adalah salah satu negara yang paling memihak perlindungan Hak Asasi Manusia yang dianggap dilanggar oleh tentara Indonesia di Timor Leste. AS kemudian kurang dipercaya oleh pemerintah Indonesia, karena dianggap merupakan salah satu aktor yang berpengaruh terhadap lepasnya Timor Leste (Smith, 2003). Rezim B.J Habibie yang hanya menjabat selama setahun kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang kembali mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan AS dengan investasi-investasi modal lainnya.
Peristiwa 911 kemudian membuat hubungan kedua negara ini menjadi sedikit rumit. Propaganda ‘war on terror’ yang dikemukakan oleh George W. Bush membawa implikasi yang cukup berarti bagi Indonesia karena berbagai miskonsepsi yang ditimbulkan berkaitan dengan aspek identitas dan religius, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk Muslim terbanyak (Emmerson, 2002). Serangan teroris oleh kelompok al-Qaeda terhadap AS ini kemudian membuka dimensi konflik baru di Timur Tengah, yang dianggap oleh AS sebagai sarang operasional al-Qaeda atau teroris, dengan Indonesia juga menjadi salah satu yang dianggap tempat terorisme di luar wilayah tersebut. Peristiwa pengeboman Bali yang terjadi pada tahun 2002 kemudian mengubah cara pandang Indonesia terhadap AS.
Sadar bahwa Indonesia juga rentan terhadap serangan teroris, Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian melakukan kunjungan ke AS, sebagai suatu langkah strategis dari Negara Indonesia. Indonesia kemudian menyampaikan simpatinya, dan mengungkapkan bahwa Indonesia juga rentan terhadap teroris, sehingga Indonesia ingin ikut ‘memerangi’ terorisme tersebut yang sudah dinilai sama sekali tidak membawa agama-agama, sebagai bagian dari ‘global war on terror’ tersebut (Emmerson, 2006). Hubungan ini kemudian terus membaik pada saat AS terlibat dalam bantuan yang diberikan saat Tsunami Aceh 2004 yang menelan hampir 200.000 korban jiwa. Hal ini kemudian menjadi salah satu tanda bahwa AS dan Indonesia memiliki hubungan yang cukup baik, karena Aceh dianggap sebagai AS sebagai salah satu tempat terorisme jaringan al-Qaeda ataupun jaringan lain. Namun AS tetap memberikan bantuan humanitariannya terhadap Indonesia (Emmerson, 2006).
Relasi AS-Indonesia kemudian memiliki dampak strategis tersendiri bagi Indonesia dalam survivabilitasnya di ranah internasional. AS merupakan salah satu negara Security Council dan salah satu negara adidaya, sehingga hubungan yang baik dengan AS dinilai turut memperkuat stabilitas dalam keamanan. AS kemudian dapat memberikan suatu penalaran yang prominen terhadap ‘war on terror’, yang seringkali menjadi kebingungan dan seringkali menimbulkan percikan konflik karena kesalahpahaman masyarakat Indonesia terhadap istilah ‘terorisme’ dan kaitannya terhadap agama serta kepercayaan (Smith, 2003). Dalam hal ekonomi, banyaknya investasi serta perusahaan-perusahaan AS yang menanamkan modal di Indonesia juga menjadi langkah strategis Indonesia dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan gross domestic product Indonesia, serta menjaga stabilitas ekonomi di Indonesia.
Dari pemaparan yang telah dijelaskan dapat ditarik kesimpulan bahwa, memang suatu relasi tidak mungkin berjalan dengan mulus, dan pasti ada dinamika serta perubahannya, layaknya dinamika AS-Indonesia ini. Hubungan ini diwarnai oleh renggang dan rapatnya tingkatan kerjasama, yang sangat dipengaruhi oleh masing-masing Presiden serta ideologi ataupun cara pandang yang turut dibawa oleh pemimpin pada saat memerintah. Sebagai contoh, Soekarno dan Soeharto yang sangat bertolakbelakang mengenai relasinya dengan AS, dimana Soeharto lebih terbuka sedangkan Soekarno lebih tertutup meskipun dirinya berteman dekat dengan John F. Kennedy. Perbedaan pun terlihat dari pergantian presiden saat B.J Habibie digantikan oleh Gus Dur kemudian Megawati Soekarnoputri, yang mana semakin dewasa hubungan AS-Indonesia semakin meyakinkan dan secara tidak langsung menjadi suatu langkah strategis Indonesia dan AS.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.